Mengapa Saya Enggan Mengadakan Kelas Menulis

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
29 Juni 2020 8:48 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Ada yang bertanya mengapa saya tidak mengadakan kelas menulis (online) seperti yang belakangan sedang ramai menjamur.
ADVERTISEMENT
Jawaban pendeknya, tidak pernah kepikiran sama sekali.
Jawaban panjangnya, ada beberapa sebab.
Pertama, saya suka menulis tetapi tidak bisa dikategorikan sebagai penulis. Saya tidak menggantungkan kehidupan di bidang ini. Menulis hanyalah sebagaian dari tuntutan pekerjaan yang saya tekuni sebagai wartawan.
Kalau ukurannya buku, maka hingga seumur saya yang sudah lebih setengah abad ini, baru ada satu buku yang terbit atas nama saya. Cuma sekumpulan tulisan mengenai sepakbola Inggris. Itupun dibukukan karena ada beberapa teman-teman menganggapnya pantas.
Saya minder kalau hanya dengan satu buku itu kemudian menjadi bekal untuk mengajari orang lain. Saya merasa tidak cukup punya pedigree.
Kedua, bekal kemampuan berbahasa tidak cukup. Terutama persoalan tata bahasa. Tata bahasa bagi saya merupakan cerminan kemampuan seseorang menata runtutan logika dan imajinasi. Mutlak diperlukan oleh seorang penulis.
ADVERTISEMENT
Saya tidak pernah tekun mempelajarinya. Malas. Sehingga kemampuan menulis saya mentok. Kemampuan berabstraksi minim. Diksinya itu-itu saja.
Kemampuan menulis yang saya punya—kalaupun dikategorikan mampu, saya dapat karena meniru dari tulisan-tulisan dan buku yang pernah saya baca.
Saya bisa bercerita tentang pengalaman saya belajar menulis, proses yang saya lalui ketika melakukan penulisan, tetapi terlalu berani kalau hingga taraf mengajari menulis.
Kalaupun berpretensi untuk mengajari, saya tahu tidak akan menjadi guru yang bagus. Akan seperti menipu diri sendiri dan menipu yang saya ajari.
Ketiga, karena sebab yang kedua, menulis bagi saya adalah proses yang menyiksa. Selalu kesulitan untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Selalu kesulitan untuk menemukan kata yang tepat. Selalu kesulitan menata bahasanya. Selalu kesulitan merunutkan logika.
ADVERTISEMENT
Akibatnya saya membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan satu tulisan. Tidak pernah lancar. Lamban sekali. Bahkan untuk tulisan-tulisan pendek.
Saya enggan mengajarkan penyiksaan diri semacam ini kepada orang lain.
Keempat, menulis (atau menjadi penulis) itu sebuah tindak attention seeking (cari perhatian) yang sadomasokis.
Ketika kita menulis maka kita membuka apa yang ada dalam benak, dalam hati, angan-angan, perasaan, keinginan, pikiran, dan segala hal yang pribadi untuk menjadi konsumsi publik. Tulisan—fiksi atau nonfiksi—adalah inner sanctum si penulis yang didedahkan ke publik, ke mereka yang bahkan tidak dikenal oleh si penulis.
Reaksi publik tidak bisa kita kontrol. Akan menyenangkan ketika publik murah puji. Sebaliknya, risiko murah cerca dan murah kritik selalu ada.
ADVERTISEMENT
Publik yang tentu saja hanya mengenal kita dari tulisan-tulisan kita, akan mendefinisikan persona kita berdasar tulisan-tulisan yang ada dengan sesuka hati mereka. Kita bisa mengatakan pendefinisian itu tepat, tidak tepat, salah, benar, tetapi tidak ada gunanya. Persona kita sebagai manusia sudah bukan lagi milik kita ketika inner sanctum itu didedahkan ke publik.
Siapa orang yang berakal sehat dengan sukarela—menyorong-nyorongkan diri malah—mau dibegitukan oleh yang tidak mereka kenal?
Saya tidak ingin membantu menjerumuskan orang untuk melakukan tindak tersebut.
Kelima, "Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah," kata Pramoedya Ananta Toer.
Berasa romantis dan benar adanya.
Tetapi untuk setiap satu Pramoedya, kemungkinan ada belasan, puluhan, bisa jadi ratusan Fulan dan Bahlul yang timbul tenggelam tak karuan nasibnya karena ingin menjadi penulis.
ADVERTISEMENT
Itu berlaku untuk setiap satu nama besar lain yang ada.
Sejarah mungkin mencatat Pramoedya, tetapi dengan menulis bukan lalu sejarah secara otomatis akan mencatat keberadaan kita. Ada banyak komponen lain di samping tulisan kita memang bagus untuk agar sejarah rela mencatatnya.
Kalaupun kita menulis bukan untuk alasan agar dicatat sejarah, tetapi untuk sekadar bersenang-senang mengekspresikan diri, tak masalah. Tetapi saya selalu teringatkan alasan keempat dalam tulisan ini.
Kalau menulis untuk alasan finansial—dalam pengertian menggantungkan hidup hanya dari menulis, saya termasuk yang segera mundur dari pilihan itu.
Pada satu ketika saya termasuk orang yang bercita-cita menjadi penulis. Tetapi melihat bagaimana rata-rata kehidupan generasi penulis di atas saya yang saya kenal, segera cita-cita itu saya matikan. Mungkin saya yang tak tahan banting. Mungkin saat itu saya ketakutan sendiri dengan bayangan akan masa depan—sebagai penulis rata-rata dan biasa—yang dalam perhitungan dari sisi finansial tidak terlalu cerah.
ADVERTISEMENT
Saya hanya tidak ingin ikut meromantisir profesi penulis. Saya tidak ingin ikut memantik api dalam sekam cita-cita orang untuk menjadi penulis dengan mengadakan kelas penulisan.
Alasan terakhir, tetapi ini yang paling mengkhawatirkan, adalah mengadakan kelas menulis tetapi ternyata tidak ada yang berminat. Celaka dua belas namanya. Pukulan yang akan membuat saya koma karena karena malu. Saya tak yakin akan bisa bangkit lagi.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan