Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Silent Spring, ketika Pagi Merekah tanpa Kicau Burung (Bagian 1 dari 2 Bagian)
27 Mei 2023 8:24 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Yus Rusila Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bagian 1 dari 2 bagian
ADVERTISEMENT
“Books don’t change the world, people change the world, books only change people”. Ungkapan tersebut disampaikan oleh Mario Quintana (1906 – 1994), seorang penulis dan penterjemah dari Brazil, yang dikenal karena menulis puisi tentang “hal-hal sederhana”, dengan gaya tulisannya yang penuh ironi, kedalaman dan kesempurnaan teknis.
ADVERTISEMENT
Berbekal ungkapannya, saya menuliskan di laman pencarian, “10 most influencial books in history”, lalu seperti biasa munculah daftar yang diinginkan tersebut, sebagian besar sudah saya baca, meskipun tidak tamat, atau setidaknya pernah pegang bukunya. Ada 1 judul yang segera menarik perhatian saya, dan ingin segera membahasnya. Buku tersebut berjudul Silent Spring tulisan Rachel Carson. Alasannya sangat subyektif sekali, karena saya punya dan pernah baca serta sudah lama dikenalkan dengan buku tersebut. Setidaknya pada awal – pertengahan tahun 1980an buku tersebut telah mampir ke pemikiran kritis saya, dan teman-teman, ketika mendapatkan mata kuliah ilmu lingkungan dan toksikologi di Jurusan Biologi – UNPAD.
World Economy Forum menempatkan buku Silent Spring kedalam the 20 most influential books in history dengan imbuhan sebagai salah satu buku yang paling efektif yang pernah ditulis. The Environment Show juga menyebutnya sebagai the best environmental books of all time, sementara Discovery Magazine memasukannya kedalam 25 greatest science books of all time. Seperti dikutip goodreads.com, New Scientis (2012) juga memasukannya kedalam 10 besar 25 most influential popular science books. Untuk mengetahui seberapa pentingnya buku Silent Spring, dua sumber terakhir yang dikutip diatas mensejajarkannya dengan buku-buku yang ditulis oleh Charles Darwin, Isaac Newton, Galileo Galilei, Nicolaus Copernicus, Aristoteles, Albert Einstein, dan Stephen Hawking. Itu adalah nama-nama yang meskipun mungkin karyanya belum pernah dibaca secara penuh serta dimaknai gagasannya, namun setidaknya pernah dijejalkan kedalam memori kita semasa belajar. David Attenborough, seorang Naturalist ternama menyebut Silent Spring sebagai buku lingkungan yang paling penting setelah buku yang ditulis oleh Darwin.
ADVERTISEMENT
Buku Musim Semi yang Sepi ditulis oleh Rachel Carson, seorang ahli biologi Kelautan dan juga seorang penulis. Buku ini membawa pembaca menuju suasana musim semi di Amerika Serikat dan keindahan alam yang disuguhkan saat itu. Carson menyajikan suasana keindahan melalui detail yang diperoleh dari selembar daun dan sebutir biji yang ternyata dapat menginspirasi dan memberikan makna yang mendalam mengenai arti keindahan, kesenduan dan sekaligus keajaiban alam di sekitar kita. Namun demikian, penulis pada akhirnya harus mengungkapkan rasa kekhawatirannya yang mendalam terkait penerapan inovasi di bidang pemberantasan hama, dalam hal ini penggunaan pestisida, yang pada akhirnya memberikan pengaruh terhadap obyek bukan sasaran, dan mengganggu lingkungan hidup dan kelangsungan hidup spesies terdampak.
ADVERTISEMENT
Tulisan dari Carson ini pada awalnya disajikan sebagai artikel bersambung yang dimuat di The New Yorker, dan kemudian dipublikasikan menjadi sebuah buku pada tahun 1962 oleh Houghton Mifflin. Dengan cepat buku tersebut dibaca oleh masyarakat luas sehingga menjadi buku terlaris dari New York Times. Judul Silent Spring sendiri kabarnya terinspirasi dari sebaris puisi yang ditulis oleh John Keats berjudul La Belle Dame sans merci yang kira-kira berarti “Wanita Cantik tanpa Kasihan”, yang dipublikasikan pertama kali pada bulan Mei 1820. Puisinya sendiri menceritakan seorang ksatria yang tergila-gila kepada seorang Wanita, tetapi kemudian malah meninggalkannya. Tinggallah sang Ksatria yang merana dan merasa seperti “alang-alang yang telah layu di danau,/dan tidak ada burung yang berkicau. Carson kemudian mengibaratkan bahwa kematian dan kerusakan alam yang disebabkan oleh gangguan manusia layaknya akan menjadikan “musim semi yang sepi” tanpa ada lagi burung yang bernyanyi.
