Konten dari Pengguna

Mengapa Sekarang kumparan

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
9 Oktober 2017 14:22 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yusuf Arifin (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Yusuf Arifin (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Salah satu dari sekian banyak pertanyaan ketika saya memutuskan untuk pulang ke Indonesia dari Inggris adalah: mengapa?
ADVERTISEMENT
Pekerjaan saya di Manchester City sebagai Executive Media menyenangkan. Mapan. Dan berada di sebuah klub (perusahaan) yang sedang berkembang pesat.
Saya mengawali peluncuran situs berbahasa Indonesia klub itu termasuk merancang strategi menarik dan mengembangkan keterlibatan supporter klub di Indonesia ke situs itu.
Usaha itu boleh dikata berhasil, tinggal mengembangkan, dan menjaganya.
Ada beberapa alasan pribadi yang tak bisa saya ceritakan. Tetapi secara umum saya kangen Indonesia setelah belasan tahun di Inggris. Dan--alasan bukan untuk dicie-ciein--mumpung belum terlalu tua, ingin menyumbangkan sesuatu--entah apa--untuk Indonesia.
Pucuk dicinta ulam tiba. CEO detikcom saat itu, Budiono Darsono, menawari pulang untuk menjadi Pemimpin Redaksi CNNIndonesia.com. Ia diminta Pak Chairul Tanjung yang memegang lisensi CNN di Indonesia untuk membangun versi Indonesia dari media internasional itu.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan mengapa muncul lagi ketika dua tahun setelah memegang CNNIndonesia.com saya memutuskan mundur dan bergabung dengan kumparan.com.
Lagi-lagi hal kemapanan, menyenangkan, dan mengawali sejak awal disebut.
Kali ini lebih sulit menjawabnya.
Tetapi begini.
Adalah Hugo Diba, bos marketing dan sales detikcom saat itu, yang dalam berbagai percakapan informal mengeluhkan kemacetan inovasi di dunia media online di Indonesia.
Rupanya ia juga mengeluhkan hal yang sama ke banyak teman entah untuk alasan apa. Ia selalu bertanya kepada siapapun yang diajak bicara (dan juga berkesimpulan nadanya): apakah inovasi dunia digital di Indonesia saat ini sudah cukup?
Inti keluhannya adalah bahwa sejak 1997/1998 semua media online di Indonesia praktis meniru model dan standar detikcom. Baik untuk persoalan jurnalistik maupun inovasi fiturnya.
ADVERTISEMENT
Celakanya, model dan standar itu dibuat saat media sosial belum mendominasi kehidupan. Bahkan ketika media sosial belum ada sama sekali.
Ini persoalan besar yang harus diantisipasi. Apalagi ketika data menunjukkan--baik atau buruk--media sosial telah mengambil alih peran persebaran informasi.
Ketika orang berbicara senjakala media cetak, mungkin yang juga perlu dibicarakan adalah senjakala media online.
Tetapi mengantisipasi persoalan ini bukanlah mudah. Diperlukan paradigma baru. Bukan sekadar dari sisi teknologi. Tetapi juga pendefinisian ulang apa yang disebut informasi-berita dan cara persebarannya. Serta yang tak kalah penting, mendudukkan posisi wartawan dan media sebagai sebelumnya satu-satunya broker informasi dan berita, menjadi hanya salah satu di antaranya.
Ketika akhirnya kumparan dibuat, salah satunya adalah untuk menjawab persoalan-persoalan besar tadi, tentu tidak ada jaminan bahwa kemudian akan berhasil.
ADVERTISEMENT
Sematang apapun konsep, sesempurna apapun proyeksi, sedetil apapun rencana, selalu ada penyesuaian dan adaptasi. Selalu ada elemen ketidakpastian mengintai diam-diam.
Kekhawatirannya selalu sama, akan berhasil atau tidak.
Namun percayalah, ketidakpastian adalah juga sebuah gairah. Ada degup sulit terlukis.
Saya merasakan persis seperti ketika jatuh cinta, melakukan pendekatan, dan bertanya mengajukan ‘’pinangan’’: maukah kau jadi pacarku?
Saya takluk. Tak berdaya. Tawaran untuk menjawab tantangan dunia media online terbaru dan kegairahan yang ditimbulkan itu terlalu sulit untuk saya tolak.
Harap hati #kumparanadalahjawaban. Itu harus diupayakan agar tak mati penasaran. Itu sebab saya #sekarangkumparan.