Mengolah Limbah Sawit Jadi Bioetanol

Yustantiana
Pranata Humas Ahli Muda di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Konten dari Pengguna
28 Februari 2022 14:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yustantiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (sumber foto: bpdp.or.id)
zoom-in-whitePerbesar
Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (sumber foto: bpdp.or.id)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bukan Lautan, Hanya Kolam Susu. Sepenggalan kalimat pada lagu lawas ini menyentil kita akan betapa kayanya Indonesia. Apa saja ada, asal kita bisa memanfaatkannya. Tak terkecuali, limbah kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
Limbah? Ya, Indonesia penghasil minyak kelapa sawit nomor 1 di dunia. Limbahnya, tentu saja melimpah! Limbah perkebunan sawit, berupa Tandan Kosong Sawit (TKS), punya potensi besar untuk dimanfaatkan. Di tangan ahlinya, TKS "disulap" jadi bahan bakar bioetanol.
Yanni Sudiyani sudah lama melakukan penelitian terkait limbah biomassa lignoselulosa dari TKS sebagai bahan baku bioetanol. Penelitian wanita kelahiran Balikpapan ini berawal dari kerja sama antara kantor tempatnya bekerja - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) – dengan Korea International Cooperation Agency (KOICA) dan Korea Institute of Science and Technology (KIST).
Kerja sama dilakukan dengan membangun Pabrik Percontohan (Pilot Plant) Bioetanol Generasi 2 (G2). Lokasinya di Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan. Produksi bioetanolnya pun sudah mencapai kadar kemudian lebih dari 99,6 persen atau sekelas bahan bakar.
ADVERTISEMENT
Hilangkan Lignin, Dapatkan Holoselulosa untuk Etanol
Pilot Plant Produksi Bioetanol milik BRIN, di Serpong, Tangerang Selatan (sumber foto: BRIN)
Yanni menjelaskan bahwa tidak semua komponen pada biomassa lignoselulosa dapat dijadikan bioetanol. Struktur polimernya terdiri dari komponen holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa), dan lignin. Namun, yang dapat dikonversi menjadi etanol hanyalah holoselulosa. Sedangkan lignin sebagai penghambat (inhibitor) harus dilepaskan melalui proses perlakuan awal (pre-treatment).
Kalau diibaratkan, ada sebuah bangunan yang terdiri dari beton, semen, dan bata. Semen ada diantara beton dan bata sebagai perekat. Sama halnya dengan lignin, ada diantara selulosa dan hemiselulosa.
Pada praktiknya, lignin tersebut sulit untuk dibuang, karena selulosa pun akan ikut terbuang. Teknologi inilah yang perlu dipelajari Peneliti Ahli Utama ini, yaitu bagaimana sebisa mungkin menghilangkan lignin, namun dapat memperoleh holoselulosa sebanyak-banyaknya.
ADVERTISEMENT
Lebih rinci, wanita lulusan S-3 Kyoto University ini menjelaskan proses produksi bioetanol G2. Proses tersebut terdiri dari 4 tahapan. Pertama, pre-treatment. Pre-treatment merupakan proses degradasi lignin sehingga terpisah dari holoselulosa. Proses ini merupakan tahapan penting dalam proses konversi lignoselulosa menjadi etanol.
Kedua, hidrolisis atau sakarifikasi selulosa. Proses pada tahapan ini menggunakan enzim atau mikroba untuk menghasilkan gula. Ketiga, fermentasi gula menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae. Tahapan terakhir adalah distilasi dan pemurnian etanol.
Tantangan terberat dari keempat tahapan tersebut adalah tahapan pre-treatment. Berbeda bahan bakunya, berbeda pula perlakuan pre-treatment-nya. Bahan baku biomassa lignoselulosa lain bisa berasal dari jerami padi, tongkol jagung, atau limbah organik perkotaan.
Meskipun riset pre-treatment telah banyak dilakukan, peluang pengembangannya terus terbuka lebar. Tidak ada satu metode umum yang berlaku untuk semua bahan lignoselulosa.
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya adalah enzim yang digunakan masih impor. Mengapa? Karena di Indonesia, belum ada produsen enzim yang aktivitasnya sama dengan enzim komersial.
Saat ini, Yanni dan timnya sedang mengembangkan riset teknologi pre-treatment dengan sistem kontinu. Selain itu, pengembangan produksi bioetanol akan dilakukan secara terpadu. Riset integrasi proses hidrolisis dan fermentasi secara terpadu, yaitu gabungan sakarifikasi dan fermentasi dan konsolidasi bioproses (CBP, consolidated bioprocessing) juga tengah dikembangkan.
Produksi secara terpadu ini diharapkan tidak hanya menghasilkan bioetanol. Lebih dari itu, sistem produksi ini mempertimbangkan potensi limbah yang dihasilkan, yaitu lignin dan limbah fermentasi.
Lignin umumnya dapat digunakan sebagai bahan perekat kayu. Sedangkan limbah fermentasi dapat diolah menjadi co-product, berupa bahan kimia adi. Bahan ini kaya akan zat anti oksidan yang kerap digunakan sebagai bahan farmasi, kosmetik, pangan, dan aplikasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan kembali limbah ini akan membuat kegiatan industri ramah lingkungan, dan meningkatkan nilai tambah produk yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang mendorong pengembangan ekonomi sirkular.
Tekan Emisi Hingga 90 Persen
Dilansir dari laman Pertamina (pertamina.com), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) RI sudah merilis Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Peraturan tersebut mematok penggunaan bioetanol E5 pada tahun 2020, dengan formulasi 5 persen etanol dan 95 persen bensin. Kemudian meningkat ke E20 pada 2025. Namun dalam perjalanannya, rencana tersebut menghadapi kendala.
Pemerintah bahkan akhirnya merevisi penerapan bioetanol tersebut dengan menurunkan kandungan etanol menjadi 2 persen saja. Penerapan E2 pun dinilai masih jauh dari harapan karena terkendala ongkos produksi yang tinggi, sehingga kehadiran etanol dianggap kurang kompetitif sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan.
ADVERTISEMENT
Namun, kalau ditanya soal upaya penurunan emisi, bioetanol jadi salah satu “jagoan” energi alternatif. Penggunaan bioetanol dapat digunakan sebagai aditif dan pengganti atau campuran untuk bensin. Penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak diklaim dapat mengurangi 70 hingga 90 persen emisi karbon dioksida, bila dibandingkan dengan BBM setara oktan 90.
Komitmen pemerintah untuk menggunakan bioetanol pada bahan bakar kendaraan perlu terus dikawal. Ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah mestinya menjadi pengungkit semangat untuk mau menggunakan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri.
Hal inilah yang menjadi tantangan bagi para peneliti seperti Yanni, agar dapat menghasilkan teknologi produksi bioetanol G2 yang efisien dengan biaya yang kompetitif. Yanni dan tim terus melakukan penguasaan teknologi dan engginering design, yang menghasilkan performa tinggi bahan bakar bioetanol dengan bahan baku lignoselulosa. Kita doakan semoga hasil penelitian para peneliti kita dapat segera dimanfaatkan oleh industri, ya!
ADVERTISEMENT