Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Peluang Membuka Culas
29 Januari 2017 13:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang teman iseng. Ia naik layanan taksi berbasis online yang saya pesankan. Dan setelah sampai tujuan ia bertanya, "Berapa yang harus saya bayar?"
ADVERTISEMENT
Teman ini tahu persis bahwa ongkos perjalanan sudah saya bayar lewat kartu kredit. Tapi ia ingin bereksperimen. Ia ingin tahu bagaimana orang bereaksi ketika godaan untuk berbuat culas datang.
‘’Sebentar pak, ini sistemnya lagi agak ngadat,’’ jawab sang pengemudi. Mungkin ia terkejut dengan pertanyaan itu dan dengan segera memutar akal mengulur waktu untuk memanfaatkan situasi yang tidak disangka ini.
Setelah beberapa saat menekan-nekan tombol HP, berkali-kali berdesah seolah jengkel, akhirnya dia berkata, ‘’Saya membandingkan dengan layanan saingan ini Pak, kira-kira ongkosnya sekian.’’ Ia tunjukkan angka yang tertera di HP.
Teman saya menatap pengemudi itu. Dengan sorot ekspresi yang wajar. Tidak menuduh. Pun tidak dengan tatapan ‘’saya tahu kamu curang’’.
ADVERTISEMENT
Ia keluarkan uang senilai yang diminta. Berterima kasih. Lalu turun.
Teman saya menceritakan hal ini kepada saya setelah sekian bulan peristiwa terjadi. Tidak seketika.
Ia enggan membayangkan konsekuensi yang harus dihadapi bapak pengemudi untuk eksperimen yang sebetulnya tak perlu itu. Ia tahu saya pasti akan bersedia berpanjang-panjang berurusan dengan perusahaan bersangkutan.
Saya –juga teman saya– tentu tidak tahu apakah dalam kehidupan sehari-hari bapak pengemudi ini jujur, baik hati, atau memang berhati culas dan jahat.
Kami juga tidak tahu situasi yang sedang dihadapi bapak pengemudi ini. Mungkin sedang didesak kebutuhan yang tak tertanggungkan. Mungkin ya kesehariannya memang seperti itu.
Kami bukan hakim dan juga bukan algojo untuk urusan karakter bapak pengemudi itu.
ADVERTISEMENT
Yang kami tahu dengan pasti—dan kesimpulan yang kami ambil—hanyalah ketika kesempatan untuk terjadinya perbuatan culas terbuka, yang bersangkutan mengambilnya.
Kalau saja teman itu mengatakan semuanya sudah dibayar oleh saya, selesai semuanya. Tak ada keculasan. Tak ada kecurangan. Semuanya hitam putih. Semuanya tercatat dalam sistem di komputer.
Sebuah eksperimen yang sederhana. Spontan. Tidak ilmiah. Tapi susah untuk tidak membuat kesimpulan kami menjadi dasar perbincangan selanjutnya: soal Mahkamah Konstitusi, DPR, politik di Indonesia, pendidikan, pilkada DKI, dan segala macam rupa persoalan di kolong langit ini.
Anda pasti mengerti apa yang saya maksudkan.