Wimbledon: Merayakan Hidup yang Tawakal

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
6 Juli 2017 11:42 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Centre Court Wimbledon (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Centre Court Wimbledon (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Kepada teman dan keluarganya yang setiap tahun rajin menonton Wimbledon di barat daya London saya pernah bertanya, ‘’Kalian ini nonton tenis yang gratis di TV saja nggak pernah, kok susah payah nonton Wimbledon?’’
ADVERTISEMENT
Teman ini penggemar fanatik badminton. Badminton --bukan tenis— olahraga raket paling populer di Inggris. Ia satu klub badminton dengan saya.
Jawabannya Inggris banget --dalam pengertian malah membuat dahi semakin berkenyit-- , ‘’Kami bukan penggemar tenis. Kami penggemar Wimbledon.’’
Ia tidak menjabarkan jawabannya. Saya juga malas untuk mengorek lebih lanjut. Saya anggap saja sebagai contoh keeksentrikan orang Inggris dengan cara berpikir yang sering susah dipahami orang pada umumnya.
Hingga pada suatu ketika saya melihat sebuah tulisan persis di atas pintu menuju gang kecil yang harus dilewati pemain untuk masuk ke Centre Court, lapangan utama di Wimbledon: If you can meet with triumph and disaster // and treat those two imposters just the same (terjemahan bebas: Jika kamu bisa menghadapi kejayaan dan bencana // dan menerima kedua cobaan dengan sama ringannya).
ADVERTISEMENT
Menaruh kata-kata bijak, nukilan puisi, atau semacamnya di seputar arena olahraga bukanlah hal tidak biasa. Untuk menggugah semangat, mengingatkan akan sebuah nilai, atau memberi simbol tentang sesuatu yang akan dihadapi. Tetapi, mengapa harus nukilan dari sajak 'If' karya Rudyard Kipling?
Wimbledon Quote (Foto: Pinterest)
zoom-in-whitePerbesar
Wimbledon Quote (Foto: Pinterest)
Sajak yang ditulis tahun 1895 dan dipublikasikan tahun 1909 ini disebut-sebut sebagai salah satu karya puncak untuk menggambarkan stoicism –saya menerjemahkannya sebagai ketawakalan hidup—khas Inggris. Sebuah sajak yang ditulis oleh pemenang nobel kesusasteraan 1907 dalam bentuk nasehat untuk anaknya agar yang bersangkutan tabah dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Sajak 32 baris itu tidak hanya berbicara tentang ketabahan menghadapi cobaan dalam bentuk kejayaan dan bencana, tetapi juga kesetiakawanan, kejujuran, kegigihan, kesabaran, perjuangan, menghormati sesama, pengorbanan dan kerendahan hati. Tawakal hidup yang puncak.
ADVERTISEMENT
Kipling berharap, jika anaknya bisa merengkuh semua nilai itu, maka "Yours is the earth and everything that's in it // And --which is moreyou’ll be a Man, my son! Dunia dan segala isinya adalah milikmu // Dan yang lebih penting lagi anakku, kamu akan menjadi laki-laki, manusia seutuhnya,"’ seperti ia tulis di akhir sajaknya. Menjadi manusia seutuhnya-gentleman-beradab.
Tenis tentu saja bukan hidup dan kehidupan. Sekadar olahraga. Permainan. Namun, ia, tenis dan olahraga individual pada umumnya, bisa memuat dengan hampir sempurna kandungan nilai sajak 32 baris milik Kipling tersebut. Semacam khotbah dalam bentuk permainan. Dan di seluruh proses pertandingan hingga ketika pemenang dan yang terpuruk sudah diketahui, kita bisa melihat/menilai apakah sesuai dengan konsep sajak 'If' tentang menuju keberadaban-menjadi manusia seutuhnya.
ADVERTISEMENT
Nukilan sajak 'If' mengingatkan bahwa pada akhirnya menang-kalah bukanlah yang utama, tetapi bagaimana kita bersikap dalam menerimanya. Setelah berusaha sekuat tenaga dengan jujur, gigih, dan adil, adalah keanggunan hati dalam menerima cobaan –menang atau kalah--, berendah hati, memperlakukan lawan dengan baik, dan persaudaraan lebih penting dari segalanya. Mentrandensikan apa yang terjadi di lapangan menuju sesuatu yang lebih penting: beradab, menjadi manusia seutuhnya.
Wimbledon lebih dari turnamen grand slam lain, atau juga turnamen tenis lain di dunia, melembagakan dan mentradisikan persoalan keberadaban ini. Merayakannya.
Bahwa mereka yang fanatik datang menonton Wimbledon --seperti teman saya-- bukan penggemar tenis menjadi tak masalah. Tentu mereka mengerti dan menikmati tontonan tenisnya. Tetapi, menonton drama yang terjadi di lapangan tenis, itu lebih penting buat mereka.
ADVERTISEMENT
Itulah sebab jawaban, ‘’Kami bukan penggemar tenis, kami penggemar Wimbledon.’’