Konten dari Pengguna

Nobel, Nogales, dan Nasib Indonesia: Sebuah Pelajaran dari Perbatasan

Yusuf Rendy Manilet
Ekonom dan peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia
26 November 2024 13:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Rendy Manilet tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun ini, Hadiah Nobel Ekonomi dianugerahkan kepada tiga ekonom terkemuka: Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson. Mereka menerima penghargaan atas penelitian mereka tentang bagaimana institusi berperan penting dalam menentukan kesejahteraan ekonomi suatu negara.
Ilustrasi: Penghargaan Ilmu Ekonomi 2024
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Penghargaan Ilmu Ekonomi 2024
Dengan mengkaji sejarah kolonisasi Eropa, mereka menemukan bahwa sistem politik dan ekonomi yang dibangun oleh para penjajah memiliki dampak jangka panjang pada kemakmuran negara-negara tersebut. Penemuan ini membantu menjelaskan perbedaan besar dalam tingkat kesejahteraan antara negara-negara kaya dan miskin di dunia.
ADVERTISEMENT
Salah satu temuan utama mereka adalah bahwa meskipun beberapa negara miskin telah mengalami pertumbuhan ekonomi, mereka masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara kaya. Perbedaan ini mereka kaitkan dengan kualitas institusi di negara-negara tersebut. Negara-negara yang memiliki institusi yang lebih inklusif, yang memberikan akses lebih luas terhadap hak-hak politik dan ekonomi, cenderung tumbuh lebih pesat dan lebih makmur. Sebaliknya, negara dengan institusi eksploitatif cenderung terjebak dalam kemiskinan yang berkepanjangan.
Studi mereka memberikan contoh konkret di kota Nogales, yang terbagi dua wilayah antara Meksiko dan Amerika Serikat. Di sisi Amerika, institusi yang inklusif mendorong stabilitas ekonomi dan politik, sementara di sisi Meksiko, ketidakpastian dan ketidakadilan lebih dominan. Perbedaan di kota perbatasan ini menggambarkan bagaimana institusi yang baik dapat memberikan kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakatnya, sementara institusi yang buruk justru menjadi penghambat pertumbuhan.
Ilustrasi: Kerangka teoritis tentang bagaimana lembaga politik dibentuk dan diubah
Penelitian mereka juga menyoroti bahwa meskipun perubahan institusi sulit, hal tersebut tetap mungkin dilakukan. Demokratisasi dan reformasi hukum dapat membantu negara-negara keluar dari perangkap institusi eksploitatif. Namun, sering kali perubahan ini terhambat oleh konflik kepentingan antara elit penguasa dan masyarakat luas, yang pada akhirnya memperlambat proses reformasi dan pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT

Konteks Indonesia

Di negara berkembang seperti Indonesia, studi yang dilakukan oleh pemenang nobel ini sangat relevan. Warisan institusi eksploitatif dari era kolonial, beberapa diantaranya, masih terasa hingga kini. Kondisi ini menjadi penghambat utama dalam upaya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Salah satu masalah terbesar adalah korupsi, yang meningkatkan biaya berbisnis dan menghambat inovasi. menurut Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia pada tahun 2022 berada di skor 34 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara.
Di saat yang bersamaan, data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa sektor yang paling sering terlibat dalam kasus korupsi adalah sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dari total 1.512 kasus korupsi yang ditangani KPK hingga Januari 2024, sebanyak 339 kasus di antaranya berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah.
ADVERTISEMENT
Korupsi yang meluas di Indonesia menciptakan lingkaran setan yang memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ketika biaya berbisnis meningkat akibat korupsi, usaha kecil dan menengah yang seharusnya menjadi penggerak inovasi justru terhambat. Selain itu, korupsi juga menyebabkan ketidakpastian hukum yang membuat investor ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga memperlambat pertumbuhan investasi.
Selain korupsi, Indonesia juga menghadapi masalah dalam birokrasi. Birokrasi yang lamban dan tidak efisien memperburuk pelayanan publik dan mempersulit proses perizinan bagi pelaku bisnis. Menurut survei KemenPAN-RB, kepuasan terhadap layanan publik di Indonesia masih rendah, mencerminkan perlunya reformasi mendasar dalam sistem birokrasi. Hal ini tidak hanya menambah biaya operasional bagi perusahaan, tetapi juga memperlambat pengembangan usaha baru yang pada akhirnya mengurangi daya saing ekonomi Indonesia..
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, laporan Bank Dunia menunjukkan, peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis berada pada posisi 73 pada 2020. Meskipun ada peningkatan dibandingkan periode sebelumnya, kondisi Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Faktor-faktor seperti birokrasi yang lambat dan ketidakpastian hukum masih menjadi kendala utama bagi pelaku usaha, terutama di sektor investasi asing
Dominasi oligarki di Indonesia juga menjadi masalah signifikan yang memengaruhi kualitas institusi. Konsentrasi kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir individu atau keluarga terkemuka memperlambat proses demokratisasi. Oligarki menghalangi distribusi kekayaan yang lebih merata dan menciptakan ketimpangan yang dalam, di mana 1% orang terkaya menguasai hampir 46,6% PDB Indonesia. Ketimpangan ini memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, serta menghambat pertumbuhan yang inklusif.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, penelitian para penerima Nobel Ekonomi 2024 juga memberikan pelajaran penting bagi pemerintahan baru Indonesia. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, pemerintah harus berkomitmen serius dalam memperbaiki institusi. Korupsi harus diberantas, oligarki dikendalikan, dan birokrasi diperbaiki. Hanya dengan institusi yang kuat dan inklusif, Indonesia dapat mewujudkan potensi ekonominya sepenuhnya, seperti yang diharapkan oleh para penerima Nobel Ekonomi.