Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Yogyakarta
18 Juli 2019 10:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yogyakarta yang sekarang adalah kota yang tak jauh berbeda dengan kota-kota besar lain. Sibuk, cepat, ramai, begitu banyak kegiatan, rakus memakan wilayah sekitar, dan mahal. Padahal hingga akhir tahun 1990-an tak demikian halnya.
ADVERTISEMENT
Mereka yang pernah menghirup udara kota ini sebelum "ledakan" itu terjadi bisa bersaksi: Yogya adalah kota yang lengang, tempat waktu berjalan lamban, tidur siang menjadi norma, murah, dan malam begitu longgar untuk memperbincangkan apa saja.
Salah satu keluhan mereka yang berkunjung ke Yogya—wisatawan atau bukan—adalah tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan di kota ini kecuali tidak melakukan apa-apa. Namun adalah persis untuk alasan tidak melakukan apa-apa orang datang berkunjung ke Yogya. Kekurangan Yogya adalah kelebihan Yogya.
Yogya adalah oase bagi pengunjung dari kota besar untuk bersembunyi sesaat dari hiruk pikuk keseharian mereka. Berkunjung ke Yogya adalah menyelami kehidupan dengan langgam hidup pasrah-menyesuaikan diri pada alam dan bukan menaklukkan. Untuk tidak apa-apa ditinggal dan tertinggal putaran dunia.
ADVERTISEMENT
Banyaknya perguruan tinggi yang menjadikan Yogya dijuluki kota pendidikan masih bersemangat pengabdian untuk mendidik. Bukan semata mesin pencetak sarjana.
Tempat wisata dan peristiwa budaya yang membuat Yogya menjadi kota tujuan wisata masih menjadi bagian ekspresi sesungguhnya kehidupan. Bukan sebuah kepura-puraan. Atau diciptakan agar orang datang.
Yogya bisa menjadi seperti itu karena ia bukan kota industri maupun kota dagang. Perhitungan hidupnya bukan pada untung rugi atau nilai produksi. Dan prioritas hidupnya adalah tentang menjalani sebuah —apa yang disebut orang Jawa— laku atau garis hidup.
Sekitar tahun 1993 seorang teman—aktor besar perfilman nasional—berkunjung ke Yogya. Ia sangat suka dengan sandal selempang kulit khas Yogya yang selalu saya pakai. Sebenarnya saya pernah membelikan sandal itu untuknya. Tetapi mumpung di Yogya ia ingin membeli beberapa untuk oleh-oleh pulang ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
Hanya ada satu pembuat sandal itu di Yogya Selatan. Ke sanalah kami pergi. Rumah kecil menempel benteng timur keraton yang sekaligus menjadi studio tempat pembuatan sandal dan toko untuk memasarkannya.
"Sudah hampir jam dua mas. Biasanya toko tutup jam dua," kata saya kepada teman ini.
"Ah terlambat sedikit enggak apa. Nanti kita minta buka sedikit agak lebih lama. Siapa sih yang nolak rejeki?" katanya yakin. Ia sudah tak punya waktu lagi. Sehabis membeli sepatu ia hendak langsung ke bandara dan pulang ke Jakarta.
Kami tiba pas ketika bapak pembuat sepatu itu sedang menutup toko. Buru-buru kami turun dari mobil.
"Pak, pak, maaf jangan tutup dulu. Kami mau membeli beberapa sandal seperti ini," kata teman ini sambil menunjukkan sandal yang saya pakai.
ADVERTISEMENT
"Wah saya sudah tutup je, mas," ujarnya sambil menutup jendela kayu tokonya. "Nanti saja jam setengah lima saya buka kembali."
"Pak saya harus pulang Jakarta sore ini. Tidak sempat lagi," kata teman menjelaskan.
"Wah bagaimana ya? Saya harus buka-buka lagi. Saya mau tidur siang dulu. Biar enggak terlambat buka nanti sore. Kalau ada yang mau beli pas nanti sore biar nggak kecewa."
"Saya beli nggak cuma satu tapi beberapa pak," kata teman saya mencoba secara halus memberi gambaran akan keuntungan yang akan ia dapat.
"Sama saja mas. Itu artinya saya harus membuka toko lagi. Sudah lain kali saja kalau ke Yogya mas-nya ke sini," kata bapak itu lagi.
Apapun kata teman saya untuk membujuk bapak itu agar membuka tokonya tak ada gunanya. Ia tetap menutup toko dan dengan wajah meminta maaf lalu menutup pintu. Kami pun terpaksa kembali ke mobil.
ADVERTISEMENT
"Asem. Wong Yogya pancen biyangane (Orang Yogya memang sialan)," umpat teman saya dalam Bahasa Jawa sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Tapi kami pun tak habis-habisnya tertawa di dalam mobil.
Ingin sekali saya Yogya seperti itu lagi. Entah caranya.