Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Semua Akan Anarkis pada Waktunya
22 April 2019 17:28 WIB
ADVERTISEMENT
Tidakkah semestinya perdebatan-saling serang di media sosial berhenti dan bukan justru meningkat intensitasnya usai pengambilan suara dan penghitungannya di pilpres ini?
ADVERTISEMENT
Tidakkah semestinya pemberian suara (di pilpres) yang kita lakukan adalah proses akhir dari sebuah pertarungan?
Tidakkah semestinya kita duduk manis membiarkan mesin-mekanisme-otoritas menjalankan tugas tanpa direcoki opini partisan?
Di era media sosial rupanya jawaban atas ketiga pertanyaan itu adalah tidak. Dan bukan tanpa alasan.
Media sosial adalah medium miskin etika dan nyaris tanpa badan arbitrase yang bisa menengahi atau mencegah orang untuk mengunggah apapun yang dia mau secara bertanggung jawab. Seperti jamban pembuangan kotoran tanpa saringan (atau saringannya diserahkan kepada tingkat kesopanan dan ukuran kepantasan masing-masing).
Media sosial adalah medium yang memungkinkan kita untuk menyebar sesuatu hal yang paling tidak masuk akal sekalipun ke khalayak tanpa rem pencegah. Selama ada gaung percakapan atau cukup banyak orang membicarakannya, sesuatu hal itu akan menyebar. Seperti bau jamban kotoran yang akan menyesap dan menyebar kemana-mana ketika jamban sudah penuh.
ADVERTISEMENT
Media sosial adalah belantara anarkisme yang bisa membuat lumer nalar yang paling sehat sekalipun. Lewat terciptanya percakapan yang masif —dan kecenderungan psikologis: kalau dibicarakan oleh orang banyak maka pasti benar adanya atau setidaknya ada apa-apanya— media sosial mampu mendelusi fakta (realita) obyektif menjadi sekadar opini-persepsi atau bahkan konspirasi.
Dengan karakter media sosial yang seperti ini, mudah ditebak kalau pertarungan seputar pilpres terus berlanjut atau bahkan meningkat intensitasnya di media sosial selama proses penghitungan suara berlangsung. Kemungkinan pertarungan di media sosial juga tak akan selesai ketika penghitungan suara sudah final nantinya. Karena keperluan utamanya adalah berebut opini dan persepsi untuk membentuk fakta dan realita dan bukan sebaliknya.
Contoh sederhananya begini. Muncul persepsi bahwa pemerintah tidak ramah terhadap Islam, melakukan tindak kriminalisasi ulama, dan tebang pilih dalam menjalankan penegakan hukum. Apakah benar demikian menjadi tidak penting. Kalaupun fakta obyektif tidak demikian juga tidak penting.
ADVERTISEMENT
Yang penting ada kasus yang bisa diekstrapolasi menjadi seolah hal yang general untuk membangun persepsi yang diinginkan. Cukup untuk menjadi bahan pergunjingan yang ramai dan luas. Menebar ragu ketika dirasa perlu.
Pembangunan infrastruktur adalah contoh lain. Jargon Indonesia sentris dan bukan Jawa sentris untuk meratakan pembangunan dipilin sedemikian rupa menjadi perbincangan pemerintah saat ini sebagai pengutang terbesar dalam sejarah Indonesia dan lebih buruk lagi demi kepentingan asing. Kalaupun data para ekonom menunjukkan itu tidak benar, tidak penting. Yang penting persepsi itu (di sebagian kalangan) terbentuk.
Tetapi bagaimana kita tahu bahwa opini dan persepsi itu yang kemudian membentuk realita dan bukan sebaliknya. Bagaimana mengukurnya?
Salah satunya adalah membandingkan antara angka tingkat kepuasan publik atas kinerja petahana saat ini dengan angka yang diraih berdasar quick count pilpres —ukuran sementara sejauh ini— berbagai lembaga riset dan survei yang ada di Indonesia. Walau tidak berbanding terbalik tetapi jelas ada gap yang cukup menarik perhatian.
ADVERTISEMENT
Pukul rata kepuasan publik atas kinerja petahana yang dilakukan oleh lembaga-lembaga riset dan survei di Indonesia selama bulan Januari, tiga bulan sebelum pilpres, berkisar antara 65%-70%. Tetapi angka yang didapat petahana di pilpres berdasar quick count dari lembaga-lembaga riset dan survei itu pukul rata hanya sekitar 54%. Artinya ada 11% pemilih yang menggunakan hak suaranya mengaku puas dengan kinerja petahana tetapi memilih untuk tidak memilihnya kembali.
Saya berasumsi bahwa pemilih menjatuhkan pilihan bukan semata berdasar kepada realita obyektif tetapi persepsi yang terbentuk akan petahana. Dan kecurigaan saya, persepsi itu terbentuk lewat beredarnya informasi/disinformasi yang terjadi di media sosial.
Apakah ini kemudian berarti kubu petahana lalu bersih tidak melakukan perlawanan atau tindakan serupa? Saya akan sangat terkejut kalau tidak.
ADVERTISEMENT
Itu sebab pertarungan di media sosial mengenai persoalan pilpres ini belum akan selesai. Masih jauh. Toh persepsi ternyata bisa sama kuatnya dengan realita (obyektif).