Opini mas dalipin square

(Bukan) Resolusi Akhir Tahun

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
23 Desember 2019 17:54 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Waktu. Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Waktu. Indra Fauzi/kumparan
Waktu adalah sebuah kesepakatan matematika sederhana, sebuah deret hitung berterminal, sebuah konstruksi imajiner. Dari satuan paling kecil detik menjadi menit. Menit menjadi jam. Jam menjadi hari. Hari menjadi pekan. Pekan menjadi bulan. Bulan menjadi tahun. Tahun menjadi dekade. Dekade menjadi Abad. Abad menjadi milenium. Begitu seterusnya hingga tak terhingga.
Tetapi dari kesepakatan matematika sederhana itu manusia termudahkan untuk mengorganisasi hidup, merekonstruksi dan merancang hidup, menerima dan mungkin memahami tentang keabadian dan kefanaan.
Misal saja Lahir-Muda-Tua-Mati adalah peristiwa biologis. Tetapi dengan memasukkan unsur hitungan waktu (usia) maka manusia kemudian bisa melakukan generalisasi kapan seseorang dalam usia belajar, produktif, hingga pensiun. Konstruksinya bukan lagi biologis tetapi sosial.
Cara hidup manusia dan penataan sosialnya berevolusi. Kita diperkenalkan dengan pengkategorian zaman seperti zaman batu, perunggu, hingga besi. Dari purba klasik hingga zaman modern. Dari wangsa-wangsa kerajaan hingga segala varian sistem sosial-ekonomi-politik modern.
Sejarah bukan melulu persoalan waktu. Akan lebih berarti ketika sejarah bisa memberi tafsir dan penjelasan mengapa sesuatu itu terjadi dalam kehidupan manusia. Tetapi tanpa pembagian waktu yang jelas, sejarah kesulitan untuk menunjukkan adanya saling kait antara yang sudah lewat dan yang akan datang. Waktu seperti halnya ruang adalah ikatan konteksnya.
Dari pemahaman sejarah yang seperti itu maka kemudian kita bisa memahami sebuah kategorisasi: Masa yang lewat adalah persoalan penyesalan, kepasrahan, nostalgia, dan pelajaran; Masa kini adalah persoalan merancang dan mengeksekusi; Masa yang akan datang adalah persoalan harapan dan kekhawatiran.
Atau tidak usah yang muluk-muluk seperti biologi atau sejarah, yang sesederhana seperti membuat janji saja. Bayangkan misalnya berjanji untuk saling bertemu dengan kesepakatan di sepertiga siang atau ketika matahari sepenggalah naik atau sebelum fajar menyingsing. Betapa repotnya.
Kesepakatan matematika sederhana bernama waktu itu memudahkan semuanya. Jam tiga sore ketimbang sepertiga siang. Jam sembilan pagi ketimbang matahari sepenggalah naik. Jam setengah lima pagi ketimbang sebelum fajar menyingsing.
Bahkan begitu luar biasanya kesepakatan matematika akan waktu, ia juga bisa meregulasi rasa malas manusia.
Para wartawan misalnya sangat terbiasa dengan persoalan tenggat waktu, batas akhir untuk mengirimkan tulisan. Tetapi alih-alih berfungsi sebagai batas akhir, tenggat waktu malah menjadi ruang untuk menunda-nunda penyelesaian tulisan. Wartawan sering kali malas untuk menyelesaikan tulisan dengan segera walau bahan sudah lengkap karena batas belum sampai di depan mata.
Lebih celaka lagi, tenggat waktu malah menjadi semacam tombol psikologis bagi wartawan untuk bisa menulis. Hanya bisa menulis ketika tenggat waktu sudah tiba.
Sama halnya dengan resolusi akhir tahun. Sebuah niat di akhir tahun untuk tahun depan akan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu lagi.
Mengapa harus akhir tahun? Mengapa harus di pergantian tahun? Bukankah tahun adalah satuan konstruksi imajiner saja. Tidak ada alasan logisnya. Dan karena resolusi bisa dilakukan kapan saja dan sesegera ketika dirasa perlu.
Saya menemukan sebuah tulisan yang penulisnya anonim dan asal muasal tulisannya tidak diketahui. Saya suka. Ia menulis serangkaian kalimat ini terkait cara memahami waktu:
Untuk memahami arti satu milidetik tanya pemenang medali perak di Olimpiade.
Untuk memahami arti satu detik tanya mereka yang selamat dari kecelakaan.
Untuk memahami arti satu menit tanya mereka yang ketinggalan bis, kereta api, atau pesawat.
Untuk memahami arti satu jam tanya sepasang kekasih yang hendak bertemu.
Untuk memahami arti satu hari tanya buruh harian yang harus menghidupi keluarganya.
Untuk memahami arti satu minggu tanya editor majalah mingguan.
Untuk memahami arti satu bulan tanya orang tua dengan bayi prematur.
Untuk memahami arti satu tahun tanya pelajar yang gagal ujian.
Untuk memahami arti satu rentang kehidupan tanya mereka yang sedang menghadapi sakratulmaut.
Yang terakhir itu tambahan saya sendiri. Pengingat untuk tidak menunda-nunda apa yang hendak kita inginkan dan lakukan. Tak perlu menunggu pergantian detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, apalagi tahun.
Jelang Tahun Baru. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten