Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Dalam Riuh Ada Benar yang Meng-Aduh
3 April 2017 13:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kedunguan bertemu egoisme bertemu selera buruk bertemu perilaku kerumunan yang ngawur, disuntik steroid.
ADVERTISEMENT
Kalimat Andrew Keen ketika gelisah melihat seringai dunia internet di awal abad 21. Ia memegang teropong yang berbeda dari rekan-rekannya sesama pionir penghuni Lembah Silikon. Ketika yang lain melihat dunia yang semakin terang benderang, ia melihat kesuraman.
Keen pada awalnya adalah salah satu pionir di dunia internet. Satu dari mereka kelompok awal yang mengalami dan memanfaatkan ‘’demam emas’’ internet awal tahun 1990an.
Ia penyuka musik. Bermimpi pada suatu saat orang akan bisa memainkan seluruh katalog lagu Bob Dylan dari laptop mereka. Atau mengunduh Bradenburdg Concertos karya Johan Sebastian Bach dari smartphone.
Dari Lembah Silikon ia melahirkan Audiocafe.com untuk mewujudkan mimpinya. Salah satu aplikasi paling awal untuk penikmat musik.
Namun ia mengalami disilusi. Lewat The Cult of the Amateur ia mengritik habis logika mesin pencari Google, yang disebut algoritma oleh para teknologis, dan dianggap sebagai ‘’kearifan’’ kerumunan-pengguna Google.
ADVERTISEMENT
Algoritma Google menata apa yang penting dan perlu diketahui oleh pengguna berdasar apa yang telah dan paling banyak dibaca orang, bukan berdasar penilaian tentang apa yang dianggap benar, layak, dan pantas diketahui orang banyak. Juga bukan berdasar penilaian pakar atau kalangan profesional di bidangnya.
Siapa bintang film berdada paling montok di Jakarta bisa menjadi lebih penting dalam urutan headline ketimbang tanah longsor di Kolombia yang menewaskan ratusan orang hanya karena lebih banyak yang memasukkannya dalam mesin pencari Google.
Algoritma Google adalah algoritma keriuhan. Semakin riuh semakin bermakna. Semakin riuh semakin tinggi posisi pentingnya. Karena demikianlah kearifan kerumunan-pengguna internet berdasar algoritma Google.
Keen juga mengkhawatirkan demokratisasi di segala bidang lewat internet yang menurutnya tanpa arah.
ADVERTISEMENT
Setiap orang punya berpendapat, terlepas apakah ia mempunyai kapasitas atau tidak. Setiap orang bisa bersuara, terlepas apakah ia punya kredibilitas. Setiap orang mengunggah pendapat yang ia yakini, tanpa ada proses verifikasi sebelum disebar.
Internet menjadi keriuhan yang memekakkan. Yang benar dan yang salah menjadi saru. Euforia ke’’aku’’an. Ketika fakta tereduksi menjadi sekadar pendapat. Karenanya lalu setiap pendapat menjadi satu versi dari fakta.
MySpace dan Facebook disebutnya menciptakan budaya narsistik tak terbayangkan (terutama di kalangan anak muda). YouTube membuat orang lebih tertarik untuk mengekspresikan diri ketimbang belajar tentang dunia di luar dirinya.
Jejaring sosial, dalam kesimpulannya, menjadikan remaja begitu sibuknya mengunggah kegiatan mereka sendiri dan seperti berhenti mengkonsumsi kerja kreatif para musisi, novelis, dan pekerja film atau memperhatikan hal-hal serius lainnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan ia melihat bahaya dalam situs open-source semacam Wikipedia ataupun user generated content dan blog. Belum tentu isinya benar. Menggerogoti otoritas guru di kelas dan menenggelamkan suara pakar dan profesional.
Di setiap kelok dan inovasi, Keen melihat lebih besar cacat daripada progres.
Yang dikecam oleh Keen bukan sekadar sebuah gaya hidup. Mungkin sebuah kecenderungan peradaban. Mungkin sebuah evolusi sosial dan cara berpikir manusia selanjutnya.
Tak ayal Lembah Silikon panas. Para aktifis internet, blogger, youtuber dan segala mereka yang terkait meradang. Keen dicap pengkhianat. Menjadi salah seorang paling di benci di kalangan aristokrasi digital maupun warga biasa.
Media bahkan ada yang menjulukinya sebagai Anti Kristusnya Lembah Silikon. Atau setidaknya Martin Luthernya gerakan kontra reformasi internet.
ADVERTISEMENT
Elitis dan anti-progres adalah julukan lain yang biasa disematkan padanya.
Seperti biasa, mengikuti logika ataupun kebiasaan di dunia internet, perdebatan itu hilang tertimbun dalam sekian macam keriuhan lain. Dan tentu tidak juga ada menang kalah benar salah, apalagi ketika fakta tereduksi menjadi pendapat saja. Semakin riuh semakin kabur saja.
Masih lagi kenyataan bahwa internet (juga) bukan lembaga arbitrase. Juga bukan lembaga keilmiahan. (Sekadar) medium penampung keriuhan.
Andrew Keen bukanlah figur sentral di dunia digital sekarang. Pariah yang berteriak dari pinggir lapangan. Tetapi ia akal sehat yang tak pernah berhenti menggugat dan mengingatkan.
Ia sungguh khawatir misalnya dengan fenomena Presiden Trump dan fakta alternatifnya. Tetapi keriuhan di internet, narsisme digital, reduksi fakta menjadi sekadar pendapat, dan algoritma Google memungkinkannya. Dan tentu juga tersedianya kedunguan, egoisme, selera buruk, perilaku kerumunan yang ngawur, dan proporsi yang meraksasa.
ADVERTISEMENT
Kalau saja Keen tahu tentang dunia digital Indonesia, ia akan lebih khawatir lagi dan lebih gigih melakukan jihad digitalnya. Atau mungkin malah menyerah dini karena putus asa.