Entah Mengapa Sampar

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
24 Maret 2017 18:49 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi kontemplasi (Foto: Noah Silliman/Unsplash)
Penyuka dan kritikus sastra sepakat novel Sampar karya Albert Camus tahun 1947 adalah sebuah metafora yang lahir dari keberhasilan Eropa melawan syahwat imperialistik Hitler. Sementara setting kota Oran dan samparnya diinspirasi oleh wabah kolera yang melanda Oran dan Mondovi di pedalaman Aljazair—kota kelahiran Camus—tahun 1849.
ADVERTISEMENT
Namun layaknya karya metafora yang bagus, cerita bisa punya ragam makna, lentur situasi, menggugah tafsir, dan tembus zaman. Orang bisa mempunyai kesan dan pemahaman berbeda ketika membacanya. Sampar tak terkecuali.
Saya menyukai tafsir cendekia Syiah dan sosiolog Ali Syariati yang menyebut interaksi tokoh-tokoh dalam novel seperti upaya propaganda Camus untuk mengedepankan visi materialistik dunianya.
Visi materialistik dunia gampangnya berdasar pada konsep pemahaman bahwa asal muasal materi bukanlah berasal dari kehendak-ciptaan-rancangan supreme being (katakanlah, Tuhan). Karena materi ada tanpa suatu kehendak dan rancangan, konsekuensinya materi tak punya tujuan yang spesifik. Karena tak punya tujuan yang spesifik, seluruh alam semesta dan isinya tanpa kecuali adalah sebuah kesia-siaan. Manusia dan kehidupan adalah juga kesia-siaan.
ADVERTISEMENT
Di dalam novel Sampar, digambarkan bagaimana kota Oran di Aljazair dilanda oleh wabah pes (sampar). Tak ada ruang untuk menghindar kecuali berkonfrontasi dengan keadaan. Dan masing-masing tokoh yang ada di dalam novel bersikap sesuai dengan pemahaman akan eksistensi hidup mereka.
Ada tiga perwakilan persona dalam Sampar menurut Syariati. Pendeta dengan sudut pandang khas keagamaan akan dunia. Ilmuwan yang tak percaya tuhan tetapi percaya kepada kemanusiaan. Pemikir yang tak percaya dengan apa yang dipercayai oleh kedua sebelumnya.
Dalam Sampar sang pendeta menjadi satu-satunya yang mewakili pandangan bahwa dunia bukanlah tanpa tujuan. Bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan bukanlah sebuah kesia-siaan. Bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan yang mengontrol segala sesuatunya dan manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Keputusannya untuk bertahan di Oran untuk membantu sesama dan memerangi sampar yang melanda didasari oleh pandangan hidup ini. Baginya, sampar hanyalah satu dari sekian ujian Tuhan untuk umatnya.
Karenanya oleh Camus sang pendeta pun harus dimatikan duluan sebagai simbol kekalahan yang telak. Bahkan masih belum cukup, di tengah wabah sampar yang ia perangi, kematiannya diragukan apakah terkena sampar atau bukan.
Sementara sang ilmuwan bertahan di Oran bukan karena ia percaya akan adanya Tuhan. Sejalan dengan pandangan materialistiknya, ia menganggap kehidupan dan alam semesta adalah sebuah kesia-siaan.
Tetapi dengan kenyataan bahwa ia (manusia) sudah hidup di dunia, punya kecakapan, dan kesadaran maka tak ada salahnya untuk saling membantu dengan sesama. Kalau kehidupan yang baik bisa diciptakan maka seluruh masyarakat akan bisa menikmati. Itu sebab harus diupayakan. Ada sebuah tujuan kemaslahatan bersama.
ADVERTISEMENT
Sang pemikir punya titik tolak yang sama dengan sang ilmuwan. Tetapi cara berpikirnya lebih ekstrem lagi. Kalau Tuhan tidak ada dan semua eksistensi adalah sebuah kesia-siaan maka semua tindakan manusia tidak ada nilai baik buruk. Semua tindakan sama saja dan sama sahnya. Toh baik dan buruk pada akhirnya adalah sebuah kesia-siaan.
Tidak perlu adanya pengorbanan, persahabatan, permusuhan, maupun makna hidup lain. Tendensi manusia untuk mendapatkan makna hidup dalam sebuah eksistensi yang sia-sia hanya akan menimbulkan konflik dan adalah sebuah absurditas. Semakin manusia mencoba melakukan itu semua, hanya semakin membawa ke sebuah keterasingan individu dari alam semesta.
ADVERTISEMENT
Walau demikian cara berpikir sang pemikir, di dalam Sampar ia memutuskan untuk bahu membahu dengan sang ilmuwan menanggulangi sampar. Seolah ingin membuktikan bahwa ia pada akhirnya akan benar terasing dan takluk pada kesia-siaan.
Entah mengapa setiap kali mendengar ada orang bunuh diri, benak selalu melayang ke novel Sampar dan tafsir Ali Syariati ini.