Konten dari Pengguna

Tabloid Detik 26 Tahun Lalu

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
22 Juni 2020 10:45 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Kabar itu datang sore hari menjelang malam 21 Juni 1994. Tabloid Mingguan Detik tempat saya bekerja, bersama majalah Tempo dan Editor, dibreidel pemerintah.
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu bagaimana suasana di Tempo dan Editor mendapat kabar itu. Tetapi di Detik, keputusan breidel yang disampaikan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko itu kami sambut dengan sikap yang culun: Antara tertawa-tawa, keheranan, tidak tahu harus berbuat apa, dan bergumam "Serius amat pemerintah menanggapi kami ini."
Sebagian besar awak Detik adalah pemuda ndeso dari daerah dengan segala atribut ke-katrok-an dan kegamangannya hidup di Jakarta, semuanya lajang, sebagian belum lulus kuliah, sebagian baru lulus kuliah, dan sepertinya tidak akan pernah bisa diterima bekerja kalau mendaftar ke lembaga (apa pun) yang mapan-mapan. Sehingga kami sendiri tidak terlalu menganggap serius diri kami.
Saya masih ingat ejekan yang kami terima di awal-awal menerbitkan Detik dari sesama media. Menyindir kemampuan menulis kami yang minim. Bolong-bolong melakukan investigasi. Tidak menguasai teknik jurnalistik yang benar.
ADVERTISEMENT
"Semacam pers mahasiswa. Pamflet. Cocok untuk pembaca dari kalangan LSM," kira-kira simpulan laporan sebuah media tentang kami saat itu.
Kami tertawa membenarkan ketika membacanya. "Semoga saja tidak ada pers mahasiswa dan orang LSM yang tersinggung," komentar salah seorang teman.
Tabloid Detik memang tidak dibangun berdasar kemumpunian jurnalistik. Tetapi penyikapan atas sebuah situasi.
Kami melihat ada sebuah kebosanan menuju apatis ketika membaca berita-berita politik di Indonesia. Media terlalu bersembunyi di bahasa yang melangit-berbelit-belit-eufimistik-terkadang sastrawi untuk persoalan-persoalan yang dianggap sensitif. Sehingga hanya kalangan yang sangat terdidik memahaminya. Sementara orang biasa tidak mengerti dan akhirnya bersikap sebodo amat.
Saat itu memang media terpaksa melakukannya kalau tidak ingin izin penerbitannya dicabut pemerintah. Tetapi akibatnya adalah mengasingkan sebagian besar (potensi) pembacanya.
ADVERTISEMENT
Sementara semakin lama format dan gaya bahasa yang "sangat hebat" itu dianggap sebagai satu-satunya standar yang benar dalam menulis berita. Diserap oleh para wartawan baru, yang beraspirasi ingin menjadi wartawan, penerbitan-penerbitan kampus, tanpa mereka mengerti asal-usul gaya tersebut muncul. Kalau tidak dengan gaya bahasa seperti itu maka media dan wartawannya pasti rendahan dan tidak baik.
Pegal kami menghadapi situasi seperti itu. Beku. Setiap kali muncul media baru, format, gaya bahasanya, dan cara berpikirnya sama semua seperti media yang sudah ada. Rakyat semakin terasingkan dari persoalan politik. Dan pemerintah semakin santai dengan hegemoni antikritiknya.
Sebuah alternatif diperlukan.
Adalah Eros Djarot yang punya ide brilian. Bagaimana kalau kebekuan itu dipecah dengan menghadirkan media dengan bahasanya sederhana, apa adanya, gampang dimengerti, nyablak, bahkan banal-sensasional. Meng-koran kuning-kan dan mem-Pos Kota-kan persoalan politik yang sensitif, katanya saat itu.
ADVERTISEMENT
Untuk mengamodasi gaya bahasa yang dimaksudkan bahkan bentuk medianya harus disesuaikan, tabloid. Karena tabloid selalu diasosiasikan dengan sensasi yang banal.
Ia bergerilya ke daerah-daerah mengajak kami yang tak punya pengalaman menjadi wartawan untuk bergabung. Diajak pula beberapa teman dari Jakarta. Kriteria perekrutannya sangat tidak jelas (atau mungkin sangat jelas): Asal mau ikut dan se-ide dengan Mas Eros.
Itu sebab sebagian besar dari kami, terutama di redaksi, tidak merumuskan Detik sebagai tempat bekerja mencari nafkah. Tetapi sebuah komunalitas. (Kantor) Detik adalah tempat kami bertempat tinggal —hanya satu dua dari kami yang berasal dari luar Jakarta yang punya tempat kos dan yang punya tempat kos lebih senang di kantor, berkehidupan sosial, bercanda, berdebat, berantem, dan bersenang-senang. Melakukan sebuah eksperimen jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Kami akan menjadi wartawan kesiangan kalau saja tidak ada Budiono Darsono—dikemudian hari ia menjadi pelopor media digital di Indonesia—sebagai Redaktur Pelaksana. Praktis ia yang sebenarnya mengajari kami menjadi wartawan sungguhan. Memahamkan kami tentang cara menjalankan media, kedisiplinan tenggat waktu, memilih topik liputan yang menarik, dan ketekunan.
Saya tak akan pernah lupa bagaimana ia memaksa salah satu di antara kami, AS Laksana, untuk menulis kolom mingguan berjudul Podium. Ia akan mendatangi meja Sulak—panggilan kami untuknya—dan duduk dalam diam tidak akan pergi hingga tulisan selesai. Tak peduli kalau yang bersangkutan setiap kali harus mimisan karena stres. Kami selalu tertawa setiap kali melihat Budi mulai berjalan ke arah meja Sulak menjelang tenggat waktu.
ADVERTISEMENT
Saya juga tak akan pernah lupa bagaimana harus memburu Cak Nun—Emha Ainun Najib—di manapun ia berada—ia sedang aktif-aktifnya berkeliling Indonesia saat itu, menagih tulisan mingguannya, dan mengeditnya untuk kolom Opini Plesetan. Semacam opini parodi atas apa pun yang menjadi liputan utama kami.
Tetapi saya lupa untuk apa Detik saat itu dibreidel. Sepertinya persoalan technicality, karena kami mengubah izin terbit dari majalah ke tabloid. Saya—sepertinya juga teman-teman di Detik—tak terlalu peduli.
Kami lebih suka membayangkan pemerintah jengkel dengan laporan-laporan kami yang banyak menyenggol persoalan bahas-tabu semacam kiprah politik-ekonomi keluarga Presiden Soeharto, kelakuan kroni-kroninya, keabsahan dwi-fungsi ABRI, dan peristiwa G-30S PKI. Biar sepertinya apa yang kami lakukan heroik.
Hidup tabloid Detik tidak lama. Hanya sekitar 15 bulan. Terbit pertama kali 3 Maret 1993 dan dibreidel 21 Juni 1994. Dari hanya dicetak 10 ribu eksemplar di edisi pertama hingga 450 ribu ketika dibreidel.
ADVERTISEMENT
Saya selalu tersenyum mengenang masa-masa itu. Status media dan wartawan yang dipandang sebelah mata oleh media lain kami terima sebagai badge of honour, abal-abal tapi dibreidel.
Dan 450 ribu eksemplar hanya dalam waktu 15 bulan itu membuat dada seperti disemprot oksigen dari tangki raksasa, membusung mau pecah. Ada yang benar dari yang kami lakukan.
Tabloid Detik adalah sebuah petualangan yang menyenangkan. Tidak ada kegetiran sama sekali. Bahkan tidak untuk bagaimana kami harus berakhir.
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan