Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Rekayasa Sosial
18 Januari 2021 9:13 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lenin dan diteruskan Stalin melakukannya ketika berusaha mewujudkan Manusia Soviet; Mao Tse Tung ketika melancarkan Revolusi Kebudayaan-nya; Pol Pot ketika me-reset peradaban dengan program Tahun Nol-nya.
ADVERTISEMENT
Ketiganya bermimpi menciptakan sebuah masyarakat yang adil dan beradab berdasar altruisme ideal. Mereka melakukan rekayasa sosial dengan sistem seleksi dan eliminasi ekstrem yang memaksa orang tak punya pilihan lain kecuali mengikutinya.
Dalam pelaksanaannya, alih-alih mewujudkan tatanan sosial adidaya dan sosok manusia ideal, ketiganya malah seperti mengkhianati yang mereka gagas. Kesemuanya gagal. Kesemuanya berakhir tragis. Kesemuanya memakan korban jutaan manusia.
Rupanya kontrol mutlak—dari satu pihak ke pihak lain dan dari yang kuat ke yang lemah—yang menjadi prasyarat dalam rekayasa sosial berlawanan dengan kodrat kemanusiaan. Tidak natural. Tidak organik. Dan selalu berujung pada penyelewengan-penyalahgunaan.
Berbeda dengan eksperimen-rekayasa laboratorium yang terjadi dalam hukum-hukum kepastian benda/zat, rekayasa sosial mempunyai terlalu banyak elemen yang tidak bisa dikendalikan dan reaksi-reaksi yang tidak bisa dirumuskan secara pasti atas sebuah aksi.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti benda/zat yang taat hukum—baik hukum yang berlaku buat dirinya sendiri atau yang berhubungan dengan benda/zat lain—manusia adalah makhluk anarki. Manusia taat dengan hukum alam tetapi dalam berhubungan dengan sesama ia menciptakan hukumnya sendiri.
Ia akan terus berusaha menemukan keseimbangan yang adil ketika berhadap-hadapan dengan kepentingan satu sama lain. Selalu bergerak menuju sebuah dataran kompromi yang bisa diterima semua pihak. Dan setiap kali keseimbangan itu terganggu, setiap kali pula ia lentur dan otomatis akan mencari upaya koreksi hingga keseimbangan yang adil tercapai kembali.
Rekayasa sosial yang dilakukan Lenin-Stalin, Mao Tse Tung, dan Pol Pot gagal karena tentu saja mereka tidak bisa mengontrol reaksi atas aksi yang mereka lakukan, tidak adil, dan di atas segalanya sebuah pemaksaan.
ADVERTISEMENT
Saya kira ini sebuah assessment yang masuk akal, cukup memuaskan, dan bisa diterima. Hingga kemudian datang pandemi COVID-19.
Kita semua tahu pandemi kali ini menghadirkan situasi yang unik sekaligus menyedihkan. Dipaksa keadaan—jumlah vaksin terbatas, penyebaran belum tertanggulangi, terus terjadinya mutasi virus, jumlah yang meninggal terus bertambah—pemerintah (negara manapun) harus mengambil sikap memprioritaskan kalangan tertentu dari warganya untuk divaksinasi.
Dalam skenario yang ekstrem artinya pemerintah harus memberi kesempatan hidup yang lebih tinggi –dengan asumsi bahwa vaksin merupakan bentuk perlawanan paling efektif atas virus yang ada— kepada kalangan tertentu itu. Pertimbangan siapa kalangan yang diprioritaskan mau tak mau sangat tergantung pada visi kehidupan seperti apa yang dibayangkan oleh pemerintah.
Saya tidak bisa menghapus bayangan akan rekayasa sosial semacam yang dilakukan oleh ketiga tokoh yang saya sebut di atas. Bedanya hanya satu, yang satu didorong oleh sebuah idealisme sementara yang satunya disetir oleh keadaan yang tak terhindarkan. Kalaupun ada beda lagi, yang satu dihadapkan pada pilihan untuk melakukan atau tidak sementara yang satu dihadapkan pada necessary evil.
ADVERTISEMENT
Saya tentu saja berharap dunia tidak akan sampai pada tahap yang demikian. Berharap entah bagaimana dunia akan mempunyai cukup banyak vaksin atau obat atau menemukan cara ampuh untuk menanggulanginya.
Tetapi pertanyaan siapa yang berhak untuk mendapat vaksinasi lebih dari yang lain mulai menghantui banyak orang (negara) dan selalu ramai dibicarakan. Pertimbangan seperti apa yang semestinya dipakai sebagai ukuran. Dus lagi-lagi persoalan rekayasa sosial mengemuka di pikiran.
Kami sekeluarga—saya, istri, dan anak—termasuk yang tidak beruntung dalam persoalan vaksin COVID-19. Saya dan istri mempunyai penyakit bawaan yang sejauh ini tidak memungkinkan divaksinasi. Sementara anak tinggal di negara yang mempunyai kebijakan untuk memprioritaskan vaksinasi kepada mereka yang rentan dan lanjut usia. Ia bercerita kemungkinan paling cepat mendapatkan vaksin adalah di bulan September, dengan catatan penyediaan vaksin lancar dan segala sesuatunya berjalan baik.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks skema besar rekayasa sosial dan COVID-19 ini kami sekeluarga adalah kelompok yang harus berjuang sendiri untuk bisa selamat. Kami tak punya pilihan kecuali untuk sementara yang bisa kami lakukan adalah menjaga diri kami sebaik-baiknya dan banyak-banyak berdoa. Semoga kami dan anda semua yang masuk dalam kategori seperti kami akan baik-baik saja.
Mengenai persoalan rekayasa sosial dan lain-lain itu, sudahlah kami mencoba pasrah. Terserah. Ngrepotin pikiran dan menurunkan imunitas saja kalau memikirkannya.
Kalau sekali-sekali kepikiran, seperti tertuang dalam tulisan ini, ya apa boleh dibuat, namanya juga khawatir.