Trumpisme dan Demokrasi

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
11 Januari 2021 8:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Begitu penyerbuan pendukung Presiden Donald Trump ke Gedung Kongres berhasil dikendalikan, sebuah lembaga jajak pendapat di Amerika, YouGov, melakukan jajak pendapat ke 1.397 responden.
ADVERTISEMENT
Dari 1.397 responden, mereka yang berasal dari Partai Republik 45 persen mengatakan mendukung aksi ekstrem itu, 43 persen menolak, dan selebihnya tak berpendapat. Dan walau jatuh korban empat tewas, tindak kekerasan terjadi ketika memaksa masuk ke Gedung Kongres, dan belakangan ditemukan senjata, bom molotov, serta bom pipa, 58 persen mengatakan protes yang terjadi berjalan damai ketimbang sebaliknya.
Tentu bisa diperdebatkan memang apakah jumlah responden yang kecil itu cukup representatif. Selalu juga bisa dipertanyakan apakah mereka yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam jajak pendapat itu jujur.
Tetapi hasil jajak pendapat itu konsisten linier dengan beberapa fakta yang mendahuluinya: 70 persen anggota Partai Republik meyakini—tanpa bukti—pemilu Amerika Serikat dicurangi berdasar jajak pendapat lembaga jajak pendapat Politico, dan bahkan 86 persen kalau menurut jajak pendapat di YouGov; Banyaknya petinggi Partai Republik lagi-lagi tanpa bukti yang menyuarakan hal serupa; Kenyataan bahwa Donald Trump walau juga tanpa bukti bersikap yang sama, menolak menerima kekalahan, dan bahkan terus menerus mendorong pendukungnya untuk melakukan protes; Ditambah tidak kurang 70 juta orang—hampir separuh warga dewasa Amerika—tetap memilih Trump bahkan ketika ia diketahui berulang-ulang berbohong.
ADVERTISEMENT
Ini sebuah gambaran political psyche Amerika yang buram. Tidak sehat dalam konteks demokrasi.
Kita tahu, sejauh ini demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem politik yang paling adil, altruisitik, inklusif, bisa diawasi (accountable), dan terjaga perimbangan power play di dalamnya. Karenanya para pemikir lewat buku-buku teks dan ujaran-ujaran bijaknya mengkonsentrasikan diri untuk menyusun perumusan-perumusan fungsi dan peran lembaga-lembaga dalam demokrasi agar persoalan-persoalan di atas bisa terjadi dan lestari.
Kita juga tahu, demokrasi menjadi semacam katup pelepasan rasa frustrasi, kedongkolan, tidak puas, euforia psikis, dan/atau juga penyaluran dukungan persetujuan. Pemilihan umum mungkin sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin, tetapi pada dasarnya berfungsi sebagai katup itu. Siapapun yang dipilih adalah personifikasi penyaluran yang dianggap akan mampu mengusung semua yang dirasakan.
ADVERTISEMENT
Bisa dimengerti kalau konsentrasi untuk menjalankan pemilu agar berjalan benar dan memenuhi rasa keadilan menjadi utama. Dan harusnya benar seperti itu. Ia Langkah pertama dalam pelaksanaan demokrasi. Sama pentingnya dengan prinsip-prinsip dasar mengapa kita semua memilih demokrasi sebagai sebuah sistem politik.
Tetapi ketika semua persyaratan untuk menegakkan demokrasi sudah berjalan dengan benar—dan ini jarang sekali disinggung karena dianggap sifatnya innate-intrinsic bagi mereka yang memilih jalan demokrasi—orang sering melupakan tentang pentingnya persoalan kedewasaan sikap, kematangan berpikir, kelegaan hati, dan menghormati opini-pilihan yang berbeda. Padahal ini bagian integral dari demokrasi yang sialnya tidak bisa dilembagakan.
Tanpa dijalankannya sikap-sikap tadi, seadil apapun jalannya pemilu, sebagus apapun lembaga-lembaga dalam sistem demokrasi dibangun dan dijalankan, demokrasi sebagai sebuah sistem tidak akan bisa berjalan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Trump dan pendukungnya menyikapi hasil pemilu, menyerbu Gedung Kongres, dan masih juga tidak melihat ada yang salah dengan apa yang mereka semua lakukan merupakan sebuah bukti.
Beruntung bahwa masih banyak akal sehat yang terperangah dengan apa yang terjadi dan lalu diikuti dengan beberapa "orang-orang dekat Trump" memilih menarik dukungan mereka.
Beruntung bahwa lembaga negara sangat mapan dan masih kuat untuk mengatasi keadaan tanpa terlalu menimbulkan gejolak.
Beruntung ini semua sekadar sebuah Trumpisme bukan berdasar sentimen yang lebih kuat seperti tahun 1861, ketika kemenangan Abraham Lincoln ditolak oleh sebelas negara bagian di Selatan (pendukung perbudakan), membentuk negara sendiri, dan berujung pada Perang Sipil.
Sesekali mereka yang memilih jalan demokrasi di seluruh dunia diingatkan oleh persoalan ini. Dan betapa tepat sekaligus ironis peringatan itu kali ini datang dari negara yang selalu menepuk dada sebagai negara paling demokratis di dunia.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.