Dari Minamata ke Indonesia

Yuyun Ismawati Drwiega
toxics-free advocate, co-founder of balifokus foundation, goldman environmental prize awardee 2009
Konten dari Pengguna
21 Maret 2017 4:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuyun Ismawati Drwiega tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tomoko Uemura, korban Minamata (Foto: William Eugene Smith )
Kegiatan penambangan emas tanpa ijin/ilegal (PETI) sudah sering kita dengar sejak tahun 1990an. Tetapi seiring perkembangan global dan negosiasi perjanjian merkuri, istilah PETI berangsur-angsur hilang dan diganti dengan PESK atau Pertambangan Emas Skala Kecil. Di forum global istilah bahasa Inggrisnya adalah Artisanal and Small-scale Gold Mining, disingkat menjadi ASGM.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang sering saya dapat: apakah dengan legalisasi dan formalisasi sektor PESK pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan bisa menekan dan mengurangi penggunaan merkuri? Apakah dengan legalisasi dan formalisasi semua dampak merkuri di lingkungan dan pada manusia bisa dianggap beres?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita lihat bagaimana dan dimana saja merkuri digunakan dalam praktek ekstraksi emas di lokasi-lokasi PESK.
Skala kecil dari hulu sampai ke hilir (Foto: (Sumber: Ismawati, 2011))
Dari diagram di atas bisa dilihat merkuri hadir pada semua tahapan, baik di lokasi penambangan emas batuan primer (batuan di gunung) maupun aluvial (di sungai dan tepian sungai).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa semua dapat terjadi tidak lepas dari dukungan penyandang dana dan tentunya bekingan kuat dari oknum-oknum polisi, militer, dan pejabat.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun yang lalu saya sempat mewawancara salah satu pedagang terbesar merkuri di Indonesia. Menurut pengakuannya memang mereka mengimpor merkuri (sampai tahun 2013-2014) di bawah meja dengan 'backing orang kuat di pusat'.
Setelah 2014, yang bersangkutan mendapat pasokan merkuri dari sumber lokal yang mulai tumbuh berjamuran, juga dengan beking aparat.
Saat kita ke lokasi, kita bisa merasakan perbedaan udara dan rasa metalik di mulut saat berkeliling kampung yang dikepung dengan gelundung. Di setiap pojokan kampung, ada banyak unit gelundung, sianida, dan pembakaran emas.
Gelundung terutama, beroperasi 24 jam dengan bising yang sebetulnya sangat mengganggu kenyamanan tidur kita. Setiap 4-5 jam, tuan rumah atau pemilik gelundung akan menguras dan memasukkan batuan baru dengan membubuhkan merkuri.
ADVERTISEMENT
Pengukuran uap merkuri yang kami lakukan di beberapa lokasi dengan menggunakan mercury vapour analyser, Lumex, menunjukkan angka yang fantastis. Di lokasi-lokasi pembakaran emas, terutama, angka bacaan Lumex menunjukkan angka 50x lipat di atas angka aman WHO.
Arahan dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat USA, di atas 10x lipat, ruangan harus dikosongkan, orang harus dievakuasi.
Di salah satu kampung sentra emas di Lebak (Foto: (Sumber: BaliFokus))
Berbagai referensi menyatakan bahwa setelah melayang di udara antara 3 bulan sampai 1,5 tahun, partikel merkuri akan jatuh di satu tempat, terkadang jauh dari sumbernya.
Contoh padi dari sawah milik warga di kampung di atas, berjarak 5 km dari kampung, menunjukkan kandungan merkuri yang tinggi meskipun tidak ada gelundung di sekitar sawah. Kandungan merkuri dalam beras dan ikan akan terakumulasi dalam tubuh kita dan dapat menimbulkan gangguan syaraf, pencernaan, dll.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan beberapa kali melakukan bakti sosial pelayanan kesehatan di lokasi-lokasi PESK, kami menemukan bahwa sekitar 10-30% dari warga yang datang berobat menderita keracunan merkuri berat.
