Terpuruknya Perempuan di Masa Pandemi COVID-19

Yustina Ayu Rahmalia
Mahasiswi Prodi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
12 Januari 2022 17:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yustina Ayu Rahmalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Yustina Ayu Rahmalia
Mahasiswi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Ilustrasi depresi pada perempuan. Sumber : Pixabay.com
Pandemi COVID-19 tidak hanya menimbulkan masalah di bidang kesehatan, melainkan juga di bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Di masa pandemi ini pemerintah telah memberlakukan kebijakan bekerja di rumah (work from home) untuk meminimalkan penyebaran virus COVID-19. Kebijakan ini mengharuskan masyarakat untuk bekerja, belajar, beribadah di rumah.
ADVERTISEMENT
Selain itu di masa pandemi banyak pabrik yang melakukan pengurangan karyawan dengan cara pemutusan hubungan kerja. Pandemi ini juga telah menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami pemotongan gaji. Sehingga hal ini menyebabkan bertambahnya pengangguran. Tidak dapat dipungkiri wabah COVID-19 ini tidak terlepas dari masalah kesetaraan gender.
Hal ini disebabkan karena dampak dari pandemi COVID-19 selalu berbeda bagi perempuan dan laki-laki di tengah melekatnya budaya yang patriarki. Budaya patriarki sendiri merupakan budaya yang mana sistem struktur sosial lebih mengutamakan kepada sosok laki-laki sebagai sosok sentral dalam sebuah sistem organisasi sosial termasuk keluarga.
Hal ini tercermin dari bagaimana laki-laki memiliki otoritas kepada istri, anak-anak, dan harta benda. Laki-laki dianggap lebih kuat dan superior, sementara perempuan selalu dituntut menjadi makhluk yang tersubordinasi. Perubahan sosial dalam keluarga selama pandemi berlangsung cepat, tidak terkecuali peran ibu. Perempuan profesional yang biasanya pergi ke kantor dan menyerahkan pekerjaan rumah ke instansi atau peran pengganti kini terpaksa harus pulang.
ADVERTISEMENT
Kebijakan melakukan segala aktivitas di rumah diatur oleh pemerintah untuk mencegah dan menahan laju pertumbuhan virus COVID-19. Adanya kebijakan pemerintah membuat perempuan menjadi banyak beban selama pandemi, seperti mengurus, mengelola keluarga, bekerja, dan menjadi seorang istri. Akibat penerapan sistem kerja waktu terbatas dan waktu terbatas, perempuan menanggung beban keuangan ketika suaminya diberhentikan (pemutusan hubungan kerja) atau setengah dibayar, dan perempuan harus memikul tanggung jawab suami untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Ketika pendapatan rumah tangga berkurang maka ketegangan di rumah tangga ini semakin meningkat. Timbulnya masalah ekonomi dan beban kerja yang berlebihan, mengakibatkan perempuan rentan stres dan gangguan mental. Ketika perempuan tidak mampu memenuhi tugas rumah tangga dengan baik, mereka menjadi lebih rentan menjadi target kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
ADVERTISEMENT
Bahkan di tengah masa pandemi seorang ibu yang kewalahan melakukan pekerjaan rumah terkadang masih ada suami yang berpikiran bahwa urusan domestik atau rumah tangga sepenuhnya hanyalah tanggung jawab istri atau perempuan. Sementara pria tugasnya adalah mencari nafkah di luar rumah. Padahal sejatinya pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, merawat anak juga bisa dilakukan oleh laki-laki.
Di mana hal ini bisa mempererat relasi antara laki-laki dan perempuan, serta bisa menjadi stigma bahwa laki-laki tidak hanya diurusi saja melainkan juga bisa mengurus pekerjaan rumah. Selain tentang beban ganda, yang menyebabkan stres pada perempuan khususnya perempuan pekerja adalah ia akan mendapat stigma negatif sebagai ibu yang tidak bertanggung jawab pada anaknya, dan istri yang tidak berbakti pada suaminya. Hal ini karena norma tradisional yang mengkonstruksi perempuan yang baik ia lah perempuan yang di rumah saja mengurus anak dan suami.
ADVERTISEMENT
Sehingga muncul stigma “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya hanya akan di rumah saja”. Banyaknya korban jiwa laki-laki karena Covid-19 meningkatkan jumlah perempuan sebagai kepala keluarga baru. Timbulnya kebijakan untuk belajar dan bekerja dari rumah juga berpotensi menambah beban ganda perempuan," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspa Yoga dalam perayaan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Rabu (12/9).
Ilustrasi kekerasan perempuan (pixabay.com)
Mayoritas korban kekerasan terhadap perempuan atau 59,8 persen adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan, jumlah kekerasan terhadap anak perempuan mencapai 4.472 korban. Jumlah tersebut lebih banyak ketimbang anak laki-laki sebanyak 1.778 korban. Dari total 6.250 anak korban kekerasan, 20,9 persen adalah korban KDRT.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan selama pandemi Covid-19, Kementerian PPPA dan United Nations Gender Working Group (UNGWG) meluncurkan Panduan Perlindungan Hak Perempuan dari Diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Gender selama Situasi Pandemi. Lalu cara kita jika sebagai sosok suami/istri untuk mencegah konflik yang terjadi antara suami dan istri yaitu dengan belajar saling mengenal tentang pekerjaan pasangan, mendiskusikan hal-hal yang membuat stres, mengatur jadwal untuk menjaga keteraturan seperti jadwal memasak, mendampingi anak, mengatur rumah, dan membangun relasi yang sehat seperti mengekspresikan perasaan positif, menghargai pendapat, memanfaatkan waktu kegiatan bersama.
Keharmonisan keluarga sangat penting, karena keluarga yang harmonis tercermin dari pemahaman akan peran cinta, karena cinta adalah kunci kebahagiaan. Hidup dalam keluarga yang dikondisikan oleh cinta, kehidupan anak juga akan terasa damai dan terlindungi. Ciri-ciri keluarga harmonis adalah anggota keluarga hidup rukun, yaitu terdapat hubungan yang sehat antara setiap anggota keluarga, sehingga menjadi sumber hiburan, inspirasi, dorongan dan perlindungan bagi setiap anggota.
ADVERTISEMENT
Manfaat hidup rukun dalam keluarga selanjutnya adalah menciptakan kondisi masyarakat yang lebih aman dan tentram. Jika Anda rukun dan saling memahami dalam keluarga Anda, itu pasti akan membuat segalanya lebih aman dan lebih damai, karena tidak ada pertengkaran. Jika kita hidup untuk menjaga hubungan baik, tentu kita tidak akan terancam satu sama lain.
Hal ini karena hubungan yang baik itu sendiri akan memberikan dampak yang sangat positif bagi kehidupan keluarga dan masyarakat. Kehidupan harmonis yang tercipta tentunya akan saling memberikan rasa memiliki. Ini lah ikatan yang memperkuat persatuan itu sendiri. Jadi, bila kita mengalami kekerasan dalam rumah tangga maka kita bisa lapor ke pihak kepolisian, korban juga bisa mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang ada di 34 provinsi di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Atau melalui situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pada situs tersebut, di bagian layanan publik, tersedia formulir pengaduan masyarakat. Pelapor harus mengisi data mengenai pekerjaan, status perkawinan, bentuk kekerasan, tempat dan waktu kejadian, ciri-ciri pelaku serta hubungannya dengan korban. Jika korban tidak dapat datang sendiri, bisa diwakilkan oleh keluarga atau pengacara untuk melapor ke kantor polisi.