Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
EDM dan Stereotip Musik Abal-abal
9 Januari 2017 7:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari Yusuf Abdul Qohhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

EDM jelek. EDM monoton. EDM membosankan.
Tidak sedikit orang beranggapan demikian, termasuk saya yang sebelumnya lebih sering mendengarkan musik rock dan pop. Namun apa yang sebenarnya membuat beberapa orang begitu skeptis terhadap EDM? Apakah karena genre musiknya? Atau karena kesuksesannya?
ADVERTISEMENT
Fenomena EDM, bukanlah sekadar genre musik yang sedang ngetren, melainkan sebuah strategi pemasaran musik yang unik. EDM tidak hanya membicarakan musisi yang memencet tombol elektronik untuk menghasilkan nada-nada “berisik” yang dapat dinikmati oleh para pendengarnya, tetapi juga bagaimana menarik banyak orang untuk suka, terbius, memutar ulang rekaman lagu, bahkan tak ragu untuk membayar mahal konser festival untuk berajojing bersama. Rasanya terlalu sempit apabila selalu megidentikkan EDM dengan David Guetta, Skrillex, Calvin Harris, Deadmau5, apalagi Tiësto.
EDM lebih dari sekadar itu semua.
Kita patut takjub tatkala menengok Electronic Dance Music atau EDM amat digandrungi penikmat musik—terutama kawula muda—dalam beberapa tahun terakhir. Tak ayal memang, sebelum EDM membetot perhatian pulik seperti saat ini, sekitar 40 tahun lalu, musik dansa elektronik termasuk musik disko dari Giorgio Moroder dan musik elektronik dari Kraftwerk dan Yellow Magic Orchestra lebih dulu menggedor jagat musik dunia pada akhir 1970-an. Sayangnya, animo pecinta musik disko pada saat itu seakan runtuh karena dominasi musik rock dan metal selang satu dekade berikutnya.
ADVERTISEMENT
David Guetta, yang memulai karier sebagai disjoki di Paris pada 80-an, pernah mengungkapkan kepada situs berita CNN bahwa pergerakan musik house atau EDM dimulai ketika era musik disko mulai turun pamor. Ia tak menampik bahwa pada awalnya ia lebih sering manggung di kelab malam atau diundang untuk menghibur penikmat musik bawah tanah (underground).
Beberapa tahun kemudian, pada awal 90-an, di Belanda, Tijs Michiel Verwest mengawali perjalanan karirnya sebagai Tiësto. Dia juga memulai aksi panggungnya ketika genre musik house belum populer.
Siapa sangka beberapa dekade kemudian, Guetta meraih kesuksesan setelah mampu berkolaborasi dengan bintang pop seperti Kelly Rowland, Usher, The Black Eyed Peas, dan Sia, dan menelurkan single “When Love Takes Over”, “Without You”, “I Gotta Feeling”, hingga “Titanium”. Yang teranyar adalah duetnya bersama Zara Larsson yang berjudul “This One’s For You” menjadi lagu resmi Euro 2016. Sementara itu, Tiësto juga meraih kesuksesan dengan meraih beberapa penghargaan termasuk Penghargaan Grammy dan DJ No.1 di Dunia pada tahun 2002, 2003, dan 2004. DJ sukses lain, termasuk Calvin Harris dan Avicii, juga menggapai popularitas dengan cara yang sama. Meskipun, seperti yang kita sama-sama ketahui, Aviicii telah lama memutuskan pensiun dari pentas panggung EDM dan memilih berkarya di baik meja produksi musik.
ADVERTISEMENT
Sebagai racikan produk seni, kolaborasi dengan musisi terkenal mungkin lebih menarik minat pendengar, tetapi internet seperti portal forum, media sosial, aplikasi, dan situs berbagi musik dan video juga memainkan peran penting untuk menjaring lebih banyak perhatian. Saat ini, di era digital, tolok ukur keberhasilan adalah jumlah pengikut, penonton, unduhan, tagar, kicauan, retweet dan sejenisnya.
Hal ini tentu berbanding terbalik ketika EDM memasuki pasar musik dunia pertama kalinya tanpa modal promosi di televisi apalagi media sosial seperti Facebook, Twitter, maupun Instagram. EDM menjadi populer berkat strategi pemasaran yang tepat sasaran dan tepat waktu. EDM dikemas sedemikian rupa untuk menjadikan para pendengartnya kecanduan. Mulai dari mempromosikannya di tangga lagu internasional, menyebarkannya di radio, hingga melibatkan tim produksi khusus video musik.
ADVERTISEMENT
Remaja maupun orang dewasa mana yang tidak suka dengan musik yang memompa adrenalin? Ditambah lagi video klip yang isinya ketenaran, kemewahan, gadis aduhai berpakaian minim, pria muda ganteng berpakaian necis, dan pesta yang gemerlap. EDM lebih dari sekadar musik. Bahkan boleh dibilang musik hanyalah “bungkus” dari EDM karena sejatinya ia adalah budaya serta gaya hidup idaman bagi sebagian orang.
