Mimpi Eniya Birukan Langit Jakarta dengan Hidrogen

Yustantiana
Pranata Humas Ahli Muda di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Konten dari Pengguna
16 Februari 2022 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yustantiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Eniya Listiani Dewi, peneliti BRIN saat menunjukkan mobil berbahan bakar hidrogen hasil litbang BRIN di Laboratorium Fuel Cell dan Hidrogen, Puspiptek, Serpong (sumber foto: BRIN)
zoom-in-whitePerbesar
Eniya Listiani Dewi, peneliti BRIN saat menunjukkan mobil berbahan bakar hidrogen hasil litbang BRIN di Laboratorium Fuel Cell dan Hidrogen, Puspiptek, Serpong (sumber foto: BRIN)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Senin pagi. Eniya Listiani Dewi sedang dalam perjalanan dari rumahnya di Bogor menuju Thamrin, Jakarta Pusat, dengan mengendarai mobil. Kala itu, bulan Mei 2020. Langit Jakarta tak biasa, biru sebiru-birunya. Jalanan sepi, tak terlihat kesibukan ibu kota yang biasanya tiada kata istirahat. Pandemi telah mengubah segalanya. Segala aktivitas dilakukan di rumah. Mau kerja, mau sekolah, dilakukan secara daring.
ADVERTISEMENT
Birunya langit Jakarta mengingatkan Eniya pada perhelatan Indonesia Electric Motor Show (IEMS) tahun 2019. Saat itu, ajang pamer kendaraan listrik pertama kali di Indonesia tersebut mengangkat tema “Jakarta Langit Biru”. "Kami konvoi pakai motor listrik dari Thamrin ke Serpong. Tapi langit Jakarta, kok nggak biru?" kata Eniya menceritakan pengalamannya kepada penulis.
Mimpi Eniya untuk mewujudkan Jakarta yang bebas polusi ternyata kesampaian, justru karena pandemi Covid-19. Artinya, kata peraih Habibie Award 2010 dan BJ Habibie Technology Award 2018 tersebut, kalau emisi dari kendaraan konvensional itu nggak dibawa kemana-mana, langit Jakarta bakal benar-benar biru!
Tapi, apa iya orang jadi nggak boleh kemana-mana? Kan nggak mungkin juga. Pikiran Eniya lantas terlempar jauh pada tahun 2003, saat ia baru menyelesaikan pendidikan S3-nya di Waseda University, Jepang. Kala itu, saat sedang berbincang santai dengan atasannya di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), atasannya berkata, "Eniya, coba kamu teliti fuel cell dan hidrogen!"
ADVERTISEMENT
Teliti Hidrogen, Dapat 7 Paten
Eniya Listiani Dewi, peneliti BRIN saat menunjukkan mobil berbahan bakar hidrogen hasil litbang BRIN di Laboratorium Fuel Cell dan Hidrogen, Puspiptek, Serpong (sumber foto: BRIN)
Berbekal penemuannya saat menempuh S3 di Negeri Sakura mengenai Metal Air Batery, rasa keingintahuan Eniya tentang energi hidrogen tentu membuncah. Peneliti kelahiran 47 tahun silam ini bahkan memperoleh 7 paten dari penelitiannya terkait sel bahan bakar hidrogen. "Boleh dibilang, saya, tuh hampir tiap tahun pada saat itu menghasilkan paten," ucapnya bangga.
Risetnya mengenai pengembangan sel bahan bakar (fuel cell) berbasis gas hidrogen ini, dilakukan dengan cara mengubah senyawa hidrogen menjadi listrik melalui proses elektrokimia, yaitu transfer elektron. Hasilnya, ia berhasil membuat motor berbahan bakar hidrogen berkapasitas 500 watt.
"Kalau masyarakat sadar, bagaimana menekan emisi dari transportasi, hidrogen jawabannya. Emisinya: nol", katanya.
Masih 7 Kali Lebih Boros Dibanding Komersial
Eniya Listiani Dewi, peneliti BRIN, saat menunjukkan mobil berbahan bakar hidrogen kapasitas 1 kW (kiri) dan mobil golf berbahan bakar hidrogen kapasitas 2,5 kW, yang dikombinasikan dengan sel surya di bagian atap, untuk menciptakan kombinasi sistem bahan bakar dari energi terbarukan (kanan) (sumber foto: BRIN)
Setelah motor hidrogen, Eniya saat ini tengah mengembangkan mobil hidrogen. Mobil konvensional berbahan bakar bensin ia konversi menjadi bahan bakar listrik. Lalu mobil listrik menjadi mobil berbahan bakar hidrogen. Sel bahan bakarnya menggunakan sel bahan bakar komersial, tentunya dengan beberapa inovasi pembaharuan di sistem kontrolnya agar lebih efisien. Mobil berbahan bakar hidrogen rancangan Eniya berkapasitas 1 kW dan 2.5 kW.
