Gersangnya Reformasi dalam Kasus Luhut vs Haris dan Fatia

Yusril Mukav
Penulis merupakan mahasiswa aktif Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
9 April 2022 20:53 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusril Mukav tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan sebagai saksi, Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pencemaran nama baik terhadap Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada 18 Maret 2022. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka setelah Luhut melaporkan Haris dan Fatia berhubungan dengan video yang diunggah di Youtube Agustus 2021 lalu berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”. Dalam perkembangan kasusnya, Luhut menjelaskan bahwa nama baiknya merasa dicemarkan karena melihat bahwa data-data penelitian yang dilakukan oleh 9 organisasi terhadap aktivitas tambang di Intan Jaya data tidak dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.
ADVERTISEMENT
Dari laporan penelitian cepat tersebut, kita dapat melihat begitu banyak posisi strategis perusahaan-perusahaan penerima izin usaha pertambangan emas di Blok Wabu Intan Jaya yang diisi oleh para purnawirawan dan pejabat aktif TNI-Polri. Namun tak sedikit dari kita yang melihat bahwa kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Haris dan Fatia sebatas merupakan masalah personal. Padalah kita dapat melihat gambaran yang lebih luas mengenai latar belakang ekonomi politik kriminalisasi Haris dan Fatia.

Sipil dalam Bayang-Bayang Militer

Tiga puluh dua tahun kekuasaan Suharto dengan pendekatan sentralistik anti-politik sebagai legitimasi kekuasaan bukanlah waktu yang singkat. Ia secara langsung telah mempengaruhi budaya dan watak elit politisi negeri yang anti demokrasi. Namun pasca jatuhnya Suharto dari kekuasaan, model pemerintahan yang sentralistik tidak ada lagi. Karena kekuasaan mulai tersebar, mereka didorong untuk beradaptasi dengan iklim politik baru—desentralisasi. Di masa desentralisasi ini, elit membentuk budaya politik barunya: mereka peduli dengan demokrasi selama praktik di lapangan sejalan dengan kepentingannya.
ADVERTISEMENT
Ini berdampak pada dua aspek sekaligus. Pertama, mereka membiarkan aparat di lapangan untuk terlibat dalam urusan ekonomi politik. Kedua, mereka membiarkan aparat melakukan tindakan represi selama hal tersebut tidak menghambat aktifitas elit mencari duit sebanyak mungkin.
Faktor yang kedua memberikan efek domino. Didikan militer di institusi kepolisian yang didapat puluhan tahun pada masa pemerintahan Orde Baru meninggalkan kebiasaan yang mandarah daging di institusi kepolisian. Seperti yang telah dijekaskan oleh Eko Riyadi (2020), aparat penegak hukum di Indonesia seringkali menafsirkan perintah undang-undang untuk menciptakan ketertiban umum sebagai landasan untuk penggunaan kekerasan dalam keamanan publik. Hal tersebut banyak ditemukan dalam aksi-aksi massa atau diskusi publik yang diselenggarakan oleh sipil.
Di kasus seperti Papua, latar belakang peninggalan sejarah bercabang dengan motif ekonomi. Melimpahnya sumber daya alam menjadi lahan yang menggiurkan untuk menggemukkan tubuh lembaga TNI. Tidak hanya pejabat tingginya yang bersaing mendapatkan pundi-pundi uang namun juga tentara di lapangan yang membutuhkan pemasukan tambahan karena rendahnya upah yang didapatkan (Blair dan Phillips, 2003).
ADVERTISEMENT
Praktik militer dalam urusan bisnis bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Ia sudah terlihat semenjak Presiden Sukarno berkuasa. Artinya semenjak negara ini berdiri.
Mengutip dari Unfinished Nation: Ingatan Revolusi, Aksi Massa, dan Sejarah Indonesia (Lane, 2014), banyak perwira bekas didikan Belanda yang pasca Belanda angkat kaki dari Indonesia, dengan cepat mengintegrasikan dirinya dalam aktivitas-aktivitas mencari uang—khususnya dalam kegiatan penyelundupan dan perjudian. Penangkapan-penangkapan dan pelarangan penerbitan buku-buku kiri dilakukan oleh TNI di pertengahan tahun 1960-an. Bukan hal yang mengejutkan, TNI bukanlah lembaga negara yang bergelimang harta ketika Indonesia terbentuk. Keterbatasan anggaran nasional mendorong mereka untuk membuka kemungkinan mendapatkan pemasukan yang independen. Dalam praktiknya, TNI menguasai jumlah besar aktivitas bisnis – kontrolnya atas perusahaan-perusahaan bekas Belanda menguat setelah ditahun 1957 Sukarno mengkampanyekan nasionalisasi aset strategis dan memberikan penguasaan tersebut ke tubuh militer (Canetta, 2019).
ADVERTISEMENT

