Kasih Tak Sampai Hertha Berlin

Konten dari Pengguna
12 Maret 2020 23:38 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yustina D Prasadja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hertha Berlin SC logo. Photo : @herthabsc_en
zoom-in-whitePerbesar
Hertha Berlin SC logo. Photo : @herthabsc_en
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak banyak orang mengenal klub Berlin berjuluk “die Alte Dame” atau si Nyonya Tua ini. Namanya kurang terdengar layaknya kesebelasan-kesebelasan ibukota negara Eropa seperti Real Madrid, Chelsea/Arsenal, Paris Saint-Germain, atau bahkan AS Roma/Lazio. Hertha Berlin tidak pernah berada di level elite perkancahan sepak bola Eropa. Bahkan bila dibandingkan dengan klub sepak bola asal Jerman seperti Bayern Munich atau Borussia Dortmund, prestasi Hertha bisa dikatakan jauh tertinggal. Ironisnya, pamor Hertha semakin tersalip dengan kisah heroisme klub satu kota Berlin yang menjadi pendatang baru di Bundesliga, Union Berlin.
ADVERTISEMENT
Pada November 2019, angin optimisme mulai berhembus saat manajemen Hertha mengangkat pemain legenda dan mantan pelatih Jerman di Piala Dunia 2006, Jürgen Klinsmann, sebagai pelatih. Klinsmann menanggung beban ambisi manajemen agar Hertha bisa disejajarkan dengan klub elite Eropa. Namun, baru 76 hari bekerja dan melewati 9 pertandingan, Klinsmann mundur. Hertha pun limbung.

Nyonya Tua Biru Putih

BFC Herta 92 dibentuk pada tahun 1892. Baru pada tahun 1920 dan setelah merger dengan tim Berliner Sport Club, nama Hertha BSC (Berliner Sport-Club) digunakan.
Banyak orang mengira pemberian nama Hertha merujuk pada dewi kesuburan mitologi Yunani. Sebenarnya, penamaan klub ibukota itu terinspirasi dari nama kapal salah satu pemilik klub saat itu. Yup, sesederhana itu. Prestasi Hertha pun ternyata mengikuti prinsip kesederhanaan yang sama.
Pemain Hertha BSC merayakan kemenangan pertandingan Bundesliga, Berlin, Jerman. Photo: AFP/Odd Andersen
Gelar kompetisi tertinggi yang bisa Hertha raih sejak 1963 hanyalah juara Piala Jerman (DFB-Ligapokal) pada tahun 2001 dan 2002. Hertha tercatat sempat berada di luar Bundesliga selama 20 musim. Bahkan pada 1986/1987 dan 1987/1988, Hertha sempat berada di 3 liga kasta terendah liga nasional Jerman.
ADVERTISEMENT
Prestasi yang biasa-biasa itu pun masih dibumbui dengan beberapa kontroversi yang mengiringi. Seperti pada tahun 1965 dimana Hertha Berlin terbukti menyuap pemain lawan, dan pada 1971 terlibat dalam skandal pengaturan skor pertandingan di Bundesliga.

Minim dukungan

Barisan pendukung Hertha BSC yang akan menonton pertandingan, Berlin, Jerman. Photo : koleksi pribadi
“Kutukan” klub sepak bola yang biasa aja, dimulai dari kota Berlin. Bermarkas di ibukota negara dengan jutaan penduduk, ternyata malah membuat Hertha tidak memiliki basis penggemar yang besar.
Kondisi kota yang terpecah menjadi Berlin Barat dan Berlin Timur pasca Perang Dunia ke-2, membuat penggemar yang berada di Berlin Timur kesulitan untuk menonton pertandingan klub Berlin Barat ini. Tembok Berlin yang dibangun di tahun 1961 dan Bundesliga yang baru diperkenalkan di tahun 1963, “memaksa” penduduk Berlin Timur untuk mempunyai identitas dan fanatisme yang berbeda. Penggemar sepak bola Berlin Timur lebih disibukkan dengan rivalitas antara Dynamo Berlin, yang direpresentasikan sebagai klub pemerintah Jerman Timur, dengan Union Berlin, yang mewakili sisi revolusioner.
ADVERTISEMENT
Tembok Berlin yang akhirnya runtuh di tahun 1989 dan membuat kedua sisi kota akhirnya bersatu, ternyata tidak juga dapat mengontrol angka fanatisme Hertha. Penggemar sepak bola di Berlin sudah terlanjur memiliki kecintaan pada klub yang berada di sisi kota yang berbeda, Hertha di Barat dan Union di Timur.
Olympiastadion, yang menjadi kandang Hertha Berlin sejak 1963, seolah menjadi saksi seberapa besar ambisi warga Berlin terhadap klubnya. Olympiastadion memiliki kapasitas 74 ribu penonton atau terbesar ke-3 di Bundesliga, setelah Signal Iduna di Dortmund dan Allianz Arena di Munich. Namun, kapasitas ini jarang sekali terisi penuh, kecuali saat Hertha Berlin melawan Bayern Munich atau Borussia Dortmund.
Olympiastadion, Berlin, Jerman. Photo : Ferra Sania
Dilansir dari Transfermarkt, rata-rata penonton di Olympiastadion pada musim 2018/2019 hanya 49 ribu orang atau di posisi ke-7 apabila dibandingkan klub Bundesliga lainnya. Namun untuk tingkat okupansi stadion, perbandingan jumlah penonton dengan kapasitas stadion, Hertha berada di peringkat paling buncit, dengan rata-rata okupansi stadion hanya 66,1%. Jauh di bawah rata-rata Bundesliga yang mencapai 89,5%. Hertha belum bisa memenangkan hati warga Berlin yang mencapai angka 3,7 juta penduduk.
ADVERTISEMENT
Berlin memiliki ciri yang berbeda dengan kota Jerman lainnya. Dimana mayoritas masyarakat kota Jerman lainnya adalah homogen, asal-usul warga Berlin sangatlah beragam. Pada tahun 2018 saja, Berlin dihuni oleh sekitar 500 ribu orang berlatar belakang atau memiliki “darah” imigran. Mayoritas penduduk Berlin masih merupakan warga keturunan Turki yang mencapai 180 ribu. Di luar itu, ada lebih dari 20 komunitas, dengan rata-rata 10 ribu orang, yang mendiami kota Berlin. Komunitas ini memiliki latar belakang keturunan imigran seperti dari Polandia, Rusia, Vietnam dan banyak lagi.
Komunitas-komunitas ini kemudian mendirikan klub sepakbola amatir maupun profesional yang mengusung ciri khas sesuai dengan asal usul etnis mereka. Alih-alih menjadikan stadion, jalanan atau bar-bar Berlin meriah dengan warna biru-putih saat matchday Bundesliga, komunitas-komunitas ini memilih untuk menyanyikan mars klub etnis mereka sendiri.
Suasana di dalam Olympiastadion saat pertandingan Hertha BSC, Berlin, Jerman. Photo: koleksi pribadi
Selain itu, Berlin juga tidak dapat menarik sektor swasta untuk mendirikan kantor pusat perusahaan mereka. Paska Perang Dunia ke-2, tidak ada satupun perusahaan besar Jerman yang membangun kantor pusatnya di Berlin. Hingga saat ini, tidak ada satu pun perusahaan DAX30, daftar perusahaan bluechip yang memperdagangkan sahamnya di bursa efek Jerman, yang berbasis di Berlin. Keberadaan perusahaan besar ini juga vital terhadap keberlangsungan klub. Adanya perusahaan besar berarti ada potensi sponsor bagi klub. Dalam sejarah persepakbolaan Jerman, proses perjalanan dan tumbuh kembangnya klub sepakbola berkaitan erat dengan keberadaan perusahaan di kota dimana klub tersebut berasal.
ADVERTISEMENT

