news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Honoris Causa

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
22 Februari 2021 8:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Lionel Woodville adalah orang pertama dalam sejarah yang mendapat gelar akademis kehormatan (honoris causa). Ia mendapat gelar akademis (setingkat doktor untuk saat ini) honoris causa di bidang hukum kanonik—aturan hukum untuk gereja dan penganutnya—dari Universitas Oxford di tahun 1478.
ADVERTISEMENT
Oxford bisa beralasan Woodville layak diberi gelar kehormatan. Ia memang aslinya didikan Oxford. Meraih gelar sarjana di bidang yang sama beberapa tahun sebelumnya. Dan dalam keseharian Woodville memang bergelut dengan persoalan gereja dan segala macam aturannya. Ia uskup muda di Katedral Santo Petrus di Exeter yang lumayan bergengsi ketika agama masih memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat.
Tetapi Woodville bukan jelata papa yang tidak jelas asal-usulnya. Ia bukan seseorang yang harus mendaki terjalnya mobilitas vertikal kehidupan. Ia anak turun keluarga bangsawan berpengaruh, kaya raya dan tentu saja mempunyai jaringan politik yang luas. Ia juga ipar dari Raja Edward IV.
Oxford memberi gelar akademis kehormatan tertinggi itu agar bisa menawari jabatan chancellor (rektor) kepada Woodville—kedua tawaran itu diterima oleh Woodville. Selanjutnya agar bisa meraup akses pengaruh dan finansial dari kerajaan.
ADVERTISEMENT
Jadi sejak awal gelar akademis honoris causa sudah sarat dengan persoalan yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal akademis. Ia sebuah kamuflase akademis untuk kepentingan-kepentingan nonakademis.
Kesuksesan praktik yang dilakukan Universitas Oxford kemudian ditiru oleh universitas-universitas lain di Inggris (dan seluruh dunia). Selama abad 16 dan 17 saja Oxford dan universitas-universitas lain di Inggris berlomba memberi gelar akademis kehormatan kepada ratusan bangsawan untuk tujuan serupa.
Di zaman modern ketika persyaratan pemberian gelar akademis kehormatan ini (konon) lebih ketat, bukan berarti kepentingan-kepentingan nonakademis lalu hilang. Coba kita jujur, manfaat akademis apa yang didapat universitas dengan pemberian gelar akademis kehormatan itu? Sangat sulit untuk tidak melihat kepentingan-kepentingan nonakademis disebalik pemberian gelar itu.
Istilah honoris causa (atas nama kehormatan) juga terbebani persoalan. Walau namanya penghormatan akademis—artinya terkait dengan bidang keilmuan tertentu—tetapi secara intrinsik juga mengandung pengakuan terhadap karakter keteladanan/kepribadian dari yang bersangkutan. Bukan persoalan keilmuan semata.
ADVERTISEMENT
Maksud saya begini.
Seseorang yang meraih gelar doktor dari universitas tertentu haruslah melewati persyaratan keilmuan yang sudah ditetapkan oleh universitas yang bersangkutan. Ada tuntutan akademis yang harus dipenuhi; proses yang jelas; standar yang jelas; dan tentu pertanggungjawaban keilmuan.
Seseorang tersebut bisa jadi, sebagai permisalan, narapidana atau sesudah meraih gelar doktor berbuat kesalahan dan dipidana. Status kedoktorannya/keilmuannya tidak dengan kemudian hilang. Status kedoktorannya tidak ada hubungannya dengan persoalan-persoalan lain di luar keilmuan.
Harapannya mungkin status kedoktorannya berbanding lurus dengan moral yang baik. Tetapi sesungguhnya tidak ada urusan dan keterkaitan di antara keduanya. Persoalan keilmuan tak bersangkut paut dengan urusan kepribadian/karakter/tindak tanduk/moral seseorang.
Gelar akademis kehormatan berbeda. Karena ia mem-bypass persoalan-persoalan akademis, ada tuntutan kompensasi karakter yang "baik" dari yang bersangkutan. Persoalan karakter terkait langsung dengan persoalan akademis. Tentu saja ini merepotkan.
ADVERTISEMENT
Kerepotan lain tentu saja pada definisi karakter yang baik itu sendiri. Ini wilayah abu-abu. Baik menurut universitas belum tentu baik secara umum, begitupun sebaliknya.
Lebih merepotkan lagi adalah ketika orang tertentu yang mendapat gelar kehormatan tidak mampu menjaga kehormatan yang diberikan. Melakukan hal-hal yang berlawanan dengan penghormatan keilmuan yang diberikan kepada yang bersangkutan atau yang bersangkutan melakukan tindak-tindakan amoral.
Karenanya potensi kerepotan dari pemberian gelar kehormatan ini dan kenyataan ia tak lebih kamuflase akademis untuk kepentingan-kepentingan nonakademis, beberapa universitas ternama di Amerika Serikat seperti Cornell dan Massachusetts Institute of Technology, hingga saat ini lebih memilih untuk teguh tidak melakukannya. Mungkin untuk melindungi integritas keilmuan, menghindari fitnah, sekaligus menjaga martabat universitas.
ADVERTISEMENT
Sementara, tidak untuk mengecil-artikan apalagi merendahkan, karena banyak dari mereka yang mendapat gelar akademis kehormatan layak untuk mendapatkan, mengapa begitu banyak orang begitu bersemangat untuk menerimanya. Tidakkah mereka bisa mengukur diri mereka sendiri?
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.