Eros Djarot

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
24 Mei 2021 6:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "Eros Djarot" oleh Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "Eros Djarot" oleh Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Bulannya mungkin Mei atau Juni tahun 1992. Menjelang tengah malam. Kami—Eros Djarot, Emha Ainun Nadjib, Toto Rahardjo, Dodi Ambardi, Arief Afandi, saya dan beberapa teman lain—ngobrol di emperan toko di Malioboro, Yogyakarta. Tempatnya persis di depan sebuah toko buku-buku bekas berbahasa Inggris yang lantai duanya menjadi kantor Jawa Pos, berhadap-hadapan dengan Hotel Garuda.
ADVERTISEMENT
Itulah untuk pertama kalinya saya mendengar ia, Eros Djarot, menceritakan rencana untuk membuat sebuah media. Ia mengajak kami-kami untuk bergabung.
Mas Eros—saya selalu memanggilnya dengan mas—adalah sebuah nama besar di dunia kesenian (musik dan film). Sangat besar malah. Saya tak tahu bagaimana perasaan yang hadir malam itu. Tetapi secara pribadi, walau itu bukan pertemuan pertama saya, "I was in awe," kalau kata orang Inggris.
Capaian Mas Eros di film dan musik, bahkan hingga kini, masih menjadi salah satu tolok ukur capaian puncak estetika dan kreativitas.
Tidak bisa tidak orang akan membicarakan album Badai Pasti Berlalu (1977) ketika berbicara musik di Indonesia. Album yang dinobatkan menjadi album terbaik sepanjang masa musik Indonesia versi majalah Rolling Stone Indonesia 2007 ini menjadi semacam Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band-nya di Barat untuk Indonesia di bidang musik kontemporer.
ADVERTISEMENT
Mungkin belum sampai mengarusutamakan—me-mainstream-kan—dunia eksperimen avant garde seperti Pepper’s, tetapi Badai seperti halnya Pepper’s juga membuka berbagai kemungkinan pengembangan lirik, musikalitas, dan nuansa. Sangat berbeda dari album-album musik Indonesia sebelumnya.
Pun ketika berbicara tentang film Indonesia, maka Tjoet Nja' Dhien (1988) tidak bisa tidak harus disebut. Film ini menyapu bersih delapan Piala Citra termasuk untuk kategori Sutradara Terbaik dan Skenario Terbaik, yang dua-duanya dipegang oleh Mas Eros. Padahal dua-duanya adalah hal yang baru pertama kali ia kerjakan.
Tidak seperti Badai yang secara resmi ada lembaga yang menobatkan sebagai album musik terbaik sepanjang masa, belum ada yang menobatkan Tjoet Nja' Dhien seperti itu. Tetapi tak kurang penggemar film yang menyebutnya sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat di Indonesia. Setidaknya film kolosal Indonesia terbaik yang pernah ada. Saya kira kenyataan sebagai film Indonesia pertama yang diputar di Festival Film Cannes juga sudah berbicara cukup banyak akan kualitas film ini.
ADVERTISEMENT
Mas Eros tidak ujug-ujug muncul dengan karya-karya puncaknya. Ia berproses dengan cukup panjang baik di bidang musik maupun film untuk menemukan apa yang ia inginkan. Orang sering lupa akan kiprah Barong’s Band yang ia pimpin. Atau keterlibatannya sebagai penata musik di banyak film Teguh Karya yang membuat ia paham luar dalam soal pembuatan film. Semua berkulminasi kepada sebuah keinginan.
Dan apa yang ia inginkan adalah membuat sesuatu-menyampaikan sesuatu—apapun perumusan sesuatu itu. Musik atau film hanyalah medium karena itu yang ia akrabi.
Karena mengejar "sesuatu", saya lebih suka merumuskan substansi-nilai, Mas Eros seperti kemudian mengabaikan rumusan-rumusan baku-kerapian runtutan dalam bermusik ataupun berfilm. Atau malah ia sengaja meninggalkan cara-cara baku dan kerapian untuk memperluas cakrawala kemungkinan.
ADVERTISEMENT
Saya dan beberapa teman lain pernah mendengar cerita Yockie Suryoprayoga tentang bagaimana tidak karuannya-tidak konvensionalnya memainkan musik yang ditulis oleh Mas Eros.
"Kalau diikuti saklek, pusing itu mainin pianonya. Tangan kanan ke mana tangan kiri ke mana, yang kanan malah ke kiri yang kiri malah ke kanan," katanya dengan tertawa terbahak-bahak. "Tapi ajaib. Kok jadinya bagus? Dalam beberapa hal kita memang harus menerjemahkan apa yang ia mau. Kita yang menata dan merapikan."
Saya tidak paham dan tidak bisa bermain musik. Saya terima mentah-mentah saja cerita itu. Siapa yang hendak membantah dengan orang yang terlibat langsung pembuatan album badai itu?
Ada sebuah teori tentang bagaimana otak bekerja yang membedakan antara kreativitas dan craftmanship (penataan-perapian-menuju sesuatu yang bisa direplikasi). Kreativitas konon melibatkan seluruh otak dan karenanya jarang tertata. Seperti sebuah kecamuk berpikir yang kesulitan menemukan kata akhir. Sementara craftsmanship hanya melibatkan otak depan yang memang berfungsi untuk menata cara berpikir, menjaga emosi, mencari jalan keluar atas persoalan, perencanaan, dan semacamnya.
ADVERTISEMENT
Kreativitas jarang rapi dan tertata—ia sebuah organized chaos. Craftsmanship sebaliknya. Saya kira kita bisa menyimpulkan manusia semacam Mas Eros berada di mana.
