Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Arief Budiman
27 April 2020 9:47 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar 24 tahun silam sebuah bajaj berhenti tepat di Jalan Indramayu 18 Menteng, Jakarta Pusat. Sang penumpang turun. Seperti yang dijanjikan, ia datang tepat pukul 11.00 pagi.
ADVERTISEMENT
"Terima kasih, Pak," kata saya menyambutnya.
Baju lengan pendek abu-abu buram. Celana kain warna krem. Bersepatu-sandal cokelat. Tas kain seperti tas belanja agak besar warna hitam menggantung di bahu kanannya.
Ia selalu terlihat sederhana dan bersahaja.
Aktivis mahasiswa tahun 1980an di Yogya banyak yang memanggilnya dengan Bung Arief Budiman. Saya kesulitan melakukannya. Saya selalu memanggilnya dengan Pak Arief Budiman.
"Kantor saya di belakang," kata saya lagi sambil berjalan melewati jalan samping bangunan utama.
Rumah tua dari jaman Belanda di Jalan Indramayu 18 menjadi kantor beberapa media asing. Di bangunan utama berkantor AFP dan AFX. Di belakang ada BBC, The Australian, dan media tempat saya bekerja: ABC.
Tetapi pagi itu kami janjian bukan untuk urusan wawancara atau semacamnya. Kami janjian untuk urusan pribadi saya.
ADVERTISEMENT
Saya lolos tes saringan kerja untuk menjadi wartawan BBC Indonesia di London. Tinggal dua hal yang harus saya lalui: Wawancara akhir dan menyerahkan dua surat referensi.
Satu surat referensi sudah saya dapat. Jonathan Head yang menjadi koresponden BBC di Jakarta, tetangga kantor dan selama dua tahun kami sangat sering melakukan liputan bersama, sudah menuliskan buat saya.
Surat yang kedua sebetulnya juga aman. Ada dua nama besar yang menawarkan diri memberi referensi. Entah kenapa saya merasa kurang nyaman. Padahal waktu semakin mepet.
Sebulan sebelum saya diharuskan menyerahkan surat itu, ABC mewancarai Arief Budiman di rumahnya di Salatiga.
Usai wawancara kami ngobrol panjang lebar sambil makan siang. Sambil lalu saya ceritakan kalau ada kemungkinan akan pindah pekerjaan. Tetapi masih memerlukan surat referensi dan melewati satu wawancara.
ADVERTISEMENT
"Biar saya saja," katanya segera. "Pas bulan depan saya ada keperluan keluarga di Jakarta."
Bulan depan yang dijanjikan adalah hari itu ketika ia datang naik bajaj ke kantor. Ia datang untuk menulis surat referensi yang ia janjikan.
Saya tidak bisa mengatakan dekat dengan Arief Budiman. Jauh dari itu.
Satu-satunya peristiwa kami ngobrol dekat dan membicarakan apa saja ya saat kami dijamu makan siang sehabis wawancara itu saja. Tetapi itu tidak istimewa. Dari berbagai cerita yang saya dengar, pintu rumahnya selalu terbuka untuk siapa saja. Dan ia menyambut siapa saja sama bersahabatnya dengan yang ia lakukan kepada kami.
Karena dekat dengan beberapa aktivis mahasiswa di Yogya saya memang sempat diundang beberapa kali untuk ikut diskusi bersama Arief Budiman. Ya hanya sampai di situ saja. Saya lebih dekat dengan tulisan-tulisannya yang menurut saya jernih, logis, terstruktur rapi, dan pelan membakar. Entah mengapa saya suka membandingkan dengan tulisan-tulisan almarhum Kuntowidjoyo untuk persoalan itu.
ADVERTISEMENT
Tentu saja saya berulang-ulang mendengar cerita heroiknya menggalang penolakan mencoblos dalam pemilihan umum lewat Golongan Putih tahun 1971. Protes terhadap yang dianggapnya kesemuan pemilihan umum karena kekuasaan sebetulnya dalam kendali militer.
Atau bagaimana ia bersama teman-temannya melakukan protes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang digagas Ibu Tien Suharto.
Cerita-cerita yang kalau anda dengar berulang-ulang dan menyenangkan untuk didengar akan membuat anda merasa dekat dengan tokohnya, bahkan ketika kenal pun anda tidak.
Satu-satunya peristiwa publik yang sempat saya terkait dengan Arief Budiman adalah ketika menjadi moderator diskusi buku The Grand Failure: The Birth and Death of Communism in the Twentieth Century tulisan Zbigniew Brzezinski di Fisipol UGM. Saya lupa siapa yang mengadakan. Tahunnya mungkin 1990 (atau 1991). Arief Budiman menjadi pembicara bersama Amien Rais dan (kalau tidak salah) almarhum Damarjati Supajar.
ADVERTISEMENT
Itu peristiwa yang cukup berkesan bagi saya karena ada anggapan Arief Budiman dan Amien Rais mewakili dua spektrum pemikiran yang sangat berbeda. Sederhananya: Cendekiawan kiri dan muslim. Tetapi dua-duanya waktu itu bersepakat dengan Brzekinski bahwa ada cacat besar dalam pembentukan Uni Soviet dan Komunisme, sekaligus keduanya juga bersepakat untuk mengatakan bukan berarti kapitalisme sebagai ideologi lalu menjadi lebih superior seperti yang menjadi argumen buku itu.
Tentu ada ketidaksepakatan di antara keduanya dalam diskusi itu. Detailnya saja yang saya sudah tidak ingat.
Dengan modal keterkaitan yang sangat sedikit itu karenanya saya sebetulnya kaget ia menawarkan diri untuk membuat surat referensi itu. Dan bukannya saya yang datang kepadanya, berkali-kali saya mengatakan akan menemuinya, ia yang mendatanginya saya dengan alasan lebih praktis dan gampang.
ADVERTISEMENT
Tidak sekadar datang ke kantor dan memberi surat referensi. Suatu pagi, sekitar seminggu atau dua minggu setelah peristiwa itu, ia menelpon ke rumah. Memastikan apakah sudah ditelpon BBC.
Rupanya—entah bagaimana caranya—ia malah sudah tahu terlebih dahulu kalau saya diterima dan ingin mengucapkan selamat.
Saya sangat berterima kasih dengan apa yang sudah ia lakukan. Perjalanan hidup saya hingga saat ini sangat dipengaruhi oleh kepindahan saya ke Inggris. Dan Arief Budiman ikut berperan di dalamnya.
Saya tahu ia tak membutuhkan ungkapan rasa terima kasih saya. Itu pasti. Karena berbelas tahun kemudian ketika saya ceritakan hal ini kepada anaknya yang kebetulan teman baik saya, Santi Budiman, ia bahkan tak tahu sama sekali.
ADVERTISEMENT
Ayahnya tidak pernah bercerita sama sekali. Kemungkinan tidak merasa perlu juga untuk bercerita.
Ia tidak butuh orang untuk mengenang dan tahu apa yang ia perbuat. Tetapi tetap orang tak punya pilihan untuk mengenangnya. Seperti juga Indonesia tak punya pilihan lain untuk mengenangnya sebagai orang yang telah membuat orang di negeri ini lebih kritis dan mempunyai harapan Indonesia yang lebih baik.
Bijak, menolong dan berbuat baik kepada orang lain. Seperti nama yang dipilihkan istrinya untuknya: Arief Budiman.