ADVERTISEMENT
Dengan gaya penulisan prosa liris, buku ini disajikan dalam 17 Bab. Pada Bab pertama, Carson seolah ingin memberikan pesan, yang oleh para ahli disebut sebagai gaya fabel. Menurut Encyclopedia Britannica, gaya fabel adalah bentuk naratif, biasanya menampilkan binatang yang berperilaku dan berbicara seperti manusia, diceritakan untuk menonjolkan kebodohan dan kelemahan manusia. Sebuah moral—atau pelajaran untuk perilaku—dijalin ke dalam cerita dan seringkali dirumuskan secara eksplisit di bagian akhir. Buku ini dibuka dengan dongeng di kota kecil yang mulanya memiliki kehidupan yang cerah ceria setiap musim, tetapi kemudian terjadi perubahan besar, dimana tanah yang dulu semarak dan indah berubah menjadi sunyi dan tak bernyawa. Selain itu, hewan serta manusia menjadi sakit dan mati. Penyebabnya bukanlah sihir atau musuh dari luar, melainkan, "orang-orang telah melakukannya sendiri," kata penulisnya. Carson seperti sedang menyambungkan tali komunikasi dengan para pembacanya mengenai pesan etika` yang muncul dalam konteks pengaruh negatif penggunaan pestisida. Tidak hanya itu, penulis juga ingin masyarakat menaruh perhatian dan melakukan aksi terhadap informasi yang disampaikan, yang diperoleh melalui serangkaian pengamatan langsung di lapangan, dan "telah membungkam suara musim semi di banyak kota di Amerika".
ADVERTISEMENT
Pada Bab-bab selanjutnya, seolah ingin membuktikan apa yang disampaikan pada Bab awal, Carson menyajikan dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida secara tidak selektif, sehingga membunuh serangga buruk maupun serangga baik. Penulis seperti menekankan bahwa dia memiliki tanggung jawab untuk memberi tahu publik tentang risiko yang dihadapi dan kemudian mengajak masyarakat untuk ikut bertindak. Tanggung jawab tersebut muncul karena Penulis merasa memiliki informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk disampaikan kepada publik. Dalam Bab 3, yang bertajuk “Ramuan Kematian” Carson langsung menghujamkan pendapat bahwa masyarakat sebenarnya sedang menyantap ramuan kematian dalam bentuk bahan kimia berbahaya, tidak hanya saat ini saja, tetapi bahkan seumur hidupnya, karena pestisida sintetis bisa memberikan efek selama 20 tahun. Dua kelompok pestisida sintetik berbahaya yang ditunjukan penulis adalah hidrokarbon terklorinasi, termasuk DDT, dan insektisida fosfor organik.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1950-an, industri pestisida berkembang pesat, dan DDT (diklorodifeniltrikloroetan) dianggap sebagai bahan kimia ajaib yang dapat membasmi hama dan meningkatkan hasil panen. Hal ini bermula ketika pada tahun 1939 ahli kimia Swiss Paul Müller menemukan bahan kimia buatan, dichlorodiphenyltrichloroethane (DDT) yang pertama kali disintesis pada tahun 1874, dan dapat digunakan sebagai pestisida yang digunakan untuk membasmi serangga atau hama lain yang merugikan pertanian. Penemuan tersebut dirasa penting pada saat itu karena dianggap efektif membasmi berbagai jenis serangga sekaligus, tahan lama, bahkan tahan hujan, dan relatif murah. DDT seperti memberikan jawaban untuk mengendalikan serangga yang menjadi hama pertanian sekaligus menyebabkan dan menyebarkan penyakit pada manusia, seperti malaria dan tifus. Karena peran penting penemuan tersebut, Müller dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun 1948. Setelah Perang Dunia II, penggunaan DDT meningkat karena dianggap sebagai senjata Ajaib untuk melindungi manusia dan tumbuhan dari berbagai hama.
ADVERTISEMENT
Namun, penelitian Carson menunjukkan bahwa DDT bertahan di lingkungan, terakumulasi dalam rantai makanan, dan menyebabkan kanker, cacat lahir, dan masalah reproduksi pada hewan dan manusia. Investigasi cermat Carson terhadap literatur ilmiah dan wawancara dengan para ahli mengungkap realitas kelam yang tersembunyi dari publik dan pemerintah. Dia menggambarkan bagaimana DDT merusak telur burung, menipiskan cangkangnya, dan menurunkan populasinya, sehingga berakibat terhadap penurunan populasi atau bahkan menghilangnya burung berkicau, elang, dan spesies lainnya. Ia juga membeberkan meluasnya penggunaan pestisida mematikan lainnya, seperti chlordane, aldrin, dan dieldrin, yang meracuni tanah, air, dan udara. Dengan alasan dampak yang diterima oleh setiap individu tersebut itulah Carson kemudian menuntut adanya hak untuk mengetahui bagaimana masyarakat terpengaruhi.
ADVERTISEMENT
Pada Bab 4 hingga Bab 6 Carson mulai mengkaitkan penggunaan DDT yang tidak terseleksi dengan kondisi air dan tanah. Dengan pernyataannya, bahwa “Tidak mungkin menambahkan pestisida kedalam perairan dimanapun tanpa mengancam kemurnian air di sepanjang alirannya”, dibuktikan dengan adanya kandungan DDT pada ikan dan burung yang tidak berada di area yang disemprot. Setiap makhluk hidup yang meminum air tersebut kemudian akan terkena racun yang dikandungnya. Informasi dan data ilmiah yang disajikan oleh Carson pada bab-bab tersebut, dan buku ini secara keseluruhan, menjadi lebih mudah untuk dapat dicermati oleh khalayak ramai karena kemampuannya untuk menyajikan gaya mendongeng untuk bahasan yang sebenarnya cukup rumit. Gaya personifikasi ungkapan yang cukup rumit, seperti bahan-bahan kimia dan makhluk mikroskopis, menjadi ungkapan yang lebih akrab juga banyak membantu lebih mudahnya pemahaman. Demikian juga dengan tanah, sesuatu yang dianggap sebagai benda mati, diuraikan dalam Bab 5. Carson meyakinkan bahwa tanah sejatinya adalah suatu kerajaan yang terdiri dari berbagai unsur hidup dan kehidupan, dan butirnya kemudian mengena, bahwa meracuni tanah adalah juga berarti meracuni kehidupan. Sementara itu, pembicaraan mengenai tumbuhan yang peran ekologisnya kemudian tergantikan karena semprotan bahan kimia disajikan dalam Bab 6 dengan pertanyaan mendesak mengapa hal tersebut dilakukan padahal ada jalan lain, seperti penggunaan serangga dan vegetasi lain untuk mengatasi gulma.
ADVERTISEMENT
Pemahaman mengenai musim semi yang sepi, seperti yang diawali di Bab pertama, mulai digulirkan pada Bab 8. Dengan gaya puitis, Carson membangkitkan emosi pembaca dengan menyajikan suara hati dari masyarakat pedesaan hingga para ahli yang mengalami kesunyian alam sekitar. “Kicau burung yang tiba-tiba dibungkam, penghilangan warna dan keindahan serta minat yang mereka pinjamkan ke dunia kita telah terjadi dengan cepat, diam-diam dan tanpa disadari. Ungkapan Carson mengenai tulisan seorang ahli burung terkemuka dan seorang ibu rumah tangga biasa yang merasa seperti putus asa atas hilangnya burung di komunitasnya karena penggunaan DDT, seolah memberi keyakinan bahwa suara dan keprihatinan mereka dihargai dan disampaikan.
Carson juga pandai mengaduk-aduk emosi pembaca dan bahkan membangkitkan rasa nasionalisme Amerika Serikat, dengan menyajikan “takdir” yang dialami oleh dua simbol yang dikenal semua orang, yaitu burung Robin sebagai simbol musim semi dan burung Elang sebagai simbol bangsa. Keduanya terpinggirkan karena sumber makanannya telah tercemari oleh semprotan pestisida yang meluas: burung Robin karena memakan cacing yang hidup dari pohon Elm yang tercemari, dan burung Elang yang memperoleh mangsa hewan yang telah terkontaminasi bahan kimia pestisida. Inilah yang dalam ilmu toksikologi dikenal sebagai “biomagnifikasi” atau peningkatan konsentrasi bahan kimia berbahaya yang berjenjang dari satu makhluk ke makhluk lainnya akibat proses makan memakan dalam suatu piramida makanan. (bersambung ke Bagian 2)
ADVERTISEMENT