Konten dari Pengguna

Memerdekakan Anak dari Bencana

Yusra Tebe
Fellow di Resilience Development Initiative (RDI) https://www.rdi.or.id/home & https://www.predikt.id/beta/.
17 Agustus 2019 12:56 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusra Tebe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Yusra Tebe
Ilustrasi bencana alam Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bencana alam Foto: Unsplash
Hampir setiap tahun, berbagai wilayah Indonesia mengalami bencana. Mulai dari banjir, longsor, kebakaran, angin puting beliung, gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, dan asap. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, 11.579 jiwa meninggal dunia dan hilang pada periode 2009-2018.
1. Data Korban Bencana. Sumber: BNPB
Lebih jauh, hanya dalam periode 2018, BNPB mencatat ada 2.000 lebih kejadian bencana, yang menyebabkan 4.000 jiwa meninggal dunia, 10 juta orang terdampak dan mengungsi. Berbagai bencana telah merusak 320 ribu rumah, 106 fasilitas, 857 fasilitas ibadah, dengan total kerugian mencapai Rp 34 triliun.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan di sektor pendidikan? Pada tahun 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan bahwa dalam hanya kurun waktu 2004-2018, terdapat 48 ribu lebih sekolah yang terdampak bencana. Artinya, ada jutaan anak yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam setiap kejadian bencana, anak akan mengalami persoalan yang kompleks: Adanya korban jiwa, terluka, sekolahnya roboh, proses belajar-mengajar terhenti sementara, hingga kehilangan kesempatan belajar. Kesehatan anak juga bisa terganggu dan psikologisnya bisa berubah.
Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan sistem pendidikan terbesar di dunia, menurut Bank Dunia, tercatat memiliki 266.599 sekolah. Sedangkan hasil kajian oleh BNPB melalui INARISK, yang dikombinasikan dengan data pokok Pendidikan (Dapodik) Kemendikbud, lebih dari 126.000 sekolah di Indonesia masuk dalam katagori rawan bencana sedang dan tinggi.
ADVERTISEMENT
Ancaman yang dimaksud, di antaranya 54.000 sekolah terancam banjir, 15.000 sekolah rawan tanah longsor, dan 1.685 sekolah berada di wilayah rawan letusan gunung api, 52.000 sekolah rawan gempa bumi, dan 2.000 sekolah rawan tsunami. Ini belum termasuk jumlah satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kementerian Agama. Artinya, ada jutaan anak yang berpotensi akan terdampak oleh bencana yang senantiasa mengancam mereka setiap harinya.
Ancaman bencana, terutama yang masuk kategori bencana geologi, seperti gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung api, tentu sebuah keniscayaan yang akan terus terjadi. Sebab, Indonesia terletak di 3 lempeng tektonik utama: Eurasia, Pasifik, dan Hindia-Australia.
Jadi, ancaman ini tidak bisa dihentikan, hanya bisa dikurangi dampaknya. Termasuk dengan teknologi tinggi, seperti yang disampaikan oleh Daryono, ahli gempa dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
2. Peta Indeks Rawan Bencana. (Sumber: BNPB)
Dengan situasi ini, berbagai lembaga, baik pemerintah maupun non-pemerintah, telah melakukan upaya mengurangi dampak bencana di sekolah melalui berbagai inisiatif. Salah satunya adalah penerapan program satuan pendidikan yang aman bencana.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, sampai 2018, lebih dari 25.000 lebih sekolah yang telah melaksanakan atau mendapatkan pengetahuan tentang Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Artinya, baru sekitar 10 persen dari total sekolah di Indonesia yang terpapar pengetahuan SPAB.
Di sisi lain, Kemendikbud bersama BNPB dengan dukungan berbagai lembaga telah menerbitkan peta jalan sekolah aman bencana di Indonesia, mengeluarkan petunjuk teknis penerapan SPAB, membangun portal daring SPAB, melakukan integrasi data ancaman bencana dengan data pokok pendidikan, mendirikan sekretariat nasional SPAB, menerbitkan buku pramuka siaga bencana, hingga mengembangkan permainan-permainan daring SPAB yang dapat diunduh langsung melalui telepon genggam.
Melihat hal ini artinya ada upaya dari berbagai pihak, dalam upaya mengurangi dampak bencana. Komitmen pemerintah juga ditunjukan melalui 6 arahan Presiden Jokowi dalam penanggulangan bencana salah satunya adalah edukasi kebencanaan harus dilakukan segera, terutama di wilayah yang rawan bencana melalui masyarakat, sekolah, maupun pemuka agama.
ADVERTISEMENT
Berbagai program yang telah disampaikan di atas tentulah tidak cukup. Buktinya, dalam bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang terjadi di Sulawesi Tengah pada September 2018. Telah menyebakan 1.509 satuan pendidikan yang rusak, lebih dari 184.000 siswa dan 13.000 guru terdampak.
3. Salah Satu Sekolah Terdampak Di Sulawesi Tengah (Foto: Yusra Tebe)
Indonesia memang dihadapkan berbagai tantangan dalam penerapan SPAB. Pertama, SPAB belum menjadi salah satu prioritas utama pemerintah, baik di level nasional, maupun maupun di level daerah. Kedua, anggaran yang masih terbatas. Ketiga, jumlah dan luasan sekolah yang cukup besar, serta masih kurangnya kesadaran akan pentingnya isu ini.
Dalam hal implementasi, tantangan lain juga muncul. Seperti yang juga disampaikan oleh Avianto Amri, dalam tulisannya tentang "Pentingkah Kurikulum Pendidikan Bencana", menyebutkan bahwa kemampuan guru dalam pendidikan bencana masih lemah dan materi ajar yang cukup terbatas.
ADVERTISEMENT
Lalu pertanyaannya bagaimana caranya agar anak-anak Indonesia dapat merdeka dari bencana? Tentu tidak dalam makna bebas sepenuhnya. Karena seperti yang telah disampaikan di atas, beberapa ancaman bencana itu suatu yang pasti akan terjadi.
Beberapa hal yang dapat dilakukan, di antaranya meningkatkan pengetahuan anak dalam mengidentifikasi ancaman dan cara menghadapi bencana, mengintegrasikan pengetahuan bencana di sekolah melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Jenis kegiatannya bisa dimulai dari mengajarkan anak mengidentifikasi ancaman dan risiko bencana yang ada di lingkungan sekolahnya, menyepakati apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana, membuat rencana evakuasi, terlibat dalam pembuatan jalur dan petunjuk evakuasi, serta melalukan simulasi bencana secara rutin di lingkungan sekolah.
4 Orang Anak Melakukan Simulasi di Jawa Tengah (Foto: Yusra Tebe)
Banyak studi membuktikan bahwa anak-anak bisa melakukan semua hal diatas. Namun, agar lebih efektif, perlu adanya keterlibatan orang dewasa, yaitu pihak orang tua, guru, atau tokoh-tokoh lainnya yang bisa mendorong upaya siap siaga bencana menjadi lebih efektif. Hal ini perlu didukung oleh pemerintah melalui beberapa hal.
ADVERTISEMENT
Pertama, menerbitkan kebijakan, baik berupa peraturan presiden, peraturan menteri, maupun peraturan yang diterbitkan oleh kepala daerah, yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan di sekolah, misal untuk mewajibkan sekolah-sekolah yang berada di rawan bencana untuk dipastikan keamanannya dan melakukan simulasi yang rutin minimal 2 kali setahun.
Kedua, mengalokasikan anggaran untuk implementasi SPAB di sekolah, misal dengan besaran 1-2 persen lebih dari total anggaran yang dimiliki oleh kemendikbud. Anggaran ini dapat digunakan untuk memastikan sekolah memiliki fasilitas keselamatan dan keamanan, guru-guru dan peserta didik yang terlatih, serta membangun prosedur kedaruratan yang jelas. Untuk memujukan hal ini, tentu diperlukan keterlibatan masyarakat termasuk orang tua murid. Sebab, keselamatan anak-anak kita perlu menjadi prioritas, termasuk saat di sekolah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, melakukan kampanye pengurangan risiko bencana dengan lebih masif, melalui berbagai cara, media, dan kesempatan. Apalagi di era digital saat ini, penyebaran informasi relatif cukup mudah.
Keempat, melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi SPAB. Bisa melalui integrasi dengan sistem DAPODIK yang ada di Kemendikbud, atau dengan membangun mekanisme dan sistem yang berbasis teknologi informasi seperti aplikasi dan situs web. Sehingga, seluruh orang tua juga akan paham dan mengerti jenis dan tingkat ancaman bencana yang dapat membahayakan anak-anak saat mereka di sekolah.