Konten dari Pengguna

Pilkada Sialan!

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
15 Februari 2017 19:17 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
25
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Debat Pilgub DKI ketiga (Foto: Aditia Noviansyah)
zoom-in-whitePerbesar
Debat Pilgub DKI ketiga (Foto: Aditia Noviansyah)
Sekitar tujuh bulan lalu Kartu Tanda Penduduk (KTP) kami, saya dan istri, resmi berganti dari Bogor, Jawa Barat menjadi Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Pergantian KTP itu bukan untuk mengantisipasi pemilihan gubernur DKI. Segi kepraktisan saja.
ADVERTISEMENT
Pertama, karena kami ingin mengubah KTP kami menjadi e-KTP. Kedua, kami bertempat tinggal di Ciganjur, Jakarta Selatan, sejak dua tahun lalu. Kami hanya ingin semua urusan menjadi mudah dan tidak perlu bolak-balik ke tempat lama kalau diperlukan.
Yah, bak pucuk dicinta ulam tibalah kalau kebetulan ada pemilihan gubernur DKI di awal tahun 2017. Pingin juga rasanya ikut Pilkada DKI. Apalagi kami belum pernah terlibat pilkada dalam bentuk apapun juga.
Konon, mengurus KTP itu seperti yang kami dengar, bisa cepat dan tidak perlu biaya macem-macem. Tidak seperti dulu-dulu.
Kami menemukan bahwa benar tidak perlu biaya macem-macem. Tetapi rupanya kami sedang apes. Persis setelah menerima surat pernyataan menunggu e-KTP dicetak, kami diberitahu oleh petugas kelurahan bahwa blangko untuk e-KTP kosong dan belum tahu kapan akan tersedia.
ADVERTISEMENT
Artinya untuk sementara hingga blanko tersedia, surat pernyataan menunggu e-KTP dicetak itu adalah KTP sementara.
Saya agak panik karena kebetulan dalam waktu yang sangat dekat harus mengurus sertifikat tanah, STNK mobil, dan beberapa urusan penting yang mutlak memerlukan KTP. Tetapi petugas kelurahan menjamin dan meyakinkan bahwa surat itu sudah cukup dan legal sebagai pengganti KTP.
Saya awalnya agak ragu dengan jaminan itu. Tetapi terbukti keraguan itu tak berdasar dan bahwa jaminan kelurahan benar adanya. Semua urusan tuntas dan terselesaikan dengan berbekal surat pernyataan menunggu pencetakan e-KTP tersebut.
Karenanya saya tak khawatir ketika menjelang Pilkada DKI mendapat informasi bahwa e-KTP kemungkinan baru akan dicetak sekitar April-Mei. Dua bulan sesudah Pilkada. Bahkan ketika dari kelurahan tidak ada yang menghubungi kami sekeluarga terkait daftar pemilih Pilkada, saya masih optimistis akan bisa memilih.
ADVERTISEMENT
Saya sudah melihat persyaratannya: kalau memang oleh satu dan lain sebab nama tidak ada di daftar pemilih, bisa langsung datang ke TPS antara jam 12.00-13.00 dengan membawa surat pengganti e-KTP dan Kartu Keluarga.
"Beres," kata saya kepada istri dengan sok percaya diri ketika ia bertanya.
Dan tibalah hari Pilkada. Hari pemilihan gubernur DKI Jakarta. Tepat jam 11.45 WIB kami berdua berjalan menuju tempat pemilihan yang hanya sepuluh tarikan nafas jauhnya dari rumah. Waktu cukup berlebih, demikian pikiran saya.
Dengan ramah petugas TPS menyambut kami. Setelah kami jelaskan situasinya, ia meminta untuk terlebih dahulu mengecek daftar pemilih guna memastikan nama kami tak ada di sana.
‘’Betul nama bapak dan ibu tak ada. Tetapi bapak dan ibu tidak bisa menggunakan surat keterangan ini untuk mendapatkan kartu suara,’’ katanya masih dengan sangat sopan.
