Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Djaduk
18 November 2019 8:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pesan dari Butet Kertarajasa dikirim pukul 04:05 Rabu subuh ke grup whatsapp kecil yang saya menjadi salah satu anggotanya. Pendek saja: RIP. Djaduk Ferianto telah mendahului kita.
ADVERTISEMENT
Saya baru membuka pesan itu dua jam setelah terkirim.
Insting pertama adalah hendak membalas lewat jaringan pribadi. Saya urungkan. Saya yakin HP Butet sudah dipenuhi ribuan pesan bela sungkawa. Tak perlu saya tambahi.
"Duh gusti…." tulis saya di grup WhatsApp kemudian, karena hanya dua kata itu yang betul-betul mewakili perasaan hati. Kecampuradukan tak percaya, kaget, sedih, dan tak mampu berbuat apa-apa.
Saya mulai berteman dengan seniman kakak-beradik Butet dan Djaduk di sekitar paruh kedua 1980an. Ha he ho saja awalnya alias saling salam kebo. Sekadar saling tahu kalau kami beredar di wilayah pergaulan yang sama. Ada irisan pertemanan, teman mereka kebetulan teman saya.
Pertemanan menjadi lebih intens ketika kami sering bertemu di komunitas Patangpuluhan–komunitas segala rupa manusia yang sangat cair di rumah Emha Ainun Nadjib-. Ada dua teman baik satu kampus–Dody Kuskrido dan Arif Affandi—yang sering mengajak saya ke sana. Keduanya pula yang sering mengajak saya ke Padepokan Bagong tempat Teater Gandrik berpusat.
ADVERTISEMENT
Tak lantas saya kemudian menjadi seniman. Tidak sama sekali. Saya hanya sering ikut ubyang-ubyung–pergi ke sana ke mari tak jelas tujuan–, nongkrong, dan ngobrol. Ikut tertawa. Sesekali ikut bersuara.
Sekali dua saya menonton mereka berlatih ketika hendak pentas. Berusaha meluangkan waktu untuk menonton di hari H-nya. Dan kemudian berhaha-hihi di belakang panggung ketika usai.
Dalam konteks kesenimanan mereka, tak ada kontribusi saya: Ketika hadir tidak menambahi, tidak hadir juga tidak mengurangi. Berteater seperti Butet saya tak bisa. Bermusik seperti Djaduk saya tak bisa. Saya hanya satu dari sekian banyak tukang tepuk tangan saja.
Pertemanan kami tak ada istimewa-istimewanya sama sekali. Sekadar pokoknya ketemu kalau memang memungkinkan.
Namun pertemuan dengan mereka menjadi sangat berkurang ketika saya pindah untuk bekerja di Jakarta akhir tahun 1992. Walau kami hampir pasti meluangkan waktu bertemu kalau mereka ke Jakarta atau saya pulang ke Yogya.
ADVERTISEMENT
Adalah di pementasan naskah Pak Kanjeng-nya Emha Ainun Nadjib tahun 1993 terakhir kali saya melihat mereka berproses menuju ke sebuah pementasan. Hampir setiap minggu saya pulang ke Yogya. Djaduk mengawal musiknya, Butet menjadi salah satu aktornya bersama Joko Kamto dan Nevi Budianto.
Pertemuan menjadi jarang sekali ketika mulai tahun 1997 hingga 2014 saya bermukim di Eropa. Keinginan agar mereka mampir ke tempat saya sekeluarga tinggal tidak pernah kesampaian. Setiap kali ke Eropa, rombongan mereka tak sekalipun pernah mampir atau punya jadwal ke negara tempat saya tinggal.
Cukuplah pertemanan kami tersambung tipis lewat pertemuan sehari dua setiap kali saya pulang ke Yogya. Tak pernah lewat.
Pertemanan kami menjadi gayeng lagi setelah saya pulang ke Jakarta di awal tahun 2014. Setidaknya kami lebih sering bertemu dan saling menelepon.
ADVERTISEMENT
"Titip Butet yo," ketika akhir Maret lalu Djaduk tiba-tiba menelpon. "Tilikono neng rumah sakit–Tengok dia di rumah sakit."
Djaduk mengkhawatirkan kondisi kakaknya yang terkena serangan jantung di tengah pentas Kanjeng Sepuh di TIM Jakarta. Sudah banyak teman dan keluarga yang menjaga Butet tentu saja. Tetapi Djaduk yang sedang punya acara di Surabaya dan Yogya rupanya tetap khawatir dan sepertinya menelepon siapapun teman yang dia ingat untuk ikut membantu Butet.
"Butet ki pancen edan–Butet memang gila," komentar Djaduk tentang serangan jantung Butet ketika sebulan kemudian kami bertemu di konferensi pers pentas Teater Gandrik berjudul Para Pensiunan di Jakarta.
Ia masih tak habis pikir dengan kenekatan kakaknya untuk menyelesaikan pementasan dan bukannya ke rumah sakit ketika terkena serangan jantung, "Nek mati neng panggung tak malah dadi gaweyan to– Kalau mati di atas panggung kan malah merepotkan orang."
ADVERTISEMENT
Butet menimpali dengan enteng, "Hayo gari digotong. Entheng–Ya tinggal gotong. Ringan." Ia melirik ke Djaduk yang tinggi besar dengan bobot tubuh di atas 100 kilogram itu.
Kami yang ada di ruangan tertawa. Sementara Djaduk mengumpat dengan menyebut seekor binatang dan meneruskan, "Wo hayo wis. Wong kok ora keno dieman–Ya sudah, orang kok enggak bisa disayang."
Rasa sayang di antara kedua kakak beradik itu sangat kuat. Itu gampang dirasakan oleh orang yang kebetulan bertemu dengan mereka berdua. Ekspresi rasa sayang Butet lebih mengayomi, mungkin karena lebih tua. Djaduk membalasnya dengan respek.
Tetapi mereka berdua seperti enggan, sungkan, dan merasa malu kalau orang membaca kasih sayang yang terpancar di antara mereka berdua. Menutupi dengan salah satunya berkelakar.
ADVERTISEMENT
Saya belum lagi bertemu dengan mereka berdua sesudah itu. Hingga kemudian pagi-pagi masuk pesan WhatsApp Butet mengabarkan meninggalnya Djaduk.
Jasad Djaduk dikubur pada hari yang sama dengan kematiannya. Namun akan lama sekali sebelum ia benar-benar tiada. Karena, mengutip pelatih sepakbola Jose Mourinho, "Seseorang baru bisa dikatakan mati ketika orang terakhir yang menyayanginya telah tidak ada lagi."
Dan terlalu banyak orang yang menyayangi Djaduk. Bukan hanya Butet dan saudara kandung Djaduk lainnya. Bukan hanya Petra sang istri dan kelima anak mereka. Bukan hanya sanak kerabatnya. Hitung pula kami teman-temannya, pengagum-pengagumnya, dan mereka yang mengambil inspirasi dari karya-karya Djaduk.