Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Keberpihakan
1 Februari 2018 8:36 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang akhir tahun 2000, Wali Kota London Ken Livingstone, mengeluarkan sebuah kebijakan untuk membersihkan Trafalgar Square dari enam ribuan merpati yang hidup liar di tempat itu.
ADVERTISEMENT
Pemerintah London menganggap merpati-merpati itu sebagai wabah layak berantas. ‘’Tikus bersayap,’’ kata Livingstone saat itu.
Pemerintah kota, kata Livingstone, terpaksa merogoh setidaknya 140 ribu poundsterling, sekitar dua setengah miliar rupiah, per tahun untuk membersihkan kotoran salah satu landmark paling terkenal di tengah kota London itu.
Bukan hanya kotoran itu tentu saja membuat kotor dan tidak nyaman, tetapi juga menimbulkan korosi patung-patung, bangunan, dan fasilitas umum yang ada di seputar Trafalgar Square. Lagi-lagi pemerintah kota harus menyusun anggaran yang dirasa bisa dihindari andai tak ada merpati.
Belum lagi ada potensi ancaman penyebaran penyakit yang sulit dikontrol yang ditularkan lewat burung ini.
Namun keputusan Livingstone ini dihadapkan pada tiga persoalan: Merpati menjadi salah satu daya tarik wisatawan, pembela hak binatang dan hewan menentangnya, dan ada kelompok masyarakat miskin yang menggantungkan hidup dari merpati ini dengan cara menjual makanan burung kepada wisatawan yang datang.
ADVERTISEMENT
Livingstone bukan asal punya kemauan dan asal menerapkan peraturan karena punya kekuasaan.
Ia tetapkan Trafalgar Square sebagai tempat untuk menggelar acara-acara budaya dan kebudayaan. Menggantikan dan lebih bermanfaat bagi wisatawan dari sekadar kegiatan mengejar-ngejar dan memberi makan merpati.
Ia layani perdebatan melawan pembela hak binatang dan hewan dengan menunjukkan kajian ilmiah akan persoalan yang dibawa ribuan merpati baik dari segi ketidaknyamanan, kesehatan dan kerusakan yang disebabkan olehnya.
Ia tempuh jalan legal –lewat peraturan daerah, peraturan walikota, dan pengadilan—untuk membatalkan dan menghapus lisensi (surat ijin) bagi penjualan makanan merpati di Trafalgar Square.
Persoalan terakhir ini menjadi kontroversi dan sangat merepotkan karena mematikan mata pencaharian sekelompok kalangan miskin. Apalagi bersangkut dengan salah satu reputasi Livingstone sebagai pejuang gigih kalangan miskin. Ia anggota Partai Buruh dan seorang sosialis-marxis garis keras hingga mendapat julukan Red Ken dari lawan-lawan politiknya.
ADVERTISEMENT
Setelah sempat dibawa ke pengadilan oleh para penjual makanan burung di Trafalgar Square, kesepakatan akhirnya dicapai di luar pengadilan. Pemerintah kota diharuskan membayar kompensasi sekali bayar untuk mereka yang sebelumnya mempunyai ijin berjualan makanan burung –beberapa diantara mereka sudah puluhan tahun menjalani profesi yang sama--.
Untuk selanjutnya penjualan makanan burung dilarang sama sekali. Ijin yang biasanya dikeluarkan tahunan, dihentikan.
Argumen Livingstone bahwa persoalan membersihkan Trafalgar Square bukan persoalan keberpihakan terhadap orang miskin tapi keberpihakan terhadap kepentingan/kemaslahatan umum diterima oleh semua pihak. Kalaupun dengan berat hati, para penjual makanan merpati yang harus kehilangan mata pencaharian juga menerimanya.
Livingstone sadar, ia Wali Kota London. Wali kota untuk semua warga. Bukan wali kota warga miskin atau wali kota warga kaya. Bukan wali kota warga kulit putih atau wali kota warga non-kulit putih. Bukan wali kota warga Kristen atau wali kota warga non-Kristiani. Kemaslahatan umum adalah pegangan utamanya. Bukan kemaslahatan sekelompok orang atau golongan tertentu saja.
ADVERTISEMENT
Apakah hal ini mudah bagi Livingstone? Kemungkinan tidak.
Tetapi pucuk pimpinan sebuah pemerintahan selalu dihadapkan pada persoalan pilihan-pilihan yang rumit. Livingstone tidak bisa mengecualikan diri.
Adalah dari pilihan-pilihan kebijakan yang diambil kemudian penilaian bisa dilakukan: Pertama, kualitas yang bersangkutan sebagai pimpinan. Kedua, --dan ini lebih penting lagi-- kualitas sebagai manusia.