Saya belum pernah mendengar cerita dari mereka yang terlibat dalam pembuatan film Tjoet Nja' Dhien. Saya berasumsi dan tidak akan terkejut kalau organized chaos itu juga terjadi. Dan harus ada mereka yang membantu menatanya.
Tetapi saya merasakan langsung organized chaos-nya Mas Eros ketika kemudian bekerja untuknya saat membangun Tabloid DeTIK.
Ia punya gambaran kasar tentang yang ia mau: menjawab hegemoni Kompas dan Tempo dengan menampilkan sesuatu yang tidak Kompas dan Tempo tanpa mengorbankan etika jurnalistik; bahasa yang blak-blakan tidak eufemistis; menampilkan wawancara utuh dengan tidak melakukan "kurasi", editing, dan sekadar kutip; me-Poskota-kan politik agar awam paham politik.
ADVERTISEMENT
Merumuskan presentasi yang tepat atas semua yang diinginkan adalah pergulatan berbulan-bulan yang melelahkan. Ia terus mengatakan tidak dan menunjukkan yang serba salah—dan ia benar—dari apa yang kami rumuskan. Hingga seorang Budiono Darsono—belakangan mendirikan detik online yang tidak ada hubungannya dengan Tabloid DeTIK—masuk dan menerjemahkan apa yang dimaui oleh Mas Eros.
Selebihnya kita tahu apa yang terjadi pada Tabloid DeTIK. Ia menjadi media dengan pertumbuhan tercepat dalam sejarah dengan mencapai tiras 450 ribu eksemplar hanya dalam waktu 15 bulan. Sebelum akhirnya dibreidel oleh pemerintah zaman Soeharto bersama Tempo dan Editor.
Mungkin itu sebab karya-karya puncak Mas Eros selalu bersifat—mengutip Chairil Anwar—hidup sekali berarti lalu mati. Ia mungkin membuka cakrawala baru tapi sulit untuk persis direplikasi. Bahkan Mas Eros sendiri toh gagal untuk mereplikasi Tabloid DeTIK menjadi Tabloid DeTAK.
ADVERTISEMENT
Seorang rekan kerja wartawan asing yang sudah bertahun-tahun tinggal di Indonesia pernah mengatakan kepada saya, Eros sesungguhnya semacam enfant terrible—anak muda yang hebat karena tingkah laku dan ide-idenya yang jalang. Menggugat kemapanan—konvensi baku linear dalam melakukan sesuatu—untuk meraih apa yang ia inginkan.
Tentu saja wartawan ini merujuk pada Badai, Tjoet Nja' Dhien, dan Tabloid DeTIK.
"Oh iya ada benarnya. Tetapi ia juga bisa sangat kaku dan baku," jawab saya menyanggah. "Ia kehilangan sifat enfant terrible-nya, sifat organized chaos-nya, kreativitasnya ketika menyangkut Marhaenisme Sukarno."
Memang sewaktu pergaulan saya masih intens dengan Mas Eros, saya sering mengkritik sikapnya yang cenderung taklid dengan Marhaenisme. Ketika berbicara politik, Mas Eros sangat sering mengulang-ulang narasi Marhaenisme, istilah-istilah politiknya, bahkan hingga ke simbol-simbolnya sebagai kata akhirnya.
ADVERTISEMENT
Saya sering bercanda, "Dunia tidak berawal, berproses, dan berakhir pada Bung Karno, Mas," setiap kali kami mulai berbicara persoalan-persoalan politik dan ia mulai keluar Marhaen-nya.
Saya sangat tidak heran ketika ia memutuskan untuk berpolitik praktis-formal dengan mendirikan partai, nama partainya pun Partai Nasionalis Bung Karno yang kemudian berubah menjadi Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan.
Apa boleh buat, setiap manusia sepertinya punya titik bekunya. Marhaenisme merupakan titik beku Mas Eros.
Tetapi saya punya bingkai sendiri akan sosok Mas Eros yang terpahat di kepala dan tak akan bisa hilang.
Suatu saat saya terjatuh di kantor Tabloid DeTIK dan lutut kanan saya bergeser. Saya perlu mendapat perawatan beberapa hari untuk mengembalikan posisi lutut itu dan pemulihannya.
ADVERTISEMENT
Mas Eros meminta saya untuk tidur di rumahnya. Agar lebih terawasi dan agar orang rumah bisa ikut membantu, katanya saat itu. Sudah terlalu sering sebetulnya kami awak Tabloid DeTIK—terutama anak perantauan dari Yogya—mengganggu keluarga Mas Eros dengan menumpang tidur di rumahnya yang selalu terbuka untuk kami.
Di salah satu malam sekitar jam dua pagi saya terbangun dan keluar kamar hendak merokok. Saya melihat Mas Eros duduk sendirian di depan studio memetik gitar sangat pelan dan bernyanyi lirih nyaris berbisik. Seolah khawatir mengganggu keheningan.
Ia menyanyikan lagu Semusim dari Badai Pasti Berlalu yang setahu saya lagu untuk istrinya, mbak Dewi. Lembut sekali. Tenggelam dalam penghayatan yang sempurna. Saya betul-betul tertegun. "Live music" paling menggugah yang pernah saya saksikan hingga kini. Mungkin karena ia sedang jujur dan "bercerita" untuk dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya selalu merawat penggalan peristiwa yang saya tak yakin mas Eros sendiri mengingat atau sadar telah terjadi. Mengingat malam itu, segala sesuatu yang lain tentang Mas Eros—kelebihan, kekurangan, mimpi-mimpinya, apa yang sudah ia lakukan, orderly chaos-nya, enfant terrible-nya, kekaguman maupun kejengkelan saya terhadapnya—selalu menjadi tak penting lagi buat saya.
Ilustrasi "Eros Djarot" oleh Indra Fauzi/kumparan.