Namun dalam kehidupan, hal yang harus disadari adalah kita takakan pernah membuat semua orang suka apalagi bahagia. Tidak semua orang mampu menerima EDM dengan lapang dada. Ada saja mereka yang membandingkan EDM dengan genre musik lain seperti rock, pop, metal, punk, hip hop, dan R&B.
Polemik perang genre musik seperti ini pernah sejumput disindir oleh Rolling Stone Italia dalam video singkat bertajuk "Rocker vs DJ". Jika kontur musik rock berbalut campuran berbagai instrumen seperti gitar listrik, bass, drum, serta vokal sehingga menghasilkan keselarasan bunyi yang dapat dinikmati, lain halnya EDM yang justru menampilkan kesan musik yang sebaliknya: temponya tak beraturan, jedag-jedug, dan instan.
ADVERTISEMENT
“EDM terlalu berisik”.
Anggapan ini dapat sudah lebih dahulu terbantahkan oleh manifesto futurisme karya Luigi Russolo berjudul “The Art of Noises” (dalam bahas Italia: L'arte dei Rumori) yang ditulis pada tahun 1913. Di dalamnya, Russolo berpendapat bahwa telinga manusia telah terbiasa dengan kecepatan, energi, dan kebisingan industri perkotaan; Selanjutnya, diperlukan pendekatan lainnya yang mutakhir untuk instrumentasi dan komposisi musik. Dia mengusulkan sejumlah kesimpulan tentang bagaimana elektronik dan teknologi lainnya akan memungkinkan musisi di masa depan untuk "mengganti berbagai warna nada yang dimiliki orkestra pada hari ini tak terbatas berbagai warna nada di suara, direproduksi dengan mekanisme yang tepat”.
“The Art of Noises” bisa dijadikan semacam pembenaran akan kemurnian musik yang terkandung dalam EDM. Hal ini tak jauh berbeda dengan pandangan orang-orang pada zaman ini ketika merujuk pada pandangan kelam George Orwell tentang masa depan dalam novelnya 1984–yang terbit pada tahun 1949.
ADVERTISEMENT
Perkara lain apabila mahakarya “berisik” yang dimaksud adalah Electronic Dangdut Music yang biasa diputar di angkot dan metromini, karena para sopir angkot pun akan menggelengkan kepala jika ditanya siapa yang me-remix lagu-lagu yang ada di playlist mereka.
Kita bisa melihat keriuhan penonton dalam setiap festival EDM tak jauh berbeda dengan festival atau konser musik rock, metal, punk, dan reggae: dipenuhi anak muda, pesta, gigs, dan alkohol. EDM maupun genre musik lainnya merupakan salah satu pengundang syahwat serta konsumsi minuman beralkohol maupun obat-obatan terlarang. Silakan bandingkan sendiri kondisi festival Djakarta Warehouse Project dengan konser band internasional di Indonesia. Serupa dan “memabukkan” ‘kan?
Kemampuan memasarkan produk yang massif dan strategis ini, untungnya, juga diimbangi dengan penampilan paras disjoki dan penyanyi yang mumpuni. Apa jadinya jika Maesa Andika—yang saudara jauhnya Sasuke itu—menggantikan posisi Calvin Harris, Martin Garrix, Hardwell, atau bahkan Zedd? Apa pula jadinya jika posisi Ellie Goulding, Zara Larsson, atau Alexandra Stan digantikan oleh Dijah Yellow? Saya tak mau ikut-ikutan pusing membayangkannya.

Ketika berhadapan dengan argumen bahwa EDM terdengar monoton bahkan cenderung sama, sangat mudah sebenarnya membantah argumen tersebut. Sama halnya dengan genre musik lain, EDM juga memiliki cabang-cabang tersendiri seperti house, trance, trap, dubstep. Masing-masing genre memiliki beberapa subgenre. Klasifikasi inilah yang membedakan jenis musik yang dibawakan oleh masing-masing disjoki. Apabila ada teman dekat, pacar, gebetan, atau saudara Anda yang begitu ngotot beranggapan bahwa semua EDM sama, silakan sarankan mereka untuk pergi ke ahli otolaringologi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kita boleh berbeda penilaian apakah disjoki tergolong seniman berbakat atau bukan. Siapa pun boleh mengatakan bahwa disjoki hanyalah orang yang memutar lagu-lagu rekaman sambil berpura-pura memencet tombol-tombol supaya terlihat keren di atas panggung. Namun satu hal yang perlu kita sepakati: tugas para disjoki adalah membuat para penonton riang gembira, bergoyang, dan melepas kepenatan hidup, bukan malah menjadikan mereka manusia yang mengurusi selera musik orang lain.