Manusia Pengembara

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
5 April 2021 8:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Untuk semua pengertiannya yang ruwet, pembagian periode waktu yang sesungguhnya tidak bisa berlaku mutlak, asosiasi istilah yang bisa positif atau negatif tergantung cara pandang dan konteks pembicaraan, zaman batu—neolitikum—menyisakan satu insting yang tak bisa hilang dalam evolusi kehidupan: Manusia pada dasarnya adalah pengembara.
ADVERTISEMENT
Ketika kita berbahasa dan mengatakan "seperti hidup di zaman batu", kita mengerti maksudnya terbelakang, tidak modern, bodoh, dan segala sesuatu yang bermakna ketinggalan zaman.
Tetapi zaman batu dalam konteks antropologi adalah salah satu periode paling revolusioner dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Sebuah lompatan maha besar. Awal mula ketika manusia perlahan bergerak dari pemahaman dirinya bagian dari alam menjadi penakluk alam. Dari hidup sesuai-serasi dengan kehendak alam menjadi memanfaatkan alam sesuai dengan kehendak manusia. Ketika ilmu pengetahuan dan bukan insting mulai menjadi pemandu kehidupan.
Anda tahu, sekitar 12 ribu tahun lalu manusia tiba-tiba bersalin perangai. Entah sebab utama apa yang memantik perubahan itu. Mereka memutuskan untuk tak lagi menjadi nomaden (pengembara) dan menjadi stationary (berdiam di satu tempat—menetap). Mereka tak lagi ingin menjadi pemburu dan memilih menjadi petani-peternak.
ADVERTISEMENT
Mungkin nenek moyang kita ini merasa sia-sia harus berburu bertaruh nyawa untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Mungkin mereka mulai enggan untuk terus berpindah-pindah mengikuti ke mana binatang buruan bergerak. Mungkin bosan harus berjalan berpuluh kilometer hanya untuk menemukan tetumbuhan yang bisa dimakan. Mungkin bertani hasilnya dirasa lebih menjanjikan—lebih pasti ketimbang berburu.
Disebut zaman batu untuk mudahnya karena para arkeolog menemukan alat-alat pertanian terbuat dari bebatuan yang digunakan untuk memotong, mencongkel, dan lain sebagainya dari zaman itu. Untuk membedakan pula dari zaman ketika manusia di kemudian hari mengenal dan menggunakan logam untuk membuat peralatan pertaniannya.
Bertani membuat nenek moyang kita mengenali tumbuhan pangan, merumpunkan, bercocok tanam, mengembangkan, dan mengontrol pertumbuhannya. Pun begitu dengan beternak. Mereka mulai mengenali binatang yang tidak berbahaya, bisa didomestikasi, dan menjadikannya sebagai pangan ataupun untuk membantu kehidupan.
ADVERTISEMENT
Perubahan dari berburu dan bertani menimbulkan tsunami konsekuensi sosial: Komunalitas termapankan, menjadi dasar bagi terbentuknya desa, kota, dan pada akhirnya negara. Merigidkan persoalan teritorial dan konsep kepemilikan. Mengharuskan adanya pengorganisasian sosial, norma (budaya), dan aturan (hukum).
Bertani dan beternak memang bertingkat-tingkat lebih sempurna ketimbang berburu dalam hal imajinasi. Bertani lebih didorong oleh aksi. Berburu lebih didorong oleh reaksi.
Karenanya bertani berbicara dalam dataran "bagaimana jika". Berkonsekuensi pada rekayasa untuk menjawabnya. Berpegang pada pemahaman keilmuan untuk melakukannya. Sebuah train of thought (deret pikir) dan train of action (deret tindak) yang masih kita gunakan hingga saat ini.
Tetapi sedemikian hebat apa yang dimulai di zaman batu hingga mampu mengubah cara hidup manusia secara radikal, ia tetap tak mampu menghapus insting manusia untuk menjadi pengembara. Sebuah trait (sifat-karakter-ciri) dari zaman berburu yang masih bertahan hingga kini. Pun ketika ia tak lagi membawa bobot survival di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Sampai-sampai ada istilah dalam bahasa Inggris yang diserap dari bahasa Jerman, wanderlust, untuk menggambarkan nafsu tak tertahankan untuk mengembara tanpa tujuan ini.
Dalam keseharian kita sering mengalami dorongan untuk keluar rumah untuk tujuan yang tak jelas. Kita kesulitan untuk menjelaskan mengapa ada dorongan ini. Bahkan ketika kebutuhan hidup bisa terpenuhi tanpa kita harus keluar dari rumah. Atau dorongan itu malah muncul semakin kuat ketika semua kebutuhan hidup sudah terpenuhi tanpa kita harus keluar dari rumah.
Dari yang hanya sekadar minum kopi di kafe hingga bepergian jauh menyeberang negara untuk melihat sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Dari yang berbungkus sekadar jalan-jalan tanpa tujuan dalam arti yang sesungguhnya—misal berkeliling kota—hingga berbungkus konsep liburan.
ADVERTISEMENT
Dari yang beralasan ritual-spiritual-kultural untuk menemukan jati diri seperti Rumspringa di komunitas Amish di Pennsylvania, Amerika Serikat; atau Walkabout di kalangan orang Aborijin, Australia; atau jalan kakinya orang Badui di Jawa Barat, hingga yang sedikit banyak masih membawa pemahaman survival macam konsep merantau di kalangan orang Minang.
Mengembara dilakukan oleh anak-anak hingga mereka yang dewasa. Dilakukan oleh mereka dari lingkungan masyarakat yang manapun juga.
Kalau saja trait pengembara itu ikut terhapuskan dalam proses perubahan dari pemburu menjadi petani, mungkin akan lebih mudah untuk mengendalikan pandemi COVID-19 saat ini. Tidak setiap kali ada sedikit waktu libur agak panjang, semua orang tak tahan untuk segera keluar dari rumah masing-masing. Apapun risikonya. Seperti laron yang harus keluar dari sarangnya ketika hujan reda, berterbangan tak tentu arah menuju kematian.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.