Gaya Hidup Brompton

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2020 9:24 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selama berbulan-bulan usai bangun pagi, Andrew Ritchie melipat tempat tidurnya, menyingikirkannya ke pojok ruangan, dan menyulap kamar tidurnya menjadi bengkel sepeda.
ADVERTISEMENT
Ritchie tak punya pilihan. Ia tinggal di kawasan London Barat tak jauh dari pusat kota yang terkenal mahal. Ia tak cukup punya uang untuk menyewa studio atau bengkel.
Sedikit uang yang terkumpul dari teman dan handai tolan, 1200 Poundsterling, hanya cukup untuk dana awal mewujudkan prototype sepeda lipat yang ada di kepalanya.
Sambil merancang prototype sepeda lipat yang ia gagas, sesekali pandangan matanya menembus jendela menumbuk ke gereja Immaculate Heart of Mary atau yang lebih dikenal dengan nama Brompton Oratory.
Tanpa ragu ketika prototype sepeda lipat itu selesai, lulusan Trinity College, Cambridge, jurusan Teknik Mesin ini menamakan kreasinya Brompton.
Brompton dirancang sebagai sepeda kecil ringan yang lincah untuk mengatasi jalanan perkotaan yang sempit dan padat.
ADVERTISEMENT
Mekanisme pelipatannya gampang, menjadi relatif kecil, mudah membawanya, sehingga tidak merepotkan pengguna ketika harus naik tranportasi umum seperti kereta dan bis.
Tak membutuhkan ruang penyimpanan yang luas. Di kantor bisa masuk di bawah meja kerja. Di rumah bisa ditaruh di bawah tangga yang sempit—hampir semua rumah di Inggris mempunyai tangga—atau disingkirkan ke pojok ruangan begitu saja.
Brompton adalah lambang kepraktisan-tuntutan-keharusan esensial bersepeda guna mengosiasi kota yang padat, ruangan yang terbatas, dan jalanan yang sempit seperti di London.
Sebagai sebuah produk industri, Brompton berkembang sangat lamban. Di samping dibutuhkan waktu bagi orang untuk menerima konsep yang ditawarkan oleh Ritchie, Brompton dibuat secara manual tangan bukan lewat otomatisasi.
Usai prototype-nya selesai tahun 1975 dan pelan-pelan memulai produksi, Ritchie hanya bisa memproduksi puluhan biji setiap tahun.
ADVERTISEMENT
Tahun 1980-an perusahaan berkembang pesat. Pesanan meningkat, pegawai bertambah, investor besar mulai masuk, produksi meningkat hingga ratusan sepeda tiap tahun.
Hingga tahun 2002, Ritchie dan 24 karyawannya hanya bisa menghasilkan 7.000 sepeda per tahun. Tetapi saat ini jumlah karyawannya sudah 300-an orang (di pabrik) dan bisa membuat lebih dari 50 ribu sepeda per tahun.
Turn over penjualan kini mencapai 30 juta Poundsterling per tahunnya dengan tingkat keuntungan 3,5 juta Poundsterling. 80 persen produk mereka untuk ekspor ke 50 negara.
Bahkan adanya pandemi corona diramalkan tidak akan menyurutkan pertumbuhan Brompton ini.
"Pasar sepeda ini kebanyakan rekreasional tetapi kami menjual produk yang berguna-esensial untuk kehidupan sehari-hari. Di tengah situasi yang menantang, menjual sesuatu yang esensial adalah modal yang kuat," kata Will Butler-Adams, CEO Brompton sejak 2002 dan orang yang bertanggung jawab mengubah Brompton menjadi perusahaan kaliber jutaan Poundsterling.
ADVERTISEMENT
Butler -Adams jelas membayangkan kota-kota metropolitan semacam London di pelbagai negara di dunia. Ia pasti tidak membayangkan Jakarta.
Kita tahu betapa populernya sepeda Brompton ini hingga epigon-epigonnya di Jakarta. Dari yang sekian juta hingga yang berpuluh juta harganya.
Toko-toko sepeda di Jakarta selalu kehabisan stok sepeda Brompton. Ada jastip untuk membeli sepeda Brompton kalau yang bersangkutan kebetulan bepergian ke Inggris atau kota yang ada toko penjualnya. Bahkan sampai ada yang menyelundupkan.
Begitu populernya, ada banyak forum online penggemar sepeda Brompton. Ada klub-klub penggemar Brompton yang rutin bertemu dan bersepeda bareng. Car Free Day banyak dipenuhi pengguna sepeda Brompton dan yang ‘mBrompton’.
Tetapi kalau Andrew Richie membayangkan tentang kepraktisan-tuntutan-keharusan esensial bersepeda guna mengosiasi kota yang padat, ruangan yang terbatas, dan jalanan yang sempit seperti di London; tetapi kalau Will Butler-Adams berbicara tentang produk yang berguna-essensial untuk kehidupan sehari-hari; Keduanya akan menjadi bahan tertawaan dunia.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak akan menemukan pengguna sepeda Brompton berseliweran di hari kerja.
Mereka tidak akan menemukan seorang eksekutif tiba-tiba naik metromini, busway, atau MRT dengan menenteng Brompton.
Mereka tidak akan bertemu dengan orang yang fasih dan terlatih melipat sepeda Brompton, memasukkannya ke bawah meja kerja, atau menyimpan di tempat penyimpanan khusus sepeda.
Ada pembajakan makna akan keberadaan sepeda Brompton di Jakarta. Sama-sama sebuah gaya hidup, sepeda Brompton bukanlah sebuah gaya hidup yang dibayangkan oleh Ritchie dan Butler-Williams. Sepeda Brompton di Jakarta adalah lambang gaya hidup rekreasional yang mengesensial bagi yang mampu.
Saya yakin, keduanya tentunya tak akan keberatan dengan pembajakan gaya hidup Brompton yang mereka maksudkan.
Selama pembajakan gaya hidup itu berarti pembelian Brompton ikut naik terus mereka pasti akan mengangguk-angguk mengiyakan.
ADVERTISEMENT
Tak apa kalau mereka tak bisa menjelaskan mengapa fenomena itu kemudian terjadi.
"Hidup ini sebuah kekacauan," kata Andrew Ritchie di sebuah ceramah di London Business School tahun 2017. "Berbagai hal terjadi lewat cara yang sama sekali tidak disangka."
Mungkin itu penjelasan paling masuk akal untuk memahami mengapa Brompton begitu populer di Jakarta tetapi berbelok arah 180 derajat dari yang dibayangkan penggagasnya.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan