Mati dalam Hidup

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
20 Januari 2020 18:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "Mati dalam Hidup" oleh Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "Mati dalam Hidup" oleh Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Hanya diperlukan waktu tak lebih dari lima belas menit oleh anak saya untuk mempelajari editing suara dan film lewat komputer. Sepuluh tahun sebelumnya saya harus kursus dua minggu untuk berada di level yang sama.
ADVERTISEMENT
Sementara saya kursus dua minggu atas nama pekerjaan dan profesi untuk menyambung hidup, apa yang dilakukan anak sekadar untuk bersenang-senang demi mengisi konten media sosial yang menurut saya tidak jelas juntrungannya tetapi penting untuk kehidupan sosial anak saya. Beda sekali "keharusannya".
Generasi anak saya tinggal duduk di depan komputer untuk bisa menulis menggunakan apa pun program yang tersedia di dalamnya. Begitu saja mereka paham dengan instruksi yang ada. Dua puluh lima tahun sebelumnya, kami sampai harus ada kursus lengkap dengan sertifikat kelulusan untuk sekadar menjelaskan bisa menggunakan program sederhana bernama MS-Word.
Generasi saya adalah generasi analog. Kami harus bermigrasi, belajar lagi, menyesuaikan diri, mengubah cara berpikir untuk bisa hidup di dunia digital.
ADVERTISEMENT
Masyarakat, kata filsuf asal Kanada Marshall McLuhan, selalu dibentuk oleh medium yang digunakan manusia ketimbang isi pesan yang disampaikan.
"Abjad, sebagai misal, adalah teknologi—medium—yang diserap tanpa sadar sama sekali oleh anak-anak," kata McLuhan. Karenanya, "Kata dan arti kata akan secara otomatis mendikte anak-anak untuk berpikir dan bertindak secara spesifik."
Hal ini menjelaskan mengapa segala sesuatu yang ditawarkan oleh komputer merupakan sebuah kesulitan yang harus diatasi dan dipelajari sebelum bisa menjadi alat yang berguna bagi generasi saya, tetapi menjadi sesuatu yang alami sifatnya untuk generasi anak-anak saya.
Komputer dan abjad bukan hanya menentukan cara dan perilaku manusia berkomunikasi, ia ikut memberi makna atas pesan yang disampaikan dan bagaimana manusia menerjemahkannya.
Abjad dan komputer bisa kita ganti dengan yang namanya isyarat, suara, bahasa, gambar, foto, film, buku, birokrasi, dan segala macam "teknologi" temuan manusia. Semuanya adalah semata medium untuk berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Setiap generasi akan mempunyai keterikatan (attachment) dengan medium yang membesarkannya. Musik dan lagu yang membesarkannya. Model pakaian yang ia kenakan. Logika berbicara yang ia gunakan. Apa pun yang dibawa dan digagas oleh generasi tersebut.
Bukan sesuatu yang mengagetkan kalau generasi orang tua saya tidak paham, kesulitan untuk menggunakan, dan akhirnya enggan memakai yang namanya media sosial. Media sosial itu satu peradaban terlalu jauh buat mereka.
Di kalangan sesama pengguna media sosial saja kita mengerti ada semacam pembagian generasi. Pengguna Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat dan segala macam platform media sosial memperlihatkan usia dan kedewasaan penggunanya yang berbeda-beda. Pengguna Facebook dan Snapchat sebagai contoh mempunyai orientasi sosial, cara berpikir, dan perangai yang sangat berbeda. Pengguna Facebook akan sangat terasing di dunia Snapchat, begitupun sebaliknya. Padahal usia media sosial baru satu generasi, belum lebih dari 20 tahun.
ADVERTISEMENT
Saya pernah membaca tulisan sangat menyentuh yang ditulis oleh rekan Wicaksono—sangat terkenal di dunia maya Indonesia dengan nama @ndorokakung—tentang seorang tua menolak menggunakan e-banking dan lebih memilih untuk bersusah payah datang ke bank guna mengurus uang pensiunnya.
Konon sang bapak tua melakukannya karena alasan untuk mempertahankan kenormalan hidup. Agar tetap bisa bersinggungan dengan manusia lain, berhadapan muka, dan berbincang. Bertahan melawan sebuah diri yang terasing. Bertahan di dunia yang sudah tidak lagi relevan bagi dirinya dan ia tidak relevan bagi dunia.
Bapak tua itu pasti akan kalah pada akhirnya. Pelan tapi pasti dunia akan bergerak meninggalkannya. Karena peradaban baru selalu menghancurkan tatanan peradaban sebelumnya tempat ia dilahirkan.
Cara ber-perbankan dan birokrasi yang menyertainya akan digantikan oleh yang baru sesuai perkembangan teknologi. Hingga pada titik bapak tua itu tidak punya pilihan lain untuk total mengikutinya tetapi akan terasing seterasing-terasingnya.
ADVERTISEMENT
Bapak tua itu seperti seseorang yang hidup di masa sekarang menggunakan perangkat—konsep, cara berpikir, paradigma, dan peralatan—dari masa yang telah lewat.
Bisa dimengerti kalau ada yang melihat kematian adalah sebuah necessary evilselintas kejam tetapi sesungguhnya manusiawi. Pelepasan dari derita ketika kita menjadi tidak relevan lagi di dunia. Pelepasan ketika berkomunikasi sudah menjadi sulit. Pelepasan dari mati dalam hidup.