Asosial Bermedia Sosial

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
30 Maret 2020 10:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi oleh Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Perilaku saya di media sosial sebenarnya seperti sebuah oxymoron. Asosial dalam bermedia sosial.
ADVERTISEMENT
Saya tak pernah benar-benar bisa menikmati bercakap-cakap atau bahkan sekadar balas berbalas komentar di media sosial. Jarang pula mengomentari unggahan konten dari teman.
Pun sangat jarang saya mengunggah kegiatan keseharian. Atau mengabarkan sesuatu yang tak saya anggap penting bagi orang lain untuk tahu. Apa yang saya lakukan, mengapa, dan di mana bagi saya ya urusan saya sendiri.
Padahal media sosial ada dan menjadi populer karena untuk alasan itu semua.
Paling sering saya lakukan adalah mengunggah tulisan sendiri atau menautkan tulisan orang lain—tapi sebisa mungkin saya batasi—yang menurut saya menarik dan layak diketahui orang banyak.
Pernah belum lama lalu mengunggah tulisan pribadi yang menjadi sedikit viral dan mendapat banyak komentar. Saya mencoba menjawab dan bersikap ramah. Tetapi setelah beberapa saat kemudian kehilangan energi. Rasanya seperti basa-basi dan terpaksa. Saya lebih merasa yang penting orang membaca tulisan itu, bukan komentar saya atas komentar mereka.
ADVERTISEMENT
Di grup WhatsApp sama saja. Seperti yang lain pada umumnya, saya ada grup WhatsApp SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, profesi, kantor, ini dan itu; Banyaklah. Tapi hanya aktif di satu dua saja. Lainnya sekadar ikut. Memantau percakapan kalau tertarik.
Just can’t get a kick out of it kalau kata orang Inggris. Tidak mendapat kepuasan.
Pendek kata, laman media sosial yang saya punya—termasuk WhatsApp—membosankan kata beberapa teman.
Perilaku berinternet saya juga tak terlalu jauh berbeda. Bukan peselancar petualang di dunia yang menawarkan petualangan maya tanpa batas. Ada keajegan yang mungkin bisa dianggap konyol dan konservatif di jaman segala sesuatu serbabisa diakses ini.
Saya berselancar hanya ketika ada keperluan atau ketertarikan akan sesuatu. Entah didorong kemalasan atau ketidak-tertarikan akan banyak hal atau juga kurangnya rasa keingin-tahuan, jarang sekali saya menyeleweng dari tujuan awal berselancar. Begitu selesai dan mendapatkan apa yang dibutuhkan, begitu pula komputer mati.
ADVERTISEMENT
Saya hanya mengkonsumsi secara rutin berita dari tiga atau empat media. Tidak terlalu peduli apakah berita yang ada di media-media tersebut tidak ramai dibicarakan di media sosial. Apa yang dianggap penting oleh media-media itu, itu pula yang saya anggap penting. Kalau kebetulan yang dianggap penting media-media tersebut yang ramai pula dibicarakan di media sosial, syukur. Kalau tidak, tidak masalah.
Perilaku saya dalam bermedia sosial dan berinternet itu ada drawback-nya (kekurangannya). Berulang kali saya berada di situasi menjadi satu-satunya orang yang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Berulangkali saya seperti menjadi orang asing dalam kerumunan teman. Berulangkali saya tergagap-gagap dalam pergaulan dan mengalami gegar sosial.
Sering apa yang dibicarakan banyak orang, berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Sering apa yang diperhatikan banyak orang, berbeda dengan apa yang saya rasakan.
ADVERTISEMENT
World view (cara memandang dunia) saya juga menjadi begitu terbatas. Sempit. Terlalu banyak yang saya tidak tahu dan mengerti. Menjadi paria di tengah masyarakat yang serbaluas pandangannya.
Tetapi—setidaknya menurut saya tentu saja—ada keuntungannya pula. Saya merasa terlindungi dari ketika efek echo chamber—kegaduhan semu ketika sebuah keyakinan disebarkan dan diulang-ulang dalam sebuah sistem tertutup oleh satu kelompok hingga menjadi seolah-olah kebenaran objektif—terjadi. Kita tahu media sosial dan internet adalah mesin paling efektif untuk menciptakan efek echo chamber itu.
Kalaupun kemudian terlambat mendapat informasi yang sedang populer, saya tak terlalu khawatir. Cepat atau lambat informasi akan sampai ke telinga juga. Bersembunyi di lubang semut pun informasi akan sampai ke kita.
Kita hidup di zaman informasi yang mengejar kita. Bukan sebaliknya.
ADVERTISEMENT