kumplus- Opini Yuviniar

[BEBAS AKSES] Susu Kotak Punya Mamah: Ibu Tidak Salah, Kita Butuh Ruang Personal

Yuviniar Ekawati
Seorang penulis lepas
10 April 2023 16:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dear Ibu,
Aku membawa kabar menyenangkan: kita, para ibu, juga berhak bahagia. Ambillah sekotak susu dengan rasa kesukaanmu. Berilah label di kotaknya, agar orang di rumah tahu bahwa itu milikmu dan hanya milikmu seorang. Tak ada yang salah.
Atau, belilah makanan kesukaanmu meski orang rumah lain tak menyukainya. Lagipula, kau bisa menghabiskannya seorang diri. Nikmatilah hingga potongan terakhirnya. Lakukan ini semua beberapa kali dalam sebulan, atau ketika hari-harimu terasa berat, atau ketika kau merasa ada hal-hal yang perlu dirayakan—sekecil apa pun itu. Tuliskan juga namamu besar-besar pada botol sabun-tanpa-SLS, yang setia menyelamatkanmu kala kulit kering agar yang lain tak menggunakannya dan cepat habis seperti selama ini.
Apa salahnya? Sisakanlah ruang pribadi buatmu, di sana dan di sini, walau sekecil mungkin.
Sebab aku tahu, wahai para Ibu, bahwa aku harus menyisakan ruang pribadi buatku, walau hanya sedikit saja, demi menjaga kewarasan diri. Dan kupikir kau pun seharusnya begitu. Kita perlu memberi batas dan memastikan diri masih memiliki ruang personal. Karena justru hanya dengan begitu aku bisa menjalani peranku sebagai ibu dengan sepenuh hati.
Mungkin ceritaku akan mirip dengan ceritamu: rak buku yang beralih menjadi rak koleksi Bus Tayo dan buku mewarnai; laci meja yang jadi tempat penyimpanan popok kain dan pakaian si kecil. Atau kamarku, yang seharusnya jadi ruang privat itu, kini jadi tempat bermain dan mencorat-coret anak. Tak sampai di situ, laman rekomendasi YouTube-pun kini penuh dengan video Blippi; Ms. Rachel; Duolingo; Ba Li Ta favoritnya. Tak ada lagi sudut yang bebas dari interupsi, tidak nyata tidak pula digital.
Apa masih kurang?
Karenanya, Twitter hari itu begitu menarik perhatianku. Ibu mungkin masih ingat unggahan gambar kotak susu coklat di lemari pendingin berlabel “punya mamah”. Komentarnya begitu beragam, ada yang membuat hati hangat, tapi banyak pula yang membuat darah mendidih. Mungkin begitu juga perasaanmu, wahai para Ibu.
Aku salut pada perempuan yang memberikan label “punya mamah” pada sekotak susu itu. Ia berusaha mempertahankan ruang pribadinya, di tengah gempuran kalimat “cinta ibu tanpa batas”; “ibu adalah makhluk paling tidak egois”; “ibu mendahulukan keluarganya”; “ibu selalu mengalah”. Mengapa cuma ibu?
Ilustrasi ibu lelah atau kelelahan. Foto: shutterstock
Pengorbanan sebagai orang tua memang tidak bisa terhindarkan. Namun, beban pengasuhan dan pengurusan rumah tangga begitu timpang. Melulu dibebankan kepada perempuan, membuat tanggungan beban ibu selalu lebih berat. Berapa waktu yang dibutuhkan ibu dalam beban pengasuhan dan rumah tangga? Hal itu bahkan tak terkompensasi secara ekonomi karena dianggap bukan pekerjaan yang perlu mendapatkan upah karena dianggap gender role seorang perempuan.
Di seluruh dunia dan tidak terkecuali, perempuan mendedikasikan lebih banyak waktu daripada laki-laki. Secara global, pekerjaan perawatan yang dilakukan perempuan berkisar dari maksimal 490 menit—delapan jam sepuluh menit atau sebanyak 34 persen dari total waktu sehari. Kerja-kerja tersebut bahkan tidak diperhitungkan pada nilai Produk Domestik Bruto (PDB), membuat kerja-kerja perempuan tidak bernilai secara sosial dan ekonomi.
Padahal pekerjaan yang perempuan lakukan (biasanya ibu) di seluruh dunia lakukan ini penting dan esensial untuk kesejahteraan individu, komunitas, dan masyarakat. Ibu mengurus kesejahteraan orang-orang di sekitarnya, tapi siapa yang mengurus kesejahteraan ibu? Ketika sakit ibu tetap harus mengurus keluarganya. Namun, bagaimana ketika ia sakit? Secara statistik, laki-laki lebih banyak meninggalkan istrinya ketika ia sakit, sedangkan perempuan bertahan di sampingnya.
Dengan kesibukan yang ada dan minimnya dukungan, ibu dipojokkan pada kesejahteraan hidup yang rendah. Ketika sebagian besar pekerjaan perawatan jatuh pada perempuan, itu berarti akan terjadi pengurangan jam kerja yang signifikan. Sistem yang tidak adil ini membawa ibu jatuh kepada kemiskinan. Tidak independen secara finansial dan harus bergantung ke pasangan. Ketika membutuhkan uang, ia harus izin suami terlebih dahulu. Bahkan ketika dirinya sakit, ia harus mendapatkan lampu hijau dari suami dahulu sebelum mendapatkan perawatan yang semestinya.
Di sistem yang tidak adil ini, perempuan dibuat menerima bahwa dirinya tidak pantas dalam mendapatkan berbagai hal, baik itu untuk menunjang kesehatannya hingga hal-hal kecil seperti menikmati makanan dan minuman yang mereka sukai. Ya kalau pasangannya baik, sadar dan memahami itu semua. Kalau tidak?
Ilustrasi ibu dan anak. Foto: Shutterstock
Bertahun aku menjadi ibu dengan kondisi karantina di rumah selama pandemi COVID-19. Mengasuh anak, melakukan pekerjaan rumah, sambil bekerja dari rumah membuat ruang personalku terenggut.
COVID-19 menyerang dunia ketika anakku berusia enam bulan dan aku kesulitan bertemu siapa pun. Aku segan dan kesulitan meminta bantuan, sebab semua orang mengalami kesulitan. Terlebih, sosok ibu dianggap sudah terprogram untuk dapat melakukan tugas pengasuhan dan rumah tangga dengan sempurna. Jika tergagap, keibuan kita dipertanyakan. Pernah merasa seperti itu, wahai para Ibu?
Ketika baru dua bulan menjadi ibu, orang-orang di sekitar sudah mengatakan bahwa aku berubah. Aku kehilangan separuh diri, bahkan lebih. Aku kehilangan diriku di tengah kesibukan menjadi ibu. Aku terputus dari kehidupanku yang dahulu.
Aku tidak mengatakan bahwa aku membenci kenyataan yang baru. Namun, menjadi ibu memang bisa semenakutkan itu. Kami (dipaksa) kehilangan minat yang kami miliki sebelumnya. Banyak juga yang mengubur mimpinya dalam-dalam karena mendahulukan kepentingan keluarga. Kami juga bisa kehilangan identitas kami—orang memanggil kami dengan nama anak kami atau bahkan nama pasangan kami.
Ilustrasi me time ibu. Foto: Shutterstock
Wahai para Ibu, kalian tentu tahu bahwa perempuan berbagi perjuangan keibuannya yang tak terlihat. Perjuangan itu kerap kita pendam sendiri. Sebagai ibu yang baik, masyarakat meminta ibu untuk tidak mengeluh.
Tapi, Ibu, tak ada yang berlebihan dari mengeluh. Tak ada yang berlebihan dari membutuhkan waktu sendiri. Tak ada yang berlebihan dari seorang ibu membutuhkan ruang personalnya sendiri, bahkan melalui subunit dari kesehariannya di rumah. Tak ada yang berlebihan dari seorang ibu memberikan label “punya mamah” pada minumannya.
Memang, ketika sudah menjadi ibu, ada perjanjian tak tertulis bahwa kita harus mendahulukan kepentingan keluarga di atas kepentingan diri sendiri. Kita diminta merepresi hal-hal yang bersifat pribadi, termasuk kebutuhan kita; keinginan kita; perasaan kita; kesehatan tubuh kita.
Tapi itu tidak selalu baik. Kita perlu memberi batasan. Memiliki ruang personal di keluarga membantu ibu untuk merawat dirinya sendiri. Ibu tetap harus memikirkan kesejahteraan hidupnya sendiri sebelum orang lain. Bagaimana bisa aku, kita, menjamin kesejahteraan orang-orang di sekitar ketika kesejahteraan diri sendiri terabaikan?
Misalnya ketika kita memaksa mendahulukan makan anak dan keluarga saat perut kita sendiri keroncongan belum ada isi sama sekali. Yang ada justru kita makin rungsing, marah-marah melulu. Proses makan anak justru akan terganggu. Aku ingin perut kami sama-sama terisi. Aku memilih untuk makan bersama dengan anakku, membuatnya melihat bahwa ibunya hanya manusia biasa yang butuh makan sepertinya, yang perutnya harus terisi dan tubuhnya harus diberi nutrisi.
Sekarang ketika aku sakit, aku akan mengatakan bahwa aku memang sakit dan butuh berobat. Sebelumnya, aku menahan sakit gigi hingga membuat lubang yang sangat besar, membuatku mendapatkan perawatan saluran akar yang sangat menyakitkan dan jauh lebih mahal. Alasanku dulu yang takut mengeluarkan uang yang besar untuk keperluan pribadi padahal bisa untuk kepentingan keluarga menjadi tak valid lagi. Miris memang, bukankah kita juga bagian dari keluarga?
Ilustrasi me time yang dapat merelaksasikan otak Foto: Thinkstock
Wahai para Ibu yang menerima pesan ini, menginginkan sesuatu untuk dirimu sendiri bukanlah hal yang egois. Makanlah apa yang mau kamu makan. Minumlah apa yang mau kamu minum. Belilah kebutuhan yang dapat menunjang kesejahteraan hidupmu. Rawatlah diri Ibu, cintai dan jangan pernah kesampingkan dirimu sendiri. Pentingkanlah dirimu sebab dirimu memang begitu penting.
Salam hangat dariku,
Seorang ibu yang sama sepertimu.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten