(Talk Show) Mata Najwa

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2020 10:19 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "Mata Najwa" oleh Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "Mata Najwa" oleh Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
"Apa pendapat mas tentang wawancara Najwa Shihab dengan kursi kosong—yang dimaksudkan sebagai Menteri Kesehatan Terawan Putranto—di Mata Najwa?" tanya seorang teman kepada saya lewat WhatsApp.
ADVERTISEMENT
Ini pertanyaan yang bikin gelagapan.
Saya tak punya jawaban. Saya tak punya pendapat.
Saya amat jarang menonton tayangan televisi Indonesia. Tak terkecuali Mata Najwa.
Untuk hal "wawancara" itu saya hanya tahu ramai diperbincangkan di media sosial. Berseliweran di dinding laman medsos saya karena beberapa teman ikut memperbincangkannya.
"Tonton mas. Idenya cerdas. Kontroversial. Bikin silang pendapat ramai di medsos," lanjut teman ini setelah saya katakan saya belum menonton dan tentu saja tak punya pendapat.
Seperti disarankan, saya pun menonton. Tak panjang. Kurang dari empat setengah menit. Sebuah monolog.
Dibuka dengan Najwa mempertanyakan keengganan Terawan untuk hadir walau sudah berulang kali diundang. Padahal posisi Terawan sebagai Menteri Kesehatan membuatnya orang yang paling tepat untuk menjelaskan persoalan penanganan corona di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Najwa pun kemudian melontarkan serentetan pertanyaan yang ditujukan ke kursi kosong tempat Terawan semestinya duduk.
Talk show ditutup dengan lagi-lagi undangan terbuka untuk kesediaan Terawan hadir di Mata Najwa.
Menampilkan kursi kosong untuk diwawancarai bukan hal yang baru dalam dunia talk show. Di beberapa negara telah berulang kali dilakukan. Mungkin tim kreatif di belakang Mata Najwa—tak ada yang buruk dengan mencontoh dalam hal ini—mengambil ide dari mereka.
Di Inggris misalnya BBC pernah melakukan. Tahun lalu (2019) ketika Boris Johnson mencalonkan diri kembali sebagai Perdana Menteri, ia tak menghadiri undangan yang dilayangkan stasiun televisi yang kebetulan dibiayai pajak negara itu.
Tindakan Johnson ini sangat parah dibanding ketidakhadiran Terawan. Dengan tidak menghadiri undangan dari BBC, Johnson mengkhianati sebuah tradisi tanpa putus bahwa seorang calon perdana menteri semestinya bersedia dikuliti (grilling) tentang program-programnya. Ia calon perdana menteri pertama dalam era modern Inggris yang tak menghormati tradisi itu.
ADVERTISEMENT
Walau harus dimengerti juga bahwa Johnson tidaklah salah—seperti juga Terawan tidak salah—dengan tidak menghadiri undangan itu. Karena memang tidak ada aturan/kewajiban/paksaan seorang narasumber untuk harus hadir.
Perlakuan Najwa kepada Terawan juga belum seberapa dibanding perlakuan Andrew Neil—pembawa acara BBC—kepada Boris Johnson. Najwa masih sungkan-sungkan cenderung halus.
Tidak seserebral Mata Najwa tampilan acaranya, tapi kata-kata Neil dalam acara bertajuk BBC’s Leaders’ Interview lebih dingin menusuk: mempertanyakan kelayakan Boris Johnson sebagai calon perdana menteri karena dianggap tidak bisa dipercaya (untrustworthy).
Saya kira kita semua mengerti konteks mengapa Mata Najwa, BBC Leaders’ Interview, maupun program-program talk show yang pernah melakukan wawancara dengan kursi kosong melakukan apa yang mereka lakukan. Mereka sedang melakukan pementasan.
ADVERTISEMENT
Talk show secara harfiah artinya pentas/pertunjukan dengan menu utama bincang-bincang. Perbincangan tentang apapun. Berbincang dengan siapapun—termasuk dengan "kursi kosong"—kalau itu dianggap menarik untuk ditonton.
Talk show bukan sebuah atau dimaksudkan sebagai karya jurnalistik. Di dalamnya bisa jadi ada elemen jurnalistik, misal inkuisisi terhadap narasumber. Misal lain lagi menghadirkan narasumber dengan conflicting views (sudut pandang yang berbeda-beda dan berlawanan) untuk menjaga netralitas dan kelengkapan perspektif atas sebuah permasalahan/kejadian. Tetapi tetap saja bukan karya jurnalistik.
Kita mengerti, justifikasi hidup sebuah talk show hanya ditentukan oleh dua hal: apakah ia bisa menjalankan fungsi/peran tertentu seperti yang diangankan pembuatnya atau ia mampu menarik cukup penonton. Syukur-syukur bisa meraih keduanya walau itu tidak harus.
Dengan melakukan wawancara kursi kosong, Mata Najwa melakukan pementasan promosi (atau promosi pementasan) untuk acara itu. Menciptakan daya tarik agar penonton terus mengikutinya. Syukur-syukur pada saat bersamaan juga bisa memantapkan reputasi sebagai sebuah acara yang punya peran sebagai alat kontrol kebijakan politik.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang salah sama sekali dengan itu semua. Bahkan saya kira ia, Najwa Shihab dan Mata Najwa, berhasil. Saya yang tak pernah menonton ikut membicarakannya bukan?
Ilustrasi "Mata Najwa" oleh Indra Fauzi/kumparan.