Riwayatmu kini

Pasca runtuhnya tembok Berlin di 1989, nama Hertha belum terdengar. Nyonya Tua akhirnya berhasil naik kelas ke Bundesliga di tahun 1997. Prestasi itu diikuti dengan hasil akhir pada posisi ke-3 Bundesliga di tahun 1999 dan berlaga di Liga Champions Eropa di tahun 2000. Hasil ini membumbungkan optimisme pasukan biru putih tersebut.
Peringatan runtuhnya tembok Berlin. Photo : AFP/Odd Andersen
Pembelian pemain pun dilakukan. Diantara pembelian itu, hanya nama Sebastian Deisler, yang kala itu digadang menjadi superstar sepakbola, yang akhirnya bergabung. Hasilnya cukup memuaskan Hertha berhasil meraih 2 gelar Piala Liga di 2001 dan 2002.
Di Bundesliga, cerita Nyonya Tua sedikit berbeda. Hertha selalu gagal menyelesaikan kompetisi di posisi 3 besar. Kegagalan ini berarti gagal berkompetisi di Liga Champions Eropa dan gagal mendapatkan revenue besar untuk klub, yang bisa dipakai untuk membeli pemain-pemain unggulan.
ADVERTISEMENT
Nama-nama besar pelatih Eropa seperti Huub Stevens (juara UEFA Cup 1997 bersama Schalke 04) dan Otto Rehagel (juara Piala Eropa 2004 bersama Yunani) pun belum mampu mengangkat prestasi Hertha. Dalam 10 tahun terakhir, Hertha pernah terlempar ke 2.Liga selama 2 tahun. Dalam 5 tahun terakhir pun, posisi Hertha relatif stabil di papan tengah dan bawah, yaitu di antara posisi ke-6 sampai 15.
Harapan baru muncul sebelum musim ini bergulir. Pengusaha Jerman, Lars Windhorst membeli 49,9% saham klub, jumlah share saham maksimal yang diperbolehkan di Liga Jerman.
Berlimpah dana besar dan memiliki pemilik baru, Hertha Berlin mencoba menyusun rencana untuk menjadi klub besar di Jerman dan di Eropa. Langkah pertama adalah dengan merekrut Jürgen Klinsmann di akhir November lalu.
Jürgen Klinsmann. Photo : Reuters/Hannibal Hanschke
Klinsmann pun bergerak cepat di bursa transfer musim dingin dengan merekrut empat pemain dengan total belanja mencapai 77 juta Euro. Pemain-pemain muda direkrut dengan target bisa bersaing menuju kompetisi Eropa di musim depan. Uang berlimpah, pelatih dengan nama besar, dan target yang jelas seakan memberikan harapan akan masa depan Hertha.
ADVERTISEMENT
Tapi mimpi indah itu berakhir setelah 76 hari. Klinsmann memutuskan untuk hengkang dari Hertha. Perbedaan pandangan dengan manajemen klub menjadi alasan utama perginya Klinsmann.
Hertha kembali limbung dan harapan mulai redup. Atau mungkin Hertha memang hanya ditakdirkan menjadi klub yang biasa saja? Semoga tidak…