Konten dari Pengguna

Jinak-jinak FPI

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
4 Januari 2021 8:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Habib Rizieq. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Habib Rizieq. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jinak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kata sifat yang bisa berarti: tidak liar; tidak buas; tidak garang; tidak galak; tidak malu-malu; tidak segan; tidak takut-takut; tidak keras sepak terjangnya; tidak revolusioner.
ADVERTISEMENT
Menjinakkan adalah kata kerjanya. Punya dua arti. Pertama, melatih supaya jinak. Kedua menaklukkan atau menanggulangi.
Bulan Mei 2018 tim liputan khusus kumparan membuat liputan tentang upaya pemerintah Jokowi agar Habib Muhammad Rizieq Shihab tidak menggunakan pengaruhnya di pemilu 2019. Setidaknya tidak membuat gaduh. Apalagi memihak oposisi. Kalau bisa memihak Jokowi malah.
Dikirim utusan-utusan untuk entah membujuk, berunding—mungkin juga "mengancam"—ke kediaman Rizieq Shihab di Arab Saudi.
Tim liputan khusus kumparan memberi judul liputan: Menjinakkan Rizieq.
Hasil laporan liputan tak menjadi masalah. Tetapi judul menjadi persoalan untuk Front Pembela Islam (FPI), organisasi yang dipimpin Rizieq. Kata menjinakkan dipandang menghina dan merendahkan. Dianggap menyamakan Rizieq dengan binatang.
Tuntutannya adalah mencabut laporan liputan atau mengganti judul, dan kemudian meminta maaf.
ADVERTISEMENT
Ada elemen di dalam FPI yang mengancam akan menggeruduk kumparan; ada elemen di dalam FPI yang hendak membawa ke pengadilan; ada elemen yang mengancam individu yang terlibat dalam penulisan laporan. Kami tak tahu apakah ketiganya terpisah-pisah tanpa koordinasi atau terorkestrasi.
Salah seorang anggota tim liputan khusus bahkan harus diungsikan untuk sementara. Foto dan akun media sosial dari yang bersangkutan disebar di media sosial dengan imbuhan kata ancaman dan hinaan. Kalau kata menjinakkan dianggap sebagai merendahkan, ironis bahwa mereka yang berkeberatan malah menggunakan kata-kata yang berkali-kali lipat derajat ketidak-pantasannya, tidak senonoh, kasar, dan tidak merasa salah menggunakannya.
Upaya untuk memberi penjelasan arti kata dari KBBI, konteks (politik), penggambaran upaya tersirat pemerintahan Jokowi, ataupun segala penjelasan logis mengapa judul dipilih tak ada guna. Bertekuk di lutut logika "pokoknya kalian sengaja merendahkan dan menghina". Muncul dari cara berpikir yang menurut saya khas FPI dalam menanggapi berbagai persoalan: Miopik, hitam putih, dan tiran.
ADVERTISEMENT
Sejujurnya ada perasaan aneh: Takut, menantang, frustrasi, emosi-marah, sulit untuk percaya, dan putus asa baur bercampur menghadapi sikap kacamata kuda mereka itu. Saya cukup yakin perasaan saya ini banyak dirasakan oleh mereka yang pernah bersirobok sikap atau pandangan dengan FPI. Katalog dari sikap dan tindakan FPI yang miopik, hitam putih, dan tiran semenjak berdirinya telah banyak tercatat.
Beruntung, berbeda dengan beberapa kasus yang berujung kekerasan, kasus penyelesaian laporan itu tidak sampai ke titik itu. Kasus ini termasuk yang lambat laun hilang kehabisan energi setelah berulang kali terjadi pertemuan untuk mencoba berdamai. Pada akhirnya—sepertinya—kasus liputan itu tak begitu penting buat FPI. Terlalu kecil. Terlupakan. Tertutup oleh kasus-kasus lain.
Laporan tim liputan khusus itu tetap ada. Judul tak berganti. Dan tim bisa bekerja normal kembali.
ADVERTISEMENT
Namun demikian pengalaman itu dan katalog persoalan yang ditimbulkan oleh keberadaan FPI tak membuat saya setuju dengan cara pemerintah melarang keberadaan organisasi ini. Menurut saya langkah pemerintah sama miopiknya, sama hitam putihnya, dan sama tirannya.
Kalau benar FPI dianggap melanggar ketertiban umum maka pemerintah harus membawanya ke ranah hukum/pengadilan. Mengumpulkan bukti, fakta, catatan yang bisa menunjukkan bahwa FPI sebagai organisasi memang melakukan pelanggaran. Juga memilah apakah yang melakukan pelanggaran adalah oknum anggota, pimpinan, ataukah (kebijakan) organisasinya.
Rumit, sulit, dan memakan waktu mungkin. Apa boleh buat, konsekuensi sebagai negara hukum mensyaratkan seperti itu. Untuk mencegah pemerintah berbuat sewenang-wenang pula.
Benar bahwa pemerintah/negara secara konstitusional merupakan satu-satunya lembaga yang berhak/diberi mandat memonopoli tindak kekerasan: melarang, memaksakan dijalankannya sebuah aturan, dan mengawal sebuah keputusan hukum. Tetapi aparatnya—kepolisian dan aparat hukum lainnya—hanya bisa menjalankan lewat pegangan hukum yang diputuskan di pengadilan yang adil dan beradab. Seperti juga undang-undang—dalam kasus seperti FPI ini—semestinya dibuat hanya setelah ada putusan dan preseden hukum sebagai dasarnya.
ADVERTISEMENT
Kita bisa membayangkan kalau di satu ketika organisasi semacam Muhammadiyah atau NU dianggap berseberangan/kritis terhadap pemerintah lalu dikenakan larangan serupa. Kemungkinan semacam sepertinya kecil mengingat besarnya kedua organisasi itu dan jasa mereka untuk negara ini. Tetapi pelarangan FPI bisa menjadi preseden hukum untuk itu.
Bayangkan pula untuk organisasi masyarakat keagamaan lain, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, dan semua organisasi non-pemerintah lain.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Karenanya jangan menggali lubang kemungkinan sendiri. Amat sangat tidak bijak.
---