Luhut, Militer, dan Militerisme

Tidak mengejutkan memang, pengalaman sejarah menyoal peran tentara Indonesia dapat dibilang telah menjadi dasar penopang berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Dari genosida terbesar pasca perang dunia, penghilangan paksa, hingga praktik pengerukan sumber daya alam. Tentara, yang profilnya telah dibangun sebagai pelindung persatuan nasional telah dipakai untuk menjustifikasi peran mereka di sekitar proyek-proyek pengerukan sumber daya alam atas dasar mengamankan aset negara di tanah Papua.
Peran TNI sangatlah krusial berhubungan dengan fungsinya mengamankan aktivitas korporasi. Selain TNI, terdapat pula aktor-aktor negara yang juga dimobilisasi dalam menjalankan fungsi yang sama. Yaitu Brimob, Kopassus, Kostrad, dan polisi daerah. Semua institusi tersebut secara samar saling berkompetisi untuk mendapatkan proyek pengamanan (McKenna, 2015). Dalam konteks historis, ekspansi mereka di tanah Papua berhubungan dengan masuknya Freeport dan British Petroleum. Hasil dari kemenangan kelompok Kanan dan Barat dalam perang dingin.
ADVERTISEMENT
Ini secara langsung berkontadiksi dengan jargon narasi para petinggi militer— ‘pengamanan aset negara’. Meskipun bagi penulis, praktik dan propaganda yang berlawanan tersebut bukanlah masalah yang begitu penting untuk diperbincangkan. Melihat bahwa kondisi hari ini memperlihatkan elit lokal mendapatkan keuntungan yang sama dan terus melanjutkan praktik kekerasan di tanah Papua.
Jakarta, di masa kepemimpinan Jokowi sendiri mengakui bahwa telah banyak yang mereka lakukan untuk mengintegrasikan Papua secara persuasif dan humanis. Jokowi begitu kewalahan dalam menyeragamkan harga bahan bakar minya di pulau tersebut. Seperti yang banyak diberitakan oleh media-media nasional di Indonesia, ia merupakan presiden yang melakukan kunjungan terbanyak di tanah Papua sepanjang negara ini berdiri.
Namun dalam esensi kebijakan, Jakarta tidak terlihat serius untuk menyelesaikan konflik di tanah tersebut sampai ke akarnya dengan pendekatan humanis. Setidaknya ada tiga kebijakan yang luput difokuskan oleh Jakarta: pembangunan ekonomi akan menghilangkan penderitaan; pelanggaran HAM masa lalu akan dengan sendirinya terselesaikan; dan pemilihan lokal yang banyak dijalankan dengan kecurangan akan secara aman ternegasikan (IPAC, 2017).
ADVERTISEMENT
Pada tataran politik, Jokowi adalah politisi yang lemah. Pasca dirinya dipilih sebagai presiden di periode pertama, ia langsung menyandarkan kepalanya ke bahu militer. Sinar pemandunya disandarkan pada figur Luhut Binsar Pandjaitan—seorang purnawirawan, pebisnis, dan mantan anggota Golkar yang telah ia angkat secara samar-samar tetapi sangat penting posisinya yaitu Kepala Staf Kepresidenan pada 31 Desember 2014.
Luhut adalah dirijen orkestra. Ia memiliki sekelompok rekanan yang tahu siapa pensiunan militer yang dapat diajak untuk bekerjasama dalam proyek-proyek negara, bahkan hingga mengawasi para pembuat onar jika dibutuhkan. Secara sosial ia memerankan ideologi yang paling progresif di jajaran keluarga besar militer. Tidak pernah terlontar dari mulutnya sekalipun mengenai isu proxy war—sebagaimana yang diproduksi secara berlebihan oleh pejabat-pejabat aktif di tubuh TNI. Keyakinanya sangat kuat bahwa militer lebih bisa menyelesaikan permasalahan ketika birokrasi tidak bisa. Oleh karena itu, mendorong peran militer di sektor non-militer baginya adalah bagian dari efisiensi (IPAC, 2015).
ADVERTISEMENT
Secara tersirat, keyakinan tersebut menunjukkan ideologi militerisme. Keyakinan yang sudah kuat semenjak tajamnya kontradiksi politik antar partai di era Sukarno. Kemudian dijadikan sebagai landasan berkuasa oleh pemerintahan Orde Baru. Sebagaimana diyakini oleh Ali Moertopo, bahwa tajamnya kontradiksi partai-partai politik di era pasca kemerdekaan hanyalah ‘konflik kepentingan politik ideologi’ dan berdampak negatif terhadap proses pembangunan bangsa (Lane, 2014).
Sehingga aktivitas-aktivitas pengungkapan praktik bisnis di tanah Papua bukan hanya menyerang seorang figur personal Luhut Binsar Pandjaitan. Penelitian yang dilakukan oleh sembilan organisasi NGO itu – yang akhirnya membuat Haris dan Fatia dikriminalisasi adalah aktivitas yang secara langsung menyerang insitusi aparat keamanan negara – TNI dan Polri. Di saat yang bersamaan hasil penelitian terseut juga dapat memperkuat resistensi rakyat Papua terhadap Jakarta. Yang artinya akan menghambat aktivitas bisnis para purnawirawan militer dan pengusaha sipil di Papua.
ADVERTISEMENT

