Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kalap di Pasar Ikan Hias Parung
11 Oktober 2021 18:53 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah mengalami kalap belanja di suatu tempat yang baru pertama kali dikunjungi tetapi sudah seringkali mendengar ketenanarannya, baik info dari teman/tetangga maupun dari sosial media. Saya pernah, dan itu terjadi hari sabtu kemarin, pertengahan Oktober 2021. Saya mengalaminya di Pasar Ikan Hias Parung, Bogor, Jawa Barat. Sebenarnya sudah cukup lama saya mendengar, membaca atau melihat berbagai ulasan mengenai pasar tersebut, yang konon katanya terbesar di Indonesia. Rasa penasaran saya juga ikut membuncah ketika ada tetangga yang menceritakan kehebohan di pasar ikan hias tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari kota Bogor, agak terlambat saya memulai, baru jam 9-an menerobos jalan arteri dibawah tol layang BORR ke arah Jalan Baru, Simpang Yasmin hingga terus ke arah Parung. Tidak terlalu macet dan cenderung agak kosong hingga sampai ke pertigaan menuju arah Ciputat di kanan dan ke arah Serpong di kiri. Ambil jalan kiri, hingga sekitar 300 meter-an belok ke arah kiri memasuki jalan yang mulai padat tapi cukup untuk 2 mobil berpapasan. Kalau melihat panduan arahnya, muka pasar itu di lokasi yang ada patung ikan di depannya, tapi ada yang mengarahkan agar belok kanan sebelum patung itu, untuk kemudian ada lahan parkir di sekitar rumah penduduk, yang cukup menampung sekitar 10 mobil. Di depan Musholla Nurul Hidayah Kp. Jati Waru, ada petunjuk kecil ke arah kiri, untuk kemudian permisi-permisi melewati gang kecil diantara rumah petak kost-kostan. Setelah jalan sekitar 200 meter-an, tibalah di TKP, Pasar Ikan Hias Parung.
ADVERTISEMENT
Yang pertama menarik perhatian adalah rumah-rumah penduduk yang menjajagakan ikan cupang di botol-botol kecil maupun plastik-plastik yang berisi ikan cupang soliter berbagai varietas. Meskipun sempat melihat-lihat dan tanya-tanya harga, tapi belum sampai ke transaksi karena masih ingin melihat yang lain. Atraksi utama yang memang mencengangkan adalah kios-kios penjaja ikan hias. Jangan bayangkan seperti pasar permanen yang punya ruangan dengan etalase kaca dan nama toko, tidak seperti itu. Yang disebut pasar ini memang lebih seperti pasar tradisional yang kita kenal, dengan ruangan terbuka cukup luas, dipenuhi dengan tegakan tiang bambu dan kayu untuk menopang tali rapia sebagai gantungan plastik berair dan oksigen yang menjadi wadah berbagai jenis ikan. Plastik-plastik ikan juga dijajakan di panggung tembok yang sekaligus menjadi batas masing-masing pedagang. Tidak ada rak atau meja, hanya tiang-tiang itu saja.
Harus diakui bahwa saya bukanlah ikan-mania atau pehobi-ikan garis keras yang sudah pasih dengan berbagai nama jenis ikan hias, makanan maupun cara memeliharanya. Saya hanya punya 5 ekor ikan cupang blue rim, crown tail, half moon dan blue ear, itupun satu diantaranya mati karena disatukan dan dimakan ikan sapu-sapu albino. Ada beberapa belasan ikan koi, kumpay, nila dan ikan mas di kolam kecil depan rumah. Dengan “prestasi” kepemilikan ikan yang masuk kategori newbie tersebut, nyatanya saya masih dibuat terbengong-bengong dengan demikian banyaknya jenis dan varietas ikan hias yang dipajang di pasar tersebut, bahkan sepertinya bukan hanya ikan hias air tawar saja, tapi ada juga ikan air laut. Sejauh yang saya kenal, ada berbagai jenis koki, kalau tidak salah ada Black Moor, Fantail, Oranda dan Ranchu yang bungkuk itu. Ada juga ikan koi, tetapi saya tidak hapal jenisnya, yang jelas ada tertulis Koi Blitar. Louhan dengan kepala benjol juga cukup banyak dijual, begitu pula guppy yang dijual puluhan dalam satu pelastik ukuran sedang. Bagi pe-hobi yang mungkin lebih serius, ikan arawana atau berbagai jenis ikan predator mungkin bisa menjadi tujuan shopping di pasar ini. Dari tulisan di plastik yang saya baca, ada yang tertulis (mohon maaf kalau salah tulis) Lapradei, Andrao (bentuknya sih sperti dari genus Channa), PBass Orinoco (apakah sama dengan Peacock Bass Orinoco?), PBass Xingu, dan Oscar Paris. Kabarnya sebagian ikan tersebut adalah merupakan jenis-jenis yang diimpor dari luar negeri, dan beberapa jenis lainnya berasal dari berbagai pulau di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, yang menarik perhatian tentu saja ikan cupang karena itu saja yang baru saya punya. Saya lihat ada Cupang Halfmoon yang sirip dan ekornya mengembang setengah lingkaran. Cupang Serit atau Crown Tail yang ekornya dianggap seperti mahkota dan kabarnya tidak terlalu banyak di pasaran. Cupang Slayer dengan ekor sirip menjuntai indah terang nampaknya cukup banyak dijual juga. Ada juga Cupang plakat yang untaian ekor dan siripnya tidak indah-indah amat, tapi kombinasi warnanya cukup memukau. Yang banyak menarik perhatian saya adalah Cupang Giant. Sesuai dengan namanya, ikan yang konon pertama kali dikembangkan oleh pembiak dari Thailand ini memiliki ukuran panjang tubuh yang lebih besar dibanding Cupang lainnya, kabarnya bisa mencapai 12 cm. Meskipun tidak selincah yang lain, saya tertarik untuk memiliki Cupang Giant karena kombinasi warnanya yang beraneka dan sangat eye-catching. Cupang-cupang tersebut ada yang dijual satuan menggunakan wadah platik ukuran kecil, tetapi ada juga yang dijual per sepuluh plastik dijadikan satu. Paket sepuluhan ini berisi Cupang dari varietas yang sama dengan warna yang berbeda-beda.
Selain banyaknya jenis ikan hias yang dijual, salah satu daya tarik utama dari Pasar Ikan Hias Parung tentulah karena harganya yang lebih miring dibandingkan dengan di toko-toko, apalagi jika membeli dalam jumlah banyak. Saya tidak hapal harga ikan lain, tapi kalau melihat harga ikan Cupang, sepertinya memang benar harga lumayan affordable alias tidak terlalu menguras isi kantong. Cupang Giant yang berukuran sekitar 7 senti-an kemarin bisa saya bawa dengan harga Rp.50 ribu, sementara ukuran yang sedikit lebih kecil bisa dibeli dengan Rp.100 ribu untuk 3 ekor sampai Rp.20 ribu per ekor. Bahkan ada juga Cupang murah-meriah yang dijual Rp.5 ribu per ekor. Istri saya beli koki Panda Tri-color (? Pokoknya koki yang punya tiga warna: putih, merah dan hitam) dapat Rp.70.000 seekor. Saya malah curiga harganya bisa lebih murah lagi karena kemarin kami tidak terlalu giat menawar.
ADVERTISEMENT
Kalau membaca sejarahnya, Pasar Ikan Hias Parung dimulai pada tahun 2005, sebagai tempat para pedagang menjual ikan hias di pinggir jalan Desa Waru beralas tikar seadanya, tanpa lapak. Baru pada tahun 2010, pasar seperti saat ini mulai dibangun dan beroperasi. Itupun awalnya hanya beroperasi pada malam hari, sehingga kemudian buka pada siang hari meskipun hanya dibatasi 3 hari seminggu, yaitu hari Senin, Kamis dan Sabtu. Dengan promosi dan pertukaran informasi yang lebih kencang, khususnya melalui media sosial, termasuk Vlog dari para pesohor, Pasar Ikan Hias Parung semakin dikenal dan transaksi pun semakin moncer, dan bahkan kemudian digelari sebagai Pasar Ikan Hias terbesar di Indonesia. Para pembelinyapun tidak hanya dari seputaran Bogor saja, tapi kabarnya datang dari luar kota atau bahkan luar pulau. Menurut obrolan pedagang, hari Senin dan Kamis katanya lebih ramai didatangi para pebisnis yang membeli ikan hias untuk dijual kembali. Sementara itu, pengunjung pada hari Sabtu lebih didominasi oleh para pehobi yang memang ingn memelihara di rumah. Mereka datang bersama teman atau tidak sedikit yang membawa anaknya, sambil hiburan.
Saya sendiri awalnya putar-putar dulu, tanya-tanya harga, dan kemudian nge-tag jenis yang saya suka dan harganya cocok. Tapi rupanya itu bukan strategi terbaik di pasar ini. Beberapa kali, ketika kembali ke tempat yang saya ciriin ternyata ikannya sudah lenyap dibeli “para pesaing”, padahal umumnya itu cuma satu-satunya warna dan ukuran yang saya inginkan, dan tidak ada di penjual lain. Entahlah, mungkin strategi terbaik adalah point and buy, tunjuk (tawar) dan beli.
ADVERTISEMENT
Setelah lebih dari 2 jam putar-putar, ketika adzan dhuhur berkumandang dari masjid sekitar, kami memutuskan enough is enough, dan menyelesaikan kunjungan hari ini. Saya sendiri terus-terusan mengibur diri bahwa saya tidak kalap belanja. Hari ini saya “hanya” menambah koleksi 15 ekor ikan Cupang, terutama Cupang Giant. Tetapi saya teringat lontaran dari Jenderal Douglas MacArthur pada 11 Maret 1942 ketika harus meninggalkan Filipina karena lokasi tersebut sudah dikeliling pasukan Jepang …. “I came through and I shall return”