Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Demokrasi : Jangan Bunuh Aku Di Pemilihan Raya Mahasiswa
2 Januari 2024 20:33 WIB
Tulisan dari Yusron Ashalirrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pesta demokrasi terbesar yaitu Pemilihan Umum Serentak 2024 semakin di depan mata. Akan tetapi sebelum mengawal itu, semangat untuk menumbuhkan dan menjaga proses demokrasi harus berawal dari terlaksananya penyelenggaraan pesta demokrasi kampus yang substansial. Kampus merupakan wadah pondasi utama keberlanjutan proses demokrasi Indonesia. Namun, apakah pelaksanaan pesta demokrasi kampus yang dilaksanakan oleh mahasiswa telah menjunjung tinggi amanat dalam kontitusi dan Undang-Undang Pemilihan Umum?
ADVERTISEMENT
Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) menandakan spirit demokrasi yang diinginkan oleh bangsa Indonesia. Lahirnya Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kedua norma konstitusi ini sejatinya menunjukkan bahwa Indonesia menganut negara demokrasi yang berdasarkan hukum (constitutional democratic state) dan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) di mana kedaulatan rakyat dan negara hukum yang menjadi fondasi bernegara harus dibangun dan ditegakkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan nomokrasi. Artinya, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Dengan kata lain, terdapat korelasi yang jelas antara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu prosedur utama demokrasi dalam melaksanakan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam pelaksanaanya, Pemilu memegang teguh asas dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang kemudian dijawantahkan secara exsplisit dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Konsideran menimbang huruf c UU Pemilu yang menyatakan bahwa Pemilu wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
MENJAGA DEMOKRASI SUBSTANSIAL KAMPUS
Perjuangan untuk menghidupkan demokrasi yang substansial tidak lepas dari peranan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), sebagai pengawal tegaknya keadilan dan sebagai tonggak estafet keberlanjutan bangsa dan negara. Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) merupakan sarana demokrasi sebagai perwujudan tatanan kehidupan civitas mahasiswa dalam lingkup kampus. Demi mewujudkan tujuan dari demokrasi berkelanjutan yaitu pemerintahan dari mahasiswa untuk mahasiswa. Pelaksanaan Pemira setidaknya bertujuan untuk 4 (empat) hal yaitu :
ADVERTISEMENT
Pemira merupakan penjawantahan dari pada Pemilu itu sendiri . Pelaksanaan pergulatan kekuasaan mahasiswa merupakan hal sederhana namun penting untuk sangat diperhatikan. Senada dengan maksud daripada Pemilu yang diatur oleh hukum yaitu berfungsi menjinakkan kekuasaan yang telanjang dan menunjukkan bagaimana mengatur kekuasaan itu. Sesuai dengan adigium, potentia debet sequi justitiam, non antecedari. Artinya, kekuasaan mengikuti hukum dan bukan sebaliknya.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), jumlah mahasiswa di Indonesia sebanyak 9,32 juta orang pada 2022. Jumlah itu naik 4,02% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 8,96 juta orang. Kemudian pada tahun ajaran 2023 jumlah mahasiswa baru lebih dari 2 juta. Angka ini menunjukan urgensitas bagaimana upaya tetap membangun dan menjaga demokrasi nasional berawal dari proses pesta demokrasi kampus sehingga tegaknya keadilan.
ADVERTISEMENT
Menghidupkan demokrasi yang substansial maka kita berbicara bagaiamana etika dalam pelaksanaan demokrasi . Inilah kemudian yang dikatakan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie "Salah satu ciri demokrasi substansial adalah adanya keteraturan. Karena itulah, kita memerlukan keteraturan hukum maupun etika. Inilah percobaan besar untuk memperkenalkan rule of law dan rule of etic dalam mengembangkan sistem demokrasi. Keseimbangan rule of law dan rule of etic akan menghasilkan kesejahteraan kolektif kita sebagai bangsa. Sehingga kemanfatan dari demokrasi bisa dinikmati bersama, melalui kebebasaan, keadilan, kesejahteraan dan kerukunan. Jika berhasil dengan proyek etika, melengkapi sistem aturan hukum kita”.
Berbicara Rule Of Law demokrasi maka kita juga berbicara Rule Of Ethics demokrasi, bagaiamana etisnya suatu demokrasi untuk menghasilkan keadilan dan kebermanfaatan bagi khayalak umum. Hal serupa juga dikatakan oleh Emile Durkeim yang dikenal sebagai bapak sosiologi modern “Ketika moral cukup, hukum tidak diperlukan; ketika moral tidak mencukupi, hukum tidak dapat ditegakan”.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari itu, untuk mewujudkan etika dalam pelaksanaan demokrasi kampus yang susbtansial maka perlunya : Pertama, menjunjung tinggi dan menghormati adanya perbedaan pilihan. Kedua, memegang teguh asas pelaksanan Pemilu yang diamanatkan konstitusi yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ketiga, proses Pemira tanpa adanya gejolak fisik antar sesama saat pemilihan berlangsung yang memungkinkan peluang terjadinya indikasi kecurangan. Keempat , tanpa adanya akal-akalan politis untuk mengganggu indepedensi penyelenggara Pemira. Mengapa ini perlu ditekankan? Mengingat sebuah adigium, in maxima potential minima litencia. Artinya, dimana ada kekuasaan, di situ selalu ada keinginan untuk melakukan kejahatan.
Menghidupkan pembangunan demokrasi kampus yang dewasa, berkeadilan dan beretika merupakan suatu keharusan. Jika dalam pesta demokrasi kampus mahasiswa sudah berani mencederai proses itu sehingga melahirkan demokrasi yang cacat, bagaimana kemudian mahasiswa bisa menjaga demokrasi nasional yang berkeadilan? maka gelar mahasiswa sebagai agen perubahan hanya angan-angan semata dan keadilan demokrasi yang selama ini digaung-gaungkan hanya cerita fiktif belaka. Sadar bahwa, mahasiswalah yang akan melanjutkan jalanya roda eksekutif, legislatif, yudikatif maupun sektor swasta. Pembangunan tanpa keadilan akan menimbulkan ketimpangan, namun keadilan tanpa pembangunan, tidak mungkin dapat menciptakan kemajuan.
ADVERTISEMENT