Konten dari Pengguna

Menurunnya Attention Span dan Tantangan Pendidikan di Era Digital

Yusuf Abdhul Azis
Lulusan jurusan Teknologi Industri Pertanian UGM dan mengembangkan UTBKCAK.com
14 Mei 2025 15:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Abdhul Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi mahasiswa yang mudah bosan ketika belajar | Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi mahasiswa yang mudah bosan ketika belajar | Pexels.com
ADVERTISEMENT
Pernahkah kita melihat siswa yang tidak tahan duduk lima belas menit tanpa membuka ponsel? Atau mahasiswa yang lebih sigap scrolling TikTok dan Reels daripada membaca buku kuliah? Fenomena ini kini makin nyata di ruang kelas dan kampus. Dan masalah inilah yang menjadi penyebab menurunnya Attention Span kita.
ADVERTISEMENT
Malah kadang pertanyaan yang masih mengusik kepala itu, "apa yang menyebabkan seseorang betah dengan layar ponselnya?", dan "Apakah penyebabnya hanya masalah nonton konten yang menyebabkan brain rot?"
Faktanya di dalam lingkungan belajar, kita makin sering melihat siswa dan mahasiswa kesulitan menjaga fokus. Di kelas serasa gelisah untuk segera melakukan hal lain sesuai dengan pikirannya sendiri.

1. Konten Baru Setiap 15-30 detik

Dan ternyata, salah satu penyebab utamanya adalah pola konsumsi konten digital yang serba cepat dan terus-menerus.
Video pendek 15-30 detik, informasi singkat, potongan judul berita yang menohok dan dorongan untuk terus scrolling layar membuat otak terbiasa mencari rangsangan instan. Ya, 15 detik sekali dapat informasi baru.
Akan tetapi, disisi lain ketika dihadapkan pada tugas belajar yang membutuhkan waktu dan perhatian, otak terasa berat dan tidak sabar untuk segera menyelesaikan itu. Solusinya? Tanya AI. Ini jadi masalah baru lagi nanti.
ADVERTISEMENT

2. Kesalahan Memahami Makna Multitasking

Masalah lain yang tak kalah serius adalah kebiasaan multitasking digital. Kita sering merasa bisa mendengarkan penjelasan dosen sambil membuka media sosial atau membalas pesan.
Padahal, menurut penelitian yang ada menunjukkan bahwa multitasking justru membuat otak bekerja lebih lambat dan lebih sering melakukan kesalahan. Dalam survei oleh Digaeva dkk. (2024), mayoritas responden mengira mereka mampu multitasking dengan baik, padahal data menunjukkan adanya penurunan kecepatan berpikir dan peningkatan kesalahan saat melakukan lebih dari satu tugas secara bersamaan. Multitasking menciptakan biaya mental yang tinggi tanpa kita sadari.

3. Notifikasi Media Sosial yang Dianggap Lebih Urgent

Selain itu, notifikasi ponsel menjadi gangguan yang sering dianggap sepele padahal berdampak besar. Dikit-dikit buka HP! Gak tenang kalo ga bawa HP.
Kaminske dkk. (2022) menunjukkan bahwa suara notifikasi, bahkan dari ponsel milik orang lain, bisa mengalihkan perhatian dan memperlambat respons kognitif secara signifikan. Setiap kali fokus terpecah, otak harus memulai ulang proses berpikir dari awal.
ADVERTISEMENT
Masalah besarnya, akumulasi gangguan kecil ini lama-kelamaan menurunkan kualitas belajar dan membuat kita semakin sulit mempertahankan perhatian dalam jangka waktu panjang.
Ketika secara sadar kebiasaan ini dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan waktu belajar, tetapi juga kemampuan dasar untuk bertahan dalam proses berpikir yang membutuhkan kedalaman, ketekunan, dan konsistensi.

Dampak pada Pendidikan dan Proses Belajar

Menurunnya fokus membuat siswa dan mahasiswa kesulitan memahami materi yang membutuhkan perhatian penuh. Ketika belajar terputus oleh notifikasi atau kebiasaan multitasking, alur berpikir pun menjadi tidak utuh.
Akibatnya, banyak konsep penting yang gagal dipahami secara menyeluruh.
Kedua, tugas-tugas seperti membaca teks panjang atau menulis esai terasa berat karena otak sudah terbiasa dengan hal-hal instan. Bahkan tidak bisa berpikir logis, sesederhana membuat outlinenya saja.
ADVERTISEMENT
Nantinya siswa dan mahasiswa cenderung menunda pekerjaan karena kehilangan kemampuan untuk bertahan dalam proses berpikir yang lambat namun mendalam. Prokrastinasi pun meningkat, membuat kualitas belajar semakin menurun.
Menunda tugas/PR karena susah fokus lama | Pexels.com
Ketiga, di ruang kelas, suasana menjadi pasif karena perhatian siswa terpecah oleh distraksi digital. Diskusi tidak berkembang, partisipasi rendah, dan minat bertanya pun semakin jarang muncul.Apabila kondisi ini terus dibiarkan, pendidikan hanya akan menjadi rutinitas tanpa daya pikir yang hidup.
Makanya, dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri jalur SNBT, panitia SNPMB sampai membuat tes masuk dengan salah satu materinya ialah Literasi. Literasi ini terdiri dari literasi dalam Bahasa Inggris, Literasi dalam Bahasa Indonesia dan Literasi Matematika untuk penalaran.
Tujuannya, supaya ketika sudah masuk di perguruan tinggi dan menjalani kuliah, konsep dasar literasi sudah dimiliki oleh masing-masing mahasiswa baru dan bisa lebih memiliki rasa penasaran dalam setiap proses belajar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dengan adanya attention span yang rendah, dosen dan guru harus bisa inisiatif mencipatkan metode pembelajaran dan bahan belajar yang paling relevan dengan kondisi siswa dan mahasiswa sekarang. Ini jadi tantangan tersendiri bagi pengajar itu sendiri.

Solusi Mengatasi Attention Span yang Menurun dan Rendah

Untuk mengatasi persoalan fokus, cara belajar perlu disesuaikan. Pembelajaran yang melibatkan diskusi atau praktik langsung lebih efektif menjaga perhatian dibandingkan metode ceramah. Namun, ini juga belumlah pasti benar. Sebab, kondisi setiap kelas dan siswa/mahasiswa juga beda-beda. Pengajar harus bisa menelahaan karakteristik dari kelasnya sebelum menentukan satu mode pembelajaran yang tepat.
Untuk belajar mandiri, kita bisa mulai ajarkan dan gunakan Teknik seperti pomodoro atau minimal bisa digunakan menyelesaikan satu tugas rumah (PR) tanpa gangguan dapat membantu otak terbiasa dengan ritme belajar yang jelas, konsisten dan terarah.
ADVERTISEMENT
Teknologi tidak boleh dijauhi, tetapi kita justru harus bisa mengarahkannya untuk mendukung fokus. Aplikasi pengatur waktu dan pemblokir notifikasi dapat menjadi alat bantu jika digunakan dengan kesadaran. Minimal, waktu kelas, waktu ibadah, dan waktu mengerjakan tugas, pemblokiran notifikasi dinyalakan agar lebih fokus.
Fokus bukan hanya soal individu, tetapi juga lingkungan yang mendukung. Sekolah, kampus, dan keluarga perlu menciptakan ruang belajar yang kondusif dan bebas gangguan berlebih.
Selain itu, keterampilan manajemen waktu penting untuk dilatih sejak dini. Perencanaan harian dan target sederhana dapat membantu kita tetap terarah dan terhindar dari distraksi digital.
Sebagi pengajar, khususnya dosen dan guru, bisa untuk memberikan program atau sesi khusus mengenai manajemen waktu supaya bisa linier antara kebutuhan dosen dan mahasiswa, sehingga di akhir pembelajaran hasilnya bisa maksimal.
ADVERTISEMENT
Semoga tulisan ini bisa jadi bacaan kecil sekali duduk yang bermanfaat untuk kita semuanya.
Referensi: