Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Meningkatnya Perempuan di DPR RI Tahun 2024: Menuju Parlemen Yang Inklusif
12 November 2024 12:10 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari yusuf jundi Amarallah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari tahun sebelum-sebelumnya perempuan memang memiliki angka keterwakilan yang rendah di DPR RI. Pada periode 2024-2029 inilah perempuan menjadi stimulus bagi perempuannya lainnya di dalam parlemen, pasalnya pada periode 2024-2029 ini tercatat perempuan di Parlemen, memiliki peningkatan dalam keterwakilan perempuan sebesar 21,9% dan ada 127 anggota dewan perempuan di Parlemen, yang di mana hal ini akan menjadi angin segar, ujar Siti Mukaromah Anggota Komisi VI Fraksi PKB, Senin (14/10).
ADVERTISEMENT
Pada periode 2024-2029 inilah perempuan mencetak sejarah dengan angka keterwakilan perempuan terbanyak di Parlemen dari periode-periode sebelumnya. Hal ini membuat kita berharap perempuan di Parlemen tidak hanya kuantitas, namun juga kualitas agar perempuan dapat mewarnai segala kegiatan yang ada di Parlemen, ucap Puan dalam pernyataannya, Jumat (18/10).
Perempuan pada hakikatnya sudah diwajibkan untuk berpartisipasi di dalam Pemilu sebagai affirmative action dalam bidang politik bagi perempuan. Hal ini sudah tertuang dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 Pasal 65, Ayat (1), yang mengatur tentang setiap partai politik, peserta Pemilu dapat mencalonkan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (Hamid 2019).
Walaupun sudah ada kebijakan terkait dengan pencalonan perempuan, namun keterwakilan perempuan 30% di dalam parlemen hanyalah pada saat pencalonan saja, bukan 30% keterpilihan perempuan di dalam parlemen. Ini membuat tantangan bagi perempuan untuk dapat mencapai angka 30% di dalam parlemen.
ADVERTISEMENT
Menurut Anne Phillips, perempuan yang ada di Parlemen dapat menjadi role model bagi perempuan yang lainnya. Seorang perempuan akan lebih mengerti apa yang dibutuhkan oleh perempuan lainnya agar kebijakan yang pro terhadap perempuan dapat terealisasikan dengan baik khususnya di Indonesia (Philips 1995).
Perempuan haruslah mendapatkan ruang di dalam parlemen agar kebijakan-kebijakan terhadap perempuan lebih ditekankan. Per-2024 ini, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan masih ada 18.488 kasus kekerasan terhadap perempuan yang di mana masih sangat banyak kekerasan yang terjadi dan harus segera diminimalisir dengan pembuatan kebijakan yang baik, Senin (01/01).
Sebenarnya sudah sejak lama Indonesia mencanangkan gagasan untuk membuat undang-undang terkait dengan penghapusan kekerasan seksual yang tercanangkan dalam RUU PKS pada tahun 2012, namun RUU PKS ini baru dibuatkan draftnya pada tahun 2014. RUU ini berulang kali keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun pembahasannya sangat lambat dan baru terealisasikan pada 9 Mei 2022 dengan nama UU TPKS yang mengatur berbagai jenis kekerasan seksual, ujar Nurhadi, Jumat (15/04).
ADVERTISEMENT
Sudah seharusnya undang-undang seperti ini dibuat dari beberapa tahun yang lalu, mengingat banyak sekali kejadian kekerasan seksual yang melanda Indonesia. Perempuan di Indonesia dapat dikatakan termarjinalkan dan hanya menjadi objek pemuas nafsu saja. Dari banyak problematika selama 10 tahun lamanya, akhirnya perempuan mendapatkan perlindungan dari UU TPKS yang disahkan tahun 2022 lalu.
Bisa saja UU TPKS ini disahkan apabila banyak perempuan di Parlemen yang ikut andil dalam pembuatan kebijakan terkait dengan perempuan. Sayangnya perempuan pada tahun 2022 di Parlemen masih sangat kurang dan lebih banyak didominasi oleh laki-laki.
Secara tidak langsung dengan keluarnya UU TPKS ini, Indonesia menjalankan Sustainable Development Goals (SDGs) yang dikemukakan oleh PBB. Poin kelima dari SDGs yang membahas tentang kesetaraan gender sudah diupayakan Indonesia untuk dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh ada perbedaan kelas di antaranya, (20/11).
ADVERTISEMENT
Banyak undang-undang yang yang berpihak kepada perempuan, namun secara faktual perempuan sangat susah untuk bersaing di dalam dunia politik khususnya. Kultural patriarki di Indonesia masih sangat membekas hingga sekarang, perempuan diposisikan sebagai nomor dua dalam kehidupan sosial yang ada dan banyaknya salah penafsiran nilai-nilai keagamaan yang membuat perempuan enggan untuk terlibat dalam politik apalagi menjadi calon anggota dewan di Parlemen.
Dalam forum nasional Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kampus Uin Jakarta, 1 November 2024. Seorang mahasiswa bertanya kepada Yunianti (pegiat perempuan sekaligus anggota Komnas Ham RI), mahasiswa tersebut bertanya apakah perempuan termarjinalkan karena kultural yang ada atau karena perempuan sendiri yang merasa termarjinalkan dan tidak mau berpolitik? Yuni menjawab, bahwa bukan hanya kultural saja yang mengurung perempuan, namun perempuan juga terkungkung dalam realitas money politics yang kian mencuat, akhirnya perempuan memilih untuk tidak berpartisipasi aktif karena merasa kalah dengan laki-laki yang dirasa memiliki ekonomi yang cukup baik dibandingkan perempuan, ujar Yuni, Jumat (01/11).
Memang sudah seharusnya Indonesia mengalami pembangunan yang lebih inklusif. Mulai dari hal-hal yang mendasar seperti sosialisasi mengenai perempuan yang termarjinalkan, menghapuskan budaya patriarki, menerapkan SDGs, hingga perempuan yang harus melek terhadap politik itu semua harus dilakukan. Jangan berikan ruang pada budaya patriarki ini semakin berkembang di masyarakat modern. Mahasiswa juga turut aktif dalam meningkatkan proporsi perempuan di dalam masyarakat dengan membuat kegiatan-kegiatan yang melibatkan nilai-nilai kesetaraan gender agar perempuan lebih baik di masyarakat dan Parlemen.
ADVERTISEMENT