Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pampasan Kematian
11 Mei 2020 11:47 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terpojok, kelelahan, dengan tinggal belasan anak buah mengikutinya, dilupakan oleh mereka yang pernah dibantunya, gagal mengobarkan revolusi Marxist serupa Kuba di Bolivia, Che Guevara ditangkap dan dieksekusi di kota kecil La Higuera pada tanggal 9 Oktober 1967.
ADVERTISEMENT
Sembilan hari sesudah kematiannya, Fidel Castro menggelar pertemuan rakyat terbesar dalam sejarah Kuba di Havana untuk mengenang Che.
"Ringan tangan dalam bertindak, intelektual, moral tanpa cemar, sensitif dengan penderitaan orang lain, dan pembawaan diri tanpa cela," kata Castro dalam pidatonya tentang Che.
Dan di akhir pidato, "Dari hati kami yang paling dalam sebagai revolusioner sejati, kami ingin semua anak-anak Kuba untuk menjadi seperti Che."
Semenjak itu, "Pionir komunisme. Kami akan seperti Che," terdengar diteriakkan anak-anak setiap pagi sebelum sekolah dimulai.
Castro cerdik. Ia mungkin terpaksa menasbihkan Che sebagai "santo"-nya kaum revolusioner (Marxist)—tak ada kaum marxist yang percaya santo tentu saja—lewat penggambaran yang hiperbolik. Tetapi dengan itu, ia memberi imaji yang mudah kepada anak-anak Kuba untuk membayangkan seperti apa revolusioner marxist dan komunisme itu: Lihat dan tiru saja Che.
ADVERTISEMENT
Castro melestarikan komunisme tanpa perlu suntuk mencekoki anak-anak dengan persoalan ideologi, dialektika materialisme, perjuangan antarkelas, dan hal-hal rumit lainnya. Ia cukup menciptakan satu sosok untuk dikagumi dan ditiru.
Tak dipungkiri kalau Castro merumuskan sosok Che sesuai dengan kepentingannya. Disesuaikan dengan keperluan dan yang ia angankan. Manipulatif.
Tetapi itu jamak dilakukan oleh kita yang hidup kepada yang mati.
Gajah Mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama-reputasi-sejarah-harta. Sepertinya peribahasa bijak. Sebuah peringatan agar manusia menjalani hidup dengan benar. Karena apa lagi yang bisa kita tinggalkan ketika mati kecuali nama yang harum, reputasi yang bersih, catatan sejarah yang baik, dan (mungkin) harta yang berguna.
Tetapi di sisi lain, untuk siapa itu semua kita tinggalkan kecuali untuk dimanfaatkan oleh mereka yang hidup. Dan yang mati tidak punya lagi kemampuan untuk mendikte bagaimana semua itu dimanfaatkan.
ADVERTISEMENT
Semua yang kita tinggal ketika mati tak lebih pampasan untuk yang hidup kata penyair Amerika, Robert Frost, dalam Spoils of the Dead.
But I recognised death
With sorrow and dread,
And I hated and hate
The spoils of the dead.
Di awal sajak ia menggambarkan kematian sebagai kedamaian yang romantis dan personal. Tentang peri, hutan, bunga, musim panas yang hangat, dan lembut-empuknya tempat berebah.
Tetapi ia menutupnya dengan ketika mengenali sisi lain kematian (but I recognised death); lalu galau dan nelangsa (with sorrow and dread); bahkan memendam kebencian yang sangat (and I hated and hate); membayangkan bagaimana orang akan memanfaatkan apa yang ia tinggalkan (the spoils of the dead). Karena (ia) yang mati tak lagi bisa bisa berbuat apa-apa kecuali mendekap sunyi.
ADVERTISEMENT
Didi Kempot sepanjang hidup dan kariernya bersuara tentang pengalaman batin orang miskin yang patah hati-putus cinta. Dan itu sebuah kesengsaraan yang khas. Melankolis dan melodramatis tingkat akut. Mendekati absurd. Seabsurd—tetapi entah mengapa seperti terasa pas dan nyaman—pernyataan katarsis Didi Kempot: Patah hati, jogetin saja.
Sulit membayangkan mereka yang tak punya pengalaman kultural sebagai orang yang terpinggirkan, miskin, dan hidup susah bisa mempunyai koneksi batin dengan lagu-lagunya. Untuk menjogetin saja badan dan hati yang sedang remuk redam.
Itu sebab saya terkejut dengan begitu banyaknya mereka dari kalangan elite yang (berlomba-lomba) mengesankan dirinya sebagai penggemar berat Didi Kempot ketika yang bersangkutan meninggal. Yang benar saja. Didi Kempot "tidak pernah menciptakan lagu dan bernyanyi untuk mereka".
ADVERTISEMENT
Tentu saya mengerti pernyataan populer, lagu itu universal dan bisa menyentuh siapa saja. Tetapi tanpa pengalaman batin untuk menyelaminya?
Samar-samar saya melihat simpul-kait apa yang dilakukan Fidel Castro dengan Che Guevara-nya, kegalauan Robert Frost di Spoils of the Dead-nya, dan kalangan elite yang mencoba mengesankan mereka penggemar lagu-lagu Didi Kempot.