Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perlu Unconditional Support dalam Pemulihan Mangrove Global
25 Juli 2023 20:10 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika sedang turut serta dalam kegiatan protes pembangunan tambak udang yang membuka kawasan mangrove di wilayah Muisne, Ekuador, 26 Juli 1998, seorang aktivis lingkungan, Hayhow Daniel Nanoto, mengalami serangan jantung, sehingga kemudian meninggal dunia. Kejadian tersebut kemudian memacu masyarakat setempat bersama aktivis lingkungan untuk meneruskan upaya untuk menolak pembangunan yang diperkirakan akan merusak kawasan mangrove dan lingkungan di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Tepat 17 tahun setelah kejadian tersebut, Ekuador, didukung oleh negara-negara GRULAC (Group of Latin Americas and Caribbeans – Kelompok Negara-negara Amerika Latin dan Karibia), mengusulkan pada pertemuan Executive Board UNESCO ke-179 untuk meminta Direktur Jenderal memimpin pernyataan proklamasi (proclamation) “International Day for the Conservation of the Mangrove Ecosystem”.
Usulan tersebut kemudian diadopsi pada pertemuan Sidang Umum UNESCO ke-38 yang berlangsung pada tanggal 6 November 2015. Dalam pertimbangannya, sidang menyampaikan bahwa mangrove adalah ekosistem yang unik, spesial dan rentan, di mana kehadiran, biomassa dan produktivitasnya sangat penting bagi manusia, menyediakan produk kehutanan, perikanan dan jasa sekaligus perlindungan terhadap pesisir serta berfungsi dalam mitigasi dampak perubahan iklim dan keamanan pangan bagi masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Mengingat tanggal 26 Juli telah diperingati secara luas sebagai “International Day for the Defense of the Mangrove Ecosystem”, tetapi belum secara resmi ditetapkan sebagai hari internasional oleh PBB atau Badan-badannya, maka pertemuan juga meminta Direktur Jenderal untuk memproklamirkan tanggal 26 Juli sebagai Hari Internasional untuk Konservasi Ekosistem Mangrove.
Penetapan ini kemudian menjadi semacam kisah keberhasilan sinergitas untuk menetapkan suatu kejadian, yang kemudian digagas oleh lembaga non-pemerintah dan masyarakat untuk diperingati setiap tahun, dan kemudian diangkat oleh pemerintah negara-negara untuk dijadikan hari internasional di bawah payung Perserikatan Bangsa-bangsa melalui badan UNESCO. Peringatan itu sendiri ditujukan untuk meningkatkan kesadartahuan semua pihak mengenai kepentingan ekosistem mangrove bagi alam dan manusia serta kondisinya saat ini yang memerlukan perhatian kita.
ADVERTISEMENT
Mangrove adalah kumpulan tumbuhan yang toleran terhadap kondisi asin, tumbuh di wilayah pasang surut di mana daratan dan lautan bertemu. Mangrove ditemukan di 123 negara dan teritori, mewakili kurang dari 1% seluruh hutan tropis di dunia, dan 0,4% dari wilayah hutan secara global. Secara geografis, mangrove umumnya tumbuh di wilayah Asia Tenggara, Karibia serta Amerika Selatan dan Tengah.
Dengan segala keunikannya, ekosistem mangrove menyediakan berbagai manfaat ekologis dan sosio-ekonomi. Jika diuraikan, ekosistem mangrove merupakan rumah bagi berbagai jenis keanekaragaman hayati, flora dan fauna. Menyediakan tempat berpijah bagi berbagai jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, tempat mencari makan bagi krustasea, reptilia, binatang yang hidup di dua alam/amfibia serta rumah sakit bersalin dan rumah makan bagi jenis-jenis burung air, penetap atau bermigrasi.
ADVERTISEMENT
Tegakan mangrove melindungi wilayah pesisir dari gerusan atau erosi melalui struktur akarnya yang khas dan dapat menangkap sedimen yang terbawa ombak pasang surut serta mengurangi dampak dari badai hingga tsunami. Para ahli Menghitung bahwa hamparan mangrove sepanjang 500-meter dapat mengurangi ketinggian ombak hingga 50 – 99%. Mangrove juga memiliki peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim melalui penyimpanan karbon dioksida dalam jumlah yang substansial dalam biomassa dan sedimen.
Bersama-sama dengan rawa pasang surut dan lamun, mangrove kerap dikelompokkan menjadi ekosistem biru, dengan kemampuan menyerap karbon yang jumlahnya bisa mencapai 4 kali lebih banyak dibandingkan dengan hutan tropis lainnya. Karbon yang disimpan dalam ekosistem pesisir dan lautan biasa disebut sebagai karbon biru.
ADVERTISEMENT
Bersama-sama, ekosistem biru tersebut tersebar di seluruh benua, kecuali di Antartika, dengan luasan mencapai 49 juta hektare. Sementara itu, berbagai penelitian menunjukkan bahwa laju akumulasi karbon di ekosistem mangrove beragam datanya, dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tipe sedimen, frekuensi penggenangan pasang surut dan produktivitas vegetasi.
Bagi manusia, mangrove memberikan manfaat langsung dalam kaitannya sebagai sumber mata pencaharian dan pembangunan berkelanjutan, di mana jutaan manusia bergantung kehidupannya kepada kehadiran ekosistem mangrove, terutama bagi masyarakat pesisir. Mangrove adalah sumber pangan, kayu dan produk hutan non-kayu, sumber pendapatan dan sumber daya bagi kebutuhan masyarakat lokal.
Dengan demikian, mangrove memiliki nilai ekonomi yang cukup fantastis, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai hasil penelitian para ahli. Dari hitung-hitungan untuk simpanan karbon saja, ekosistem mangrove dapat menyimpan karbon dengan nilai 0,16 hingga 4,8 triliun Dollar AS. Perlu dicatat bahwa angka-angka untuk nilai tersebut dapat beragam tergantung kepada peneliti atau wilayah geografis serta dapat berubah juga tergantung penelitiannya.
Namun dibalik berbagai nilai, fungsi dan manfaat tersebut, mangrove adalah di antara ekosistem yang paling rentan di dunia. Jika tidak ditangani dengan baik, justru kerugian yang akan diperoleh, dalam bentuk keuntungan manfaat/fungsi yang hilang serta biaya untuk perbaikan atau restorasi wilayah mangrove yang telah mengalami kerusakan. Eksploitasi berlebih untuk fungsi lain dan polusi dituduh sebagai faktor utama kerusakan mangrove. Menurut Global Mangrove Alliance, diperkirakan 67% mangrove telah mengalami kerusakan atau bahkan hilang, dan tambahan 1% akan terus berjalan setiap tahun, atau 3 – 5 kali lebih cepat dibandingkan hilangnya hutan secara global.
ADVERTISEMENT
Jika mengalami kerusakan, hancur atau hilang sama sekali, maka mangrove akan menjadi sumber emisi karbon dioksida, yang menurut para ahli dapat mencapai hingga 10% dari emisi dari deforestasi secara global, meskipun wilayah tutupan mangrove hanya 0,7% saja. Tidak hanya itu, kerusakan ekosistem mangrove juga berarti akan mengganggu fungsi dan manfaatnya.
Itu artinya akan kehilangan keanekaragaman hayati flora dan fauna, sebagian di antaranya merupakan sumber penghasilan masyarakat, yang berarti juga menghilangkan fungsi alami dari tumbuhan dan satwa liar bagi kehidupan manusia, seperti fungsi penyerbukan dan penyebaran bibit. Fungsi perlindungan pesisir juga akan menurun atau bahkan hilang sama sekali.
Tanpa mangrove sebagai pelindung alami, pesisir akan lebih rentan sehingga mendatangkan bahaya yang bertambah bagi masyarakat, dan lebih merugikan karena untuk menggantikan fungsi tersebut, meskipun hanya sementara, dengan struktur keras seperti beton, akan memakan biaya yang sangat tidak sedikit. Kesimpulannya, kehilangan ekosistem mangrove akan menghilangkan peranan solusi berbasis alam dari mangrove serta mendatangkan kerugian ekologis, ekonomi dan sosial budaya, terutama bagi masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Jika kerakusan dan rasa abai sudah telanjur menyebabkan ekosistem mangrove menjadi rusak parah, maka jalan yang bisa dilakukan adalah melakukan pemulihan atau restorasi ekosistem. Perlu dicatat bahwa ini adalah bukan merupakan pilihan yang mudah, karena memerlukan pengetahuan, komitmen, serta upaya jangka panjang, bahkan jika upaya pemulihan tersebut dilakukan dengan mengerahkan kemampuan teknologi yang maju sekalipun.
Upaya pemulihan hendaknya dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat lokal dalam setiap tahapan kegiatan dan memberikan edukasi mengenai karakteristik ekosistem mangrove, sehingga kemudian akan tertanam rasa memiliki dan rasa tanggung jawab untuk terlibat dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi kegiatan secara berkelanjutan. Efektivitas pekerjaan pemulihan akan meningkat jika didahului dan didasari oleh berbagai penelitian, sehingga penyebab kerusakan dan pilihan langkah untuk pemulihan akan diperoleh dari data dan informasi yang dihasilkan dari penelitian ekologis, ekonomi dan sosial – budaya.
ADVERTISEMENT
Pada pelaksanaannya, pendekatan yang memperbaiki habitat sehingga pertumbuhan alami bibit-bibit mangrove dapat tumbuh secara alami hendaknya dapat dilaksanakan terlebih dahulu, sehingga kegiatan penanaman, yang umumnya dilaksanakan dengan bibit yang cenderung seragam dan tidak memperhatikan zonasi, hanya dilakukan apabila tidak ada potensi pasokan alami bibit.
Catatan pun perlu diberikan agar penanaman dilaksanakan dengan bibit yang jenisnya sesuai dengan zonasi yang ditanam. Pada wilayah sekitar yang masih baik dan bisa diselamatkan, maka perlindungan wilayah menjadi sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Pemulihan dengan pendekatan tersebut dikenal sebagai Membangun Bersama Alam atau Building with Nature yang merupakan bagian dari pendekatan solusi berbasis alam.
Pendekatan membangun bersama alam menekankan perlunya memiliki pengetahuan dan mengenali proses alami dan fungsi dari mangrove, sehingga keseluruhan upaya pemulihan dapat berjalan lebih efektif, berkelanjutan, dan menguntungkan, baik bagi ekosistem mangrove sendiri maupun bagi masyarakat yang bergantung kepada mangrove sebagai sumber penghidupan dan perlindungan.
ADVERTISEMENT
Secara prinsip upaya pemulihan dilaksanakan dengan berbasis ekosistem, dengan pemahaman bahwa mangrove adalah ekosistem yang rumit dan memberikan berbagai fungsi dan manfaat sebagaimana diuraikan di atas, dan dengan demikian upaya pemulihan hendaknya diarahkan untuk mengembalikan fungsi dan manfaat yang hilang tersebut sejalan dengan rusaknya mangrove. Penekanan juga perlu diberikan bahwa upaya pemulihan dilaksanakan dengan sedapat mungkin mengikuti proses yang berjalan pada lingkungan alami, misalnya dengan terlebih dahulu melakukan studi mengenai pola hidrologis alami dan kondisi pasang surut di mana mangrove secara alami tumbuh dan berkembang.
Manakala dibutuhkan, informasi penelitian tersebut dapat digunakan untuk membuat saluran dan struktur untuk memulihkan alur air dan pertukaran hara, sebagaimana yang terjadi secara alami. Penggunaan bahan dan material alam juga sangat dianjurkan untuk digunakan, yang utamanya tersedia secara lokal, termasuk menggunakan sedimen dan material organik, jika terdapat kebutuhan, dibandingkan dengan mendatangkannya dari luar, sehingga habitat yang dipulihkan dapat mendekati kondisi alami sebelumnya, dan dengan demikian memacu pertumbuhan bibit mangrove. Proses untuk terjadinya pemulihan secara alami juga memungkinkan untuk terbentuknya keragaman jenis yang lebih tinggi alih-alih jenis monokultur, dan dengan demikian juga menciptakan habitat keanekaragaman hayati yang lebih beragam.
ADVERTISEMENT
Perlu diperhatikan bahwa pendekatan pemulihan dengan mengandalkan pertumbuhan alami memerlukan adanya pemantauan dan evaluasi jangka panjang serta proses pengelolaan yang bersifat adaptif. Diperlukan kesadaran untuk belajar dari umpan balik yang diberikan oleh alam, dan menjalankan secara responsif penyesuaian yang dibutuhkan terkait dengan desain dan metoda yang digunakan. Hal ini akan memungkinkan pendekatan yang lebih lentur dan sesuai, sehingga kegiatan pemulihan dapat responsif dalam menyikapi perubahan kondisi ekosistem, sehingga dapat mencapai keluaran yang diharapkan.
Yus Rusila Noor, Direktur Wetlands International Indonesia atau Yayasan Lahan Basah menekankan kembali perlunya bekerja sama dengan pemerintah (lokal) dan masyarakat serta menggunakan data dan informasi ilmiah dalam upaya perlindungan dan pemulihan ekosistem mangrove. Yus juga menginformasikan bahwa saat ini beberapa pihak telah bergerak untuk melakukan pemulihan ekosistem mangrove, termasuk Global Mangrove Alliance, yang berinisiatif untuk bergerak bersama para pihak pemerintah, non-pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, bukan hanya menghentikan degradasi tetapi juga meningkatkan tutupan mangrove hingga 20% pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal UNESCO, Ms. Audrey Azoulay, menegaskan perlunya aksi segera, “Waktu berjalan mendekati habis. Dalam menghadapi darurat iklim, kita harus bergerak bahkan makin jauh, untuk mangrove yang menjadi kunci penyimpanan karbon dan tidak boleh hilang”.
Mangrove adalah kekayaan dunia, yang bisa menyelamatkan dunia dan manusia, hanya jika ada kepedulian dan kerja sama global dapat terjalin. Prinsip common but differentiated responsibility mungkin dapat dijadikan sebagai pegangan, di mana upaya konservasi dan pemulihan mangrove yang dijalankan suatu negara hendaknya juga menjadi tanggung jawab setiap negara lain, dalam bentuk dukungan unconditional support. Jika saja mangrove, dan keanekaragaman hayati lainnya, lenyap, mungkin sudah terlambat untuk memaknai artinya bekerja bersama.
Bogor, 26 Juli 2023
Yus Rusila Noor
ADVERTISEMENT