Redupnya Sipil Berlawan

Sayangnya, gerakan demokratik sipil masih terpecah dan latah dalam merespon serta mengartikan praktik-praktik bisnis kotor yang dikuak oleh organisasi Non-Governmental Organization—seperti yang dilakukan oleh Fatia, dkk, atau laporan dalam bentuk berita seperti yang sering dikeluarkan oleh media Tempo. Kita seolah masih enggan untuk menyimpulkan bahwa arti dari semua temuna tersebut menunjukkan esensi negara adalah alat kekuasaan.
Haris Azhar (kiri) dan Muhammad Isnur (kanan) menghadiri panggilan pemeriksaan pada 20 Maret 2020 lalu di Kantor Polda DKI pasca Hariz ditetapkan sebagai tersangka. (Foto: Yuzril Mukav)
Bertumpuk-tumpuk hasil penelitian akademis yang mengungkap aktivitas bisnis kotor hanya akan menjadi boomerang yang bisa saja semakin menggerus ruang demokrasi kita kedepannya jika tidak diiringi oleh gerakan sipil yang terorganisir. Todung Mulya Lubis di tahun 1981 pernah berpesan pada masyarakat Indonesia bahwa rakyat (korban) ‘perlu secara radikal mengubah persepsi beserta aksi-aksi mereka dan untuk bersama-sama mengkonfrontasikan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Hari ini, tidak ada alasan bagi gerakan sipil untuk melawan secara samar dan melakukan perlawanan kecil-kecilan (defensive action) seperti yang dilakukan di masa-masa awal perjuangan anti-Suharto. Ruang demokrasi masih relatif terbuka untuk dimanfaatkan sebagai sarana pengorganisasian politik kerakyatan. Perlawana ofensif tidak dapat lagi ditunda. Namun, perlawanan yang offensive tidak dapat efektif tanpa adanya organisasi dan kepemimpinan yang dibutuhkan. Toh, agar resistensi sipil dapat efektif dimenangkan ia harus dikenal luas sehingga butuh kemampuan mengekspresikan aspirasi serta memobilisasi massa. Jika bukan massa sendiri yang berjuang untuk nasib mereka sendiri, siapa lagi yang mau memperjuangkan?