ADVERTISEMENT
‘’Lho kenapa?’’ Tanya saya sambil kemudian menjelaskan bagaimana surat pengganti KTP itu sudah saya gunakan untuk mengurus sertifikat tanah, STNK mobil, mengurus perusahaan, dll.
‘’Dan…,’’ tambah saya lagi, ‘’jaminan dan keterangannya dikeluarkan oleh kelurahan lho, Mas.’’
‘’Untuk Pilkada harus ada surat keterangan tambahan dari kelurahan dan nanti surat yang bapak bawa ini harus ditinggal di sini,’’ kata petugas itu.
‘’Dan setahu saya kelurahan libur,’’ ia berkata lagi.
‘’Lah, itu sama saja kami berdua nggak bisa milih, dong?’’ kata saya agak jengkel.
Sayapun ngotot agar kami berdua diperbolehkan nyoblos karena merasa semua persyaratan sudah terpenuhi. Mungkin bingung menjawab akhirnya petugas yang bersangkutan memanggil Pak RT tempat kami tinggal yang juga menjadi salah satu petugas di TPS.
ADVERTISEMENT
Kalau di awal saya merasa senang dengan dipanggilnya Pak RT, karena tentu saja kami kenal, saya terlalu berpengharapan. Ternyata baru dua bulan yang lalu Pak RT diganti dan kami tak saling mengenal.
‘’Bapak tinggal di mana?’’ Pertanyaan itu langsung mengempiskan semua harapan. ‘’Sebentar saya telpon ke kelurahan. Mungkin ada yang bisa dilakukan.’’
Ketika Pak RT kembali, jam sudah menunjukkan pukul 12.20. Dan jawaban yang diberikan tak berbeda dengan petugas sebelumnya. Kecuali, ‘’Kalau bapak mau, bisa ke kelurahan sekarang akan ada yang menunggu untuk membuat surat keterangan tambahan.’’
Saya menghitung waktu. Tak mungkin menyelesaikan semuanya serta masih punya waktu untuk mencoblos. Sudahlah. Kami memutuskan untuk pulang saja. Memang takdirnya tidak boleh nyoblos. Terima saja.
ADVERTISEMENT
Tetapi pas tiba di rumah, saya teringat akan surat keterangan kependudukan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, disdukcapil, Jakarta Selatan untuk urusan kepegawaian.
‘’Itu bisa dipakai,’’ kata istri. ‘’Aku nggak usah nggak apa-apa. Sudah cepetan sana.’’
Bergegas kembali ke TPS yang sepuluh tarikan nafas tadi. Dengan senyum lebar saya tunjukkan surat keterangan dari disukcapil Jakarta Selatan itu.
‘’Ha... benar, Pak, surat ini bisa,’’ kata petugas dengan senyum yang tak kalah lebarnya. ‘’Sekarang tinggal difotokopi saja.’’
‘’Ampun!’’ spontan saya separuh berteriak dengan frustrasi.
‘’Iya, Pak, ini perlu difotokopi agar kami punya bukti yang bisa kami simpan,’’ katanya datar tapi sungguh menyebalkan.
Saya hampir mengajaknya berdebat dan melontarkan sekian ribu pertanyaan terkait akal sehat dan birokrasi. Tetapi jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan 12.38 WIB. Dua puluh dua menit sebelum TPS ditutup. Saya langsung balik badan untuk memfotokopi.
ADVERTISEMENT
Tepat jam 13.00 WIB saya tiba kembali ke TPS lengkap dengan semua persyaratan. Tetapi belum sampai gerbang TPS, langkah terhenti. Dari kejauhan bapak petugas tadi melambaikan tangan.
‘’Maaf, Pak. Sudah tutup. Bapak terlambat,’’ teriaknya sambil tersenyum.
Sepertinya semua orang, petugas yang lain maupun penduduk yang masih nongkrong menunggu penghitungan suara, melihat ke arah saya ketika ia berteriak saat itu. Saya hanya bisa membalas tersenyum lalu balik badan. Masam. Saya tak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat:
‘’Pilkada sialan!’’