Konten dari Pengguna

Komunisme Ini Begitu Menjemukan

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
23 September 2017 20:00 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komunisme Ini Begitu Menjemukan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
‘’Laput ya,’’ kata Budiono Darsono kepada saya saat rapat redaksi. Itu bukan permintaan tapi perintah agar bersiap menulis artikel untuk laporan utama.
ADVERTISEMENT
Tahunnya 1993. Akhir bulan September. Laporan utamanya apalagi kalau bukan tentang G30S PKI. Budiono Darosono adalah Redaktur Pelaksana Tabloid DeTIK, sementara saya salah satu redaktur.
Saat itu Perang Dingin baru saja selesai. Komunisme sedang menuju ambang kekalahan dan kebangkrutan. Uni Soviet sebagai pancang Blok Timur (Komunis) pecah tercerai berai tahun 1991. Diikuti oleh Yugoslavia, Cekoslowakia, dan berubahnya halauan politik negara-negara seperti Polandia, Bulgaria, dll.
Cina, raksasa komunis lain, bahkan sudah sejak 1979 malu-malu bergerak menjadi kapitalis. Kecuali sebutan dirinya, praktis ditahun 1993 Cina tak lagi bisa membendung perubahan menjadi sebuah negara kapitalis.
Dalam konteks perubahan geopolitik internasional saya sempat mempertanyakan di rapat redaksi apakah masih perlu membahas peristiwa tahun 1965 itu. Juga, ‘’Nggak bosan media membahas peristiwa yang sama setiap tahun?’’ saya menambah pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Saya selalu ingat kata Budiono Darsono, ‘’Yakinlah selalu ada yang baru. Itu peristiwa abu-abunya setengah mati.’’
‘’Kamu kan orang hubungan internasional. Justru lengkapi tulisanmu dari perspektif Perang Dingin. Buka itu buku-bukumu. Yang lain –segala sesuatu yang terkait dengan peristiwa 1965-- biar dicari anak-anak (reporter). Bukan bagianmu.’’
Harus diakui mengorek, membicarakan, dan menuliskan peristiwa itu selalu menarik. Dan benar, entah bagaimana selalu ada informasi baru yang membuat pandangan akan peristiwa itu berubah-ubah. Selalu sama tapi pada saat bersamaan selalu berbeda.
Benarkah ada keterlibatan CIA ataupun pihak Blok Barat? Benarkah ada keterlibatan Cina dan Blok Timur? Bagaimana PKI merancang gerakannya? Siapa saja tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu baik dari PKI maupun lawan politiknya? Posisi Angkatan Darat dan tokoh-tokohnya seperti apa? Bagaimana permutasi posisi politiknya? Saling intai dan saling memanfaatkannya seperti apa?
ADVERTISEMENT
Belum lagi merujuk ke kata bijak sejarah selalu ditulis oleh pemenang, apakah kita harus percaya dengan fakta yang ditulis oleh pemenang dalam peristiwa G30S PKI ini? Seperti apa versi yang kalah? Dan apakah versi yang kalah itu bisa dipercaya?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya terdaur ulang setiap tahun dan sepertinya mendapat jawaban berbeda-beda pula setiap tahunnya. Saya pribadi sebenarnya lebih senang menyerahkan persoalan-persoalan (sejarah) seperti ini kepada para ilmuwan untuk melakukan penelitian secara independent.
Tahun berikutnya kami, Tabloid DeTIK, tak sempat membahasnya lagi. Kami kena breidel di bulan Juni 1994 bersama majalah Tempo dan Editor.
Tapi tiga bulan kemudian kami kembali melahirkan sebuah penerbitan, Tabloid Simponi. Adalah kebetulan penerbitan pertama kami jatuh awal bulan Oktober, tidak jauh dari hari Kesaktian Pancasila. Lagi-lagi kami membahas persoalan G30S PKI.
ADVERTISEMENT
Saya ingat saat itu bersamaan dengan telah selesainya rentang masa kerahasiaan beberapa dokumen Amerika mengenai peristiwa 1965. Mereka yang tertarik boleh membukanya. Bahan-bahan baru itulah yang mendorong kami untuk membahas persoalan 1965 lagi.
Sekali lagi saya diminta untuk menulis laporan utama dan sekaligus mewancarai bekas diplomat Australia yang banyak bertugas di Asia Tenggara untuk mencocokkan beberapa temuan yang kami dapat. Ia kebetulan disebut banyak tahu akan apa yang terjadi.
Itulah satu-satunya edisi terbitan Simponi. Kami kembali kena breidel sesudahnya.
Sejak pembreidelan yang kedua itu, selama 20 tahun berikutnya saya tak lagi bekerja untuk media lokal. Dengan 18 tahun diantaranya bahkan tak tinggal di Indonesia.
Perhatian saya lebih banyak tertumpah ke persoalan-persoalan kebudayaan, percepatan perkembangan teknologi internet dan pengaruhnya terhadap media serta perilaku manusia, dan olahraga terutama sekali sepakbola.
ADVERTISEMENT
Begitulah yang saya kerjakan selama 20 tahun. Hingga ketika tiga tahun lalu saya pulang ke Indonesia. Kembali bekerja untuk media lokal.
Voila…… persoalan komunisme langsung kembali hadir layaknya matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat. Begitu alami. Begitu otomatis. Saya tak bisa mengelak.
September masih bulannya ramai membicarakan G30SPKI. Belum kunjung tuntas. Belum kunjung selesai. Setengah abad setelah peristiwa terjadi.
Isu bahaya laten komunis tak kunjung berhenti berhembus. Bahkan ketika ideologi ini bangkrut di seluruh dunia (dan menurut saya tak relevan untuk menjawab persoalan-persoalan dunia kontemporer).
Katanya, pemimpin A keturunan komunis.
Katanya, pemerintah diinfiltrasi kader komunis.
Katanya, anggota dewan legislatif banyak yang komunis.
Katanya, partai ini dan itu isinya aktivis komunis.
ADVERTISEMENT
Katanya, LSM X sesungguhnya kedok untuk para komunis.
Tiba-tiba saya merasa jemu sekali menjadi wartawan.