Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Minimnya Upah Pengrajin dan Ketimpangan Harga Layangan Desa Sekar Putih
27 Agustus 2020 14:05 WIB
Tulisan dari Yusril Ihza Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Desa Sekar Putih, mungkin bukan lagi nama yang asing bagi para pecinta permainan tradisional “Layangan”, khususnya bagi mereka yang berdomisili di Jawa Timur dan sekitarnya. Pasalanya, Desa yang terletak di Kabupaten Pasuruan ini, sudah dikenal sebagai pemasok Layangan utama bagi daerah-daerah di Jawa Timur seperti Malang dan Tulungagung. Bahkan hasil produksinya juga didistribusikan ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa desa ini menjadi pilihan utama bagi beberapa mahasiswa UMM untuk dijadikan objek pengabdian. Pengabdian tersebut merupakan bagian dari program Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) yang diselenggarakan oleh DPPM UMM.
Kelompok 96 yang tergabung dalam gelombang ke-4 dan dibimbing langsung oleh Beti Istianti Suwandayani, mencetuskan program pelatihan E-Marketing bagi para pengusaha Layangan Desa Sekar Putih. Program ini resmi dibuka pada tanggal 6 Agustus yang dipimpin oleh Pj Kades Sekar Putih, Syamsul Arifin, dan diikuti oleh beberapa perangkat desa.
Dalam pembukaan terjadi diskusi dua arah antara mahasiswa dan perangkat desa. Salah satunya berkaitan dengan masalah ketimpangan harga antara juragan layangan. Menurut perwakilan perangkat desa, masalah tersebut disebabkan oleh perbedaan omzet yang dihasilkan oleh setiap juragan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pengakuan Moh. Arifin selaku Kesra Desa Sekar Putih, sebelumnya pemerintah sudah melakukan upaya dengan membentuk Koperasi Unit Desa yang bertugas mengumpulkan hasil produksi layangan, yang kemudian akan didistribusikan ke pada para pembeli. Namun, upaya yang dilakukan tidak memberikan hasil yang optimal.
“Pada tahun 2016, sebenarnya kami sempat mengupayakan pembentukan Koperasi Desa untuk mengatasi permasalahan ini. Bahkan, kami sudah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten. Tapi, seiring berjalannya waktu, beberapa kendala seperti minimnya tempat penyimpanan, dan sistem pembayaran di belakang, membuat para juragan tidak puas. Akhirnya mereka tidak lagi menyetorkan hasil produksi Layangannya ke KUD.” Ujar Arifin saat ditemui di Kantor Desa Sekar Putih.
Permasalahan lainnya adalah minimnya upah pengrajin layangan. Memang di desa ini proses produksi tidak dilakukan oleh satu rumah produksi saja. Melainkan terdapat beberapa rumah produksi yang masing-masing memiliki tugas berbeda seperti meraut bambu, mengikat rangkai layangan, dan mengetrap (menempelkan kertas layangan). Rangkaian setengah jadi kemudian akan disetorkan ke pada pengepul untuk dilakukan finishing, dan didistribusikan ke pembeli.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perangkat desa berharap agar melalui program pelatihan E-Marketing dapat tercipta pasar yang lebih luas, dan persaingan yang lebih sehat antar para juragan Layangan. Selain itu, peningkatan penjualan Layangan juga diharapkan mampu meningkatkan upah para pengrajin yang selama ini dinilai masih terlalu minim.