ADVERTISEMENT
Merek mobil ternama seperti Toyota atau Honda sebetulnya sudah memproduksi mobil hidrogen. Satu liter gas hidrogen mobil Toyota bisa menempuh jarak hingga 7,5 km. Sedangkan, mobil hidrogen dengan sel bahan bakar lokal buatan Eniya dan tim, untuk 1 liter gas hidrogen baru bisa menempuh jarak 1 km.
“Jadi, riset punya saya ini masih lebih boros 7 kali lipat dibanding komersial, ini yang saya kejar untuk lebih efisien dan bisa dikembangkan sendiri di Indonesia,” tutur peraih Habibie Award termuda sepanjang sejarah ini.
Penggunaan teknologi bahan bakar hidrogen di sektor transportasi di berbagai negara, bergantung pada produk unggulan transportasi yang digunakan. Misalnya, Jepang dan Korea lebih mengunggulkan hidrogen untuk kendaraan mobil dalam dan antarkota (city car), serta hidrogen untuk perumahan. Lain halnya dengan Jerman, bahan bakar hidrogen menjadi favorit untuk transportasi kereta jarak jauh (long distance transportation).
ADVERTISEMENT
Sekali Pengisian Bahan Bakar Makan Waktu 3 Menit
Stasiun pengisian bahan bakar Hidrogen (H) di Jepang (sumber foto: tribunnews.com)
Kendaraan hidrogen bisa menempuh jarak yang cukup jauh, sekali pengisian bahan bakar. Waktu yang dibutuhkan untuk pengisian bahan bakar hidrogen juga sama seperti bahan bakar bensin, kurang dari 3 menit saja. Kelemahannya, saat ini infrastruktur produksi hidrogen, termasuk stasiun pengisian bahan bakar membutuhkan investasi yang tinggi, walaupun emisinya ditekan rendah sekali karena proses pembuatan hidrogen in-situ.
Lain halnya jika menggunakan kendaraan listrik, pengisian bahan bakar cukup lama. Bahkan dengan stasiun pengisian cepat sekalipun, memakan waktu hingga 1,5 jam. Walaupun ada stasiun pengisian cepat kurang dari 20 menit, namun kapasitas baterainya lebih kecil. Karena itu, kendaraan listrik lebih cocok digunakan untuk transportasi jarak dekat.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, kata Eniya, upaya penurunan emisi dari sektor transportasi perlu terus digeber, di antaranya menggunakan kendaraan listrik berbasis baterai dan berbasis gas hidrogen. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, tentu saja dengan segmen pasar yang berbeda. Intinya, keduanya menekan emisi di sektor transportasi secara signifikan.
Pemimpin Dunia Mulai Melirik Hidrogen Hijau
Saat Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021, atau yang lebih dikenal dengan COP 26, banyak pimpinan yang mulai bicara soal hidrogen hijau untuk mencapai nol emisi karbon. Eniya memberi contoh penerapan teknologi hidrogen hijau di Jerman yang memiliki banyak sel surya dan turbin angin. Kedua energi terbarukan tersebut kemudian menghasilkan listrik. Listriknya digunakan untuk proses elektrolisa air yang menghasilkan hidrogen.
ADVERTISEMENT
Proses elektrolisa adalah peristiwa penguraian senyawa air menjadi oksigen dan hidrogen gas dengan menggunakan arus listrik yang melalui air tersebut.
Saat ini, riset terbaru Eniya pun mengikuti tren hidrogen hijau. Selain bisa didapat dari sel surya dan turbin angin, listrik dari surplus listrik PLN juga bisa dimanfaatkan. Surplus listrik PLN di Jawa dan Bali, bisa digunakan untuk mengelektrolisa air yang menghasilkan hidrogen.
Wah, menarik sekali, ya, cerita Sang Profesor Hidrogen ini! Semoga mimpi Eniya untuk birukan langit Jakarta, bahkan bisa saja seluruh Indonesia, bisa segera terwujud!