Demonstrasi

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2020 10:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah kajian dari Universitas Vrije di Amsterdam di tahun 2013 mencoba menjelaskan secara ilmiah mengapa orang berdemonstrasi. Bert Klandermans, psikolog; dan Jacquelien van Stekelenburg, sosiolog, menelaah buku-buku dan teks ilmiah tentang demonstrasi di negara-negara Barat sejak 1950-an hingga awal abad 21.
ADVERTISEMENT
Kedua ilmuwan sosial itu menemukan lima alasan besar, semacam ceteris paribus, yang membuat orang turun berdemonstrasi: keluhan (kolektif); efikasi atau keyakinan diri untuk bisa mengubah keadaan; emosi dalam pengertian keterkaitan individu dengan persoalan; identitas dalam pengertian pengafiliasian diri ke sebuah kelompok; dan kedalaman ikatan sosial individu dengan sekitar hingga yang bersangkutan mau untuk berjejaring.
Kelimanya saling berkait, tidak berdiri sendiri, dan diikat oleh sebuah pengalaman psikologi kolektif.
Kedua peneliti itu kemudian memberi metafor marketing (pemasaran) dalam kegiatan ekonomi untuk menggambarkan kesuksesan jalannya demonstrasi—bukan hasil dari demonstrasi. Konsumen menuntut (demand) sebuah produk dan produsen memenuhi tuntutan itu dengan menyediakannya.
Mereka yang berdemonstrasi diibaratkan orang yang membeli produk (demonstrasi). Pada situasi ketika kelima alasan itu telah terpenuhi maka yang diperlukan adalah pemasar (organisasi atau tokoh) yang bisa mengorganisir dan memobilisir massa, mengatur kapan dan di mana serta kepada siapa demonstrasi ditujukan.
ADVERTISEMENT
Saya kira metafor yang diberikan oleh kedua ilmuwan ini menjelaskan mengapa dalam sebuah demonstrasi, mereka yang menjadi sasaran demonstrasi, selalu mencari-cari yang disebut pemasar—istilah paling sering terdengar adalah aktor intelektual—untuk menyelesaikan persoalan atau untuk disalah-salahkan.
Sebuah penyederhanaan tentu saja. Karena kaum pemasar ini tak akan mampu berbuat apa-apa selama ceterus paribus yang dirumuskan oleh kedua ilmuwan sosial Belanda itu tak terpenuhi. Menyelesaikan persoalan dengan mereka bukan berarti menyelesaikan ceterus paribus-nya.
Apalagi ketika demonstrasi menyangkut persoalan negara dan politis sifatnya. Ketika negara menjadi sasaran tembak demonstrasi. Berkonsentrasi hanya pada pemasar adalah cerminan sikap yang ignorance (menutup mata pada inti persoalan).
Kebiasaan negara untuk mengeluarkan narasi klasik yang konfrontatif dan pendiskreditan dahulu memahami demonstrasi kemudian sangat tidak menguntungkan. Seperti penggunaan istilah-istilah aktor intelektual, pembangkang, perongrong, tidak memahami kepentingan yang lebih besar, antinegara, separatis, dan semacamnya.
ADVERTISEMENT
Kita semua tahu pengertian negara bukan sekadar wilayah tetapi juga tentang ide—imajinasi kolektif—kehidupan di dalam wilayah itu. Dan ide itu hidup. Ia melakukan penilaian, penyesuaian, menggugat, bertesa-antitesa-sintesa, menuju ke sebuah bayangan ideal sesuai waktu dan keadaan.
Wilayah kenegaraan bisa berubah dan bergeser gara-gara persoalan ide ini. Apa yang terjadi di kawasan Balkan dan Uni Soviet di ujung tahun 1980-an saya kira cukup untuk menjadi pengingat paling kontemporer untuk soal ini.
Kejatuhan berbagai rezim dan pemerintahan banyak berawal dari persoalan ketidakmampuan mereka memenuhi imajinasi kolektif warga negaranya. Terlepas kejatuhan itu bersifat konstitusional—lewat kesepakatan pemilihan umum—atau inkonstitusional—kekerasan karena dipaksa.
Memang demonstrasi sering tidak berujung pada apa-apa. Harus ada banyak faktor lain yang ikut bermain untuk menghadirkan perubahan.
ADVERTISEMENT
Tetapi demonstrasi bisa menjadi indikasi/pelurus/pengingat kepada pemerintah dan seluruh jajaran pemegang kekuasaan akan sejauh mana imajinasi kolektif tentang negara itu telah mereka penuhi atau malah melenceng. Semacam tanda baca untuk setidaknya tahu apa yang dipikirkan rakyat.
Ketika demonstrasi (besar) terjadi, kalau anda penguasa, anda tak punya pilihan kecuali harus mendengar dan memperhatikan. Langkah berikut yang harus diambil, itu terserah anda yang berkuasa (lengkap dengan segala konsekuensinya).
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan