Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
Jangan Boros Air di Masa Pandemi
3 November 2020 16:01 WIB
Tulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Yus Rusila Noor
Kondisi masa pandemi yang telah melanda dunia, termasuk Indonesia, selama lebih dari setengah tahun terakhir telah merubah tatanan kehidupan masyarakat secara global. Merebaknya Covid-19 telah sangat berpengaruh terutama terhadap kesehatan masyarakat dan lebih jauh lagi terhadap kondisi perekonomian hampir seluruh negara di dunia. Pandemi juga sering dikaitkan dengan keadaan lingkungan hidup secara umum. Banyak pendapat yang menyebutkan bahwa suasana pembatasan sosial yang dilaksanakan di berbagai negara telah memberikan kesempatan kepada alam untuk sedikit terhindar dari tekanan manusia, namun disisi lain ada juga yang berpendapat bahwa alam mendapat tekanan tambahan dari antisipasi manusia agar terhindar dari serangan virus yang telah menimbulkan korban di hampir seluruh negara di dunia tersebut. Tekanan tersebut adalah berupa sampah dari produk yang terkait dengan Covid-19 dan kebutuhan tambahan terkait air.
ADVERTISEMENT
Salah satu kampanye yang sering digaungkan untuk terhindar dari terkena virus corona adalah dengan mencuci tangan secara teratur, terutama dengan menggunakan air dan sabun, disamping cara lain dengan menggunakan hand sanitizer. Anjuran ini telah banyak diterapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat hingga ke pelosok. Namun demikian, banyak yang tidak menyadari bahwa pada saat mencuci tangan tersebut masyarakat telah menggunakan air melebihi kebutuhan yang sepatutnya, sehingga cenderung boros dan menyia-nyiakan sumber daya yang semakin sulit tersedia di beberapa tempat dan negara.
National Geographic Indonesia edisi bulan Juli 2020 menyampaikan data bahwa untuk memenuhi anjuran mencuci tangan tersebut setelah mengunjungi ruang publik atau dari kamar kecil, maka setiap orang di salah satu kawasan di India membutuhkan setidaknya 10 kali cuci tangan setiap hari. Sekali cuci tangan selama 20 detik menggunakan setidaknya 2 liter air. Satu keluarga dengan empat anggota, maka setiap hari membutuhkan 80 liter air hanya untuk cuci tangan.
ADVERTISEMENT
Jumlah tersebut tserasa merupakan suatu kemewahan bagi masyarakat yang dalam kondisi normal saja telah mengalami kesulitan dalam mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada bulan Juli 2020, Global Commission on Adaptation, kumpulan orang-orang pintar dan berpengaruh, yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Ban Kim Moon dan Bill Gate, menyampaikan bahwa 3 Milyar orang atau 40% populasi dunia tidak memiliki akses yang memadai untuk sekedar mencuci tangan. Sementara itu, UNICEF lebih jauh menyebutkan bahwa 41 juta orang atau 28% dari penduduk perkotaan di Indonesia juga masih memiliki keterbatasan dalam hal penyediaan fasilitas dasar cuci tangan di rumah mereka.
Disisi lain, berbagai studi menunjukan bahwa manusia cenderung masih boros dalam menggunakan air. Sebuah studi mengenai penggunaan air di sebuah perusahaan menunjukan bahwa diperlukan waktu selama 6,47 – 26,57 detik untuk kegiatan mencuci tangan. Dari waktu tersebut, ternyata 1,33 – 18,43 detik atau 21 – 69% waktu airnya dibiarkan mengalir tanpa benar-benar digunakan untuk mencuci. Jika dilihat jumlah airnya, maka setiap hari dibutuhkan 79,44 liter air untuk digunakan mencuci tangan oleh 7 orang karyawan (atau 20.654,40 liter per tahun), dan sayangnya, dari jumlah tersebut 47,61 liter diantaranya tersia-siakan setiap hari (atau 12.378,60 liter setiap tahun).
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang spiritual, agama sebenarnya telah mengajarkan umatnya untuk berhemat dalam menggunakan air. Agama Islam, misalnya, sangat menjaga untuk tidak boros air. Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam Musnadnya, dari hadits ‘Abdillah bin ‘Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati Sa‘ad yang sedang berwudhu’, maka beliau mengatakan, “Jangan berlebihan!” maka Sa‘ad berkata, “Ya Rasulullah apakah ada berlebihan dalam masalah air?” Beliau berkata, “Ya, walaupun engkau berada pada sungai yang mengalir.” Dalam hadits lain disebutkan “Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam biasa berwudhu dengan 1 mud air dan mandi dengan 4 sampai 5 mud air” (HR Al Bukhari no. 201, Muslim no 325). Keterangan menyebutkan bahwa 1 Mud = 0,6875 liter air.
Meskipun demikian, pada kenyataannya air yang dipergunakan dalam berwudhu cenderung lebih dari yang disampaikan dalam hadits tersebut. Sebuah penelitian dengan mengambil sampel 5 masjid di Yogyakarta menunjukan bahwa setiap Jamaah ternyata menggunakan 3 – 3,5 liter/orang dengan rata-rata 3,28 liter/orang. Penelitian lain dengan mengambil sampel 25 masjid di kota Palembang juga menunjukan kecenderungan tersebut, dimana durasi waktu yang dipergunakan untuk berwudhu rata-rata selama 64,2 detik dengan penggunaan volume air rata-rata 4,42 liter.
ADVERTISEMENT
Ketika kita mengkaitkan antara air dan sampah, maka yang menjadi perhatian utama adalah sampah plastik. Masalah terbesar yang ditimbulkan oleh sampah plastik adalah sulitnya untuk terurai secara alami. Dibutuhkan waktu 10-1.000 tahun agar plastik dapat terurai secara sempurna di alam, termasuk rata-rata 450 tahun untuk botol plastik yang kita gunakan sehari-hari. Sebelum tahun 1980, hampir semua plastik bekas pakai dibuang dan menjadi sampah. Barulah pada periode 1980-1990, sebagian plastik sisa dibakar melalui proses insinerasi atau dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang. Diperkirakan bahwa proporsi sampah yang dibuang akan semakin mengecil pada masa mendatang, dan proporsi yang didaur ulang akan meningkat.
Lalu, ke mana sampah plastik tersebut melakukan perjalanan? Sebagian sampah plastik berakhir di lautan, yang kemudian terpecah-pecah menjadi partikel lebih kecil karena terpapar air, matahari, dan angin. Para ahli memberikan penjelasan bahwa sampah plastik yang berada di lautan, sebenarnya, sebagian besar berasal dari daratan dan sebagian sisanya berasal dari lautan sendiri, khususnya dari sektor terkait perikanan. Proporsinya masih diperdebatkan, umumnya 70-80 persen berasal dari daratan dan 20-30 persen dari lautan sendiri.
ADVERTISEMENT
Plastik dari daratan menuju ke lautan umumnya melalui sungai, di samping faktor lain, seperti pasang surut ataupun pembuangan langsung sampah di pesisir. Penelitian para ahli menunjukkan ada 20 sungai penyumbang sampah terbesar di dunia, sebagian besar berada di Asia. Urutan pertama ditempati oleh Sungai Yangtze di China yang mengalirkan 333.000 ton sampah plastik ke lautan, disusul oleh Sungai Gangga di India dan Bangladesh sebanyak 115.000 ton. Masuknya sampah plastik ke lautan dan perairan lainnya itu kemudian mendatangkan keprihatinan lain. Selain mengancam kehidupan manusia, juga mengancam kehidupan berbagai satwa liar, khususnya yang hidup di perairan.
Selain persoalan kesehatan dan ekonomi, dalam masa pandemi ini juga harus digaungkan kepedulian terhadap lingkungan. Pengalaman selama pandemi ini setidaknya mengajarkan kita untuk lebih banyak berbenah agar kedepan kita bisa hidup selaras dengan alam, sehingga alam dapat mendukung kehidupan manusia dengan lebih ramah. ••
ADVERTISEMENT