John McCain

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
20 Mei 2019 15:04 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi John McCain. (Indra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi John McCain. (Indra/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Andai saja John Sidney McCain III menjadi Presiden Amerika Serikat, sepertinya tidak akan ada orang Amerika yang tidak rela. "He was that good of a man," puji orang Amerika tentang dirinya.
ADVERTISEMENT
Cara jalannya terkesan lucu. Seperti robot. Tangannya melambai kaku tidak seirama dengan langkah kakinya. Tetapi yang lucu itu selalu mengingatkan orang akan sebuah keteguhan jiwa yang nyaris tak bisa dibengkokkan.
McCain tak bisa mengangkat kedua tangannya lebih tinggi dari bahunya. Bahu yang remuk setelah lima tahun disiksa hampir setiap hari selama menjadi tawanan Perang Vietnam. Dua di antara lima tahun itu dijalani dalam isolasi tak bisa berhubungan dengan siapapun kecuali mereka yang menahannya.
Ia menolak untuk dibebaskan ketika tahu akan dijadikan alat propaganda Vietnam Utara. Ia mengerti, Vietnam Utara ingin menunjukkan ia mendapat keistimewaan setelah tahu ayahnya adalah panglima tertinggi Amerika untuk Perang Vietnam. Ia malah balas mengajukan syarat pembebasan dirinya harus bersama seluruh tawanan perang saat itu.
ADVERTISEMENT
Ia pulang ke Amerika sebagai pahlawan pada tahun 1973. Membawa bahu yang remuk dan rambut yang memutih mendadak sebelum waktunya.
Pada tahun 1981, ia memutuskan untuk mundur dari dinas kemiliteran dan menjadi politisi.
Kariernya sebagai politisi cemerlang. Posisinya sebagai senator negara bagian Arizona tak pernah tergoyahkan. Modal politiknya terlalu besar untuk diabaikan: Pahlawan perang yang harum namanya, dari keluarga sangat terhormat dengan kakek dan ayahnya laksamana bintang empat, keluarga istrinya kaya raya sebagai distributor bir terkenal Amerika, dan tentu saja jaringan politik di kalangan Partai Republik yang sangat kuat.
Di atas semua itu, McCain punya reputasi sebagai seorang maverick. Ia tak segan untuk keluar dari jalur partai —bahkan berlawanan— ketika menganggap kepentingan nasional menjadi taruhan.
ADVERTISEMENT
Ia jujur, teguh memegang prinsip, dan akan mengatakan apa yang dipikirkan apa adanya. "What You See Is What You Get," kata para politisi di Washington mengomentari karakter McCain. Dan semua tahu cepat atau lambat ia akan pada suatu saat mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika.
Ia sempat mencalonkan diri tahun 1999. Tapi kalah di rintangan pertama, di konvensi Partai Republik. Kalah dari George Bush yang didukung mayoritas pejabat teras Partai Republik.
Kesempatan kedua datang, tahun 2008. Kali ini Partai Republik mendukungnya. Ia berhadapan dengan calon Partai Demokrat, Barack Obama.
Malang, ia tidak sekadar menghadapi Obama yang muda, segar, brilian, dan flamboyan. Ia juga harus menghadapi kebosanan rakyat Amerika terhadap pemerintah yang dianggap hawkish, elitis, rasis, tidak becus mengatur perekonomian, dan stagnan ide. Segala sesuatu yang diasosiasikan sebagai wajah Partai Republik saat itu.
ADVERTISEMENT
McCain kalah telak. Tetapi bahkan dalam kekalahannya ia masih mampu mengingatkan kembali orang Amerika akan arti harkat dan martabat kemanusiaan dalam berpolitik. Sesuatu yang sangat dihormati oleh lawan maupun kawan.
Dalam sebuah kampanye di Minnesota, seorang perempuan pendukung McCain mengatakan bagaimana ia tidak mempercayai Obama karena dianggap keturunan Arab. Banyak pendukung Partai Republik memang beranggapan dan menyebar rumor bahwa Obama diam-diam seorang Muslim, tidak lahir di Amerika, dan culas.
Dengan bersungut McCain memotong, "Salah. Ia seorang pemimpin keluarga yang baik, warga negara, yang kebetulan saja berbeda pendapat dengan saya dalam persoalan fundamental untuk menjalankan pemerintahan negeri ini."
Pilihan mudahnya tentu saja —dan ini seringkali dilakukan para politisi untuk keuntungan pribadi—adalah bagi McCain untuk membenarkan hal itu. Atau setidaknya tidak membantah pernyataan itu tanpa harus menyalahkan atau membenarkan. Membiarkan rumor yang merugikan lawannya untuk berkobar.
ADVERTISEMENT
Tetapi itu pilihan yang berlawanan dengan hati nuraninya. Ia tidak bisa menerima kebohongan bahkan ketika menguntungkan dirinya. Harkat dan martabatnya sebagai manusia tidak bisa menerima itu.
Ia dengan cepat pula mengakui kekalahan. Bahkan sebelum penghitungan suara selesai tetapi hasilnya sudah tidak mungkin berkata sebaliknya.
Dalam pidato setelah mengakui kekalahan, ia malah memuji Obama yang dianggap mewujudkan dan membuktikan akan salah satu nilai ke-Amerika-an yang suci: Memberi kesempatan kepada siapa saja warganya yang mau bekerja keras tanpa memandang latar belakang sosial, politik, agama, dan ekonomi untuk menjadi yang terbaik.
Dan, "Malam ini —lebih dari malam-malam sebelumnya— saya menyatakan rasa cinta saya untuk negeri ini dan seluruh warganya, baik yang mendukung saya atau Senator Obama. Semoga tuhan merestui bekas pesaing saya, yang akan menjadi presiden saya," kata McCain di pidatonya.
ADVERTISEMENT
McCain gagal menjadi Presiden Amerika. Tetapi ia tidak gagal menjadi manusia.