Ada banyak kasus-kasus 'penyakit aneh' yang tidak segera ditangani karena tidak ada biaya dan sulitnya transportasi ke Rumah Sakit terdekat. Sehingga sebagian besar warga meninggal tanpa pertolongan medis.
Selain itu, seperti yang terjadi di Minamata, ada banyak kasus bayi lahir cacat dan pertumbuhan yang tidak normal meski mereka lahir 'normal'.
Hal ini disebabkan oleh paparan merkuri di lingkungan sehari-hari, yang dikepung merkuri dari segala penjuru: di depan rumah, belakang rumah, samping rumah, di dapur, di pekarangan tempat bermain.
ADVERTISEMENT
Sebagian warga juga membakar emas di dapur, di tempat yang sama para ibu memasak untuk keluarga. Saat kami ukur uap merkuri di dapur, angkanya mengejutkan; sekitar 6-10x lipat melebihi angka aman.
Kondisi saat dalam kandungan (Foto: Larry C. Price/Pulitzer Centre on Crisis Reporting)
Kelahiran cacat dan paparan merkuri sejak kecil dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan mengurangi peluang mereka untuk dapat hidup normal, bekerja normal dan berpendapatan yang layak. Study terbaru Trasande et.al (2016) menunjukkan kerugian akibat pencemaran merkuri di Indonesia sekitar 12-24 milyar rupiah.
Belajar dari kasus Minamata, tidak mudah memperbaiki pelayanan kesehatan akibat merkuri.
Meski pengadilan telah memutuskan bahwa Chisso corp. terbukti bersalah mencemari ikan-ikan di Teluk Minamata dengan limbah mengandung merkuri, sampai hari ini para korban penderita Minamata Disease masih berjuang untuk mendapat pengakuan dan kompensasi pengobatan di pengadilan tinggi Jepang.
ADVERTISEMENT
Untuk bertahan hidup, para penderita Minamata Disease harus makan 5-10 jenis obat, 3x sehari. Pembersihan Teluk Minamata dilakukan selama 14 tahun dan menghabiskan dana sekitar USD 350 juta sampai Chisso menyatakan bangkrut.
Sampai hari ini, kami juga masih melakukan kegiatan fundraising, pemberian bantuan obat-obatan, pemeriksaan kesehatan, bantuan operasi untuk anak-anak yang (diduga) lahir cacat karena merkuri karena sebagian obat-obatan mereka tidak bisa didapat dengan BPJS.
Bibir sumbing bisa dioperasi, kaki pengkor seperti di atas bisa dioperasi dan dipenuhi BPJS juga tetapi sepatu khusus tidak bisa dan proses selanjutnya lebih rumit, harus bayar sendiri. Kami bersyukur banyak dibantu oleh para donor individu dari seluruh pelosok Indonesia dan luar negeri.
ADVERTISEMENT
Tapi sampai kapan masyarakat harus menanggung sendiri beban biaya kesehatan akibat pencemaran merkuri yang dibiarkan oleh negara?
Apakah para cukong dan investor juga bersedia menyisihkan uang zakat mereka untuk menanggung biaya pengobatan seumur hidup semua anak-anak dan orang dewasa yang teracuni merkuri?
Apakah dengan formalisasi ada komponen biaya kesehatan dan pemulihan lingkungan di 800 hotspots PESK di seluruh Indonesia?
Deklarasi Minamata, 7 Oktober 2013 (Foto: IPEN/Yuyun Ismawati)
Korban Minamata setelah 60 tahun dan masuk generasi ketiga, masih berjuang untuk mendapatkan keadilan. Korban merkuri di Indonesia baru 15 tahun terakhir terdeteksi, entah kapan akan mendapat pengakuan, pelayanan kesehatan gratis dan keadilan.
Kementerian Kesehatan yang kebagian ampas dan harus 'cuci piring' sudah terbitkan Rencana Aksi Nasional kendalikan pajanan merkuri. Keseriusan pemerintah paska Instruksi 7 butir merkuri Jokowi benar-benar ditantang.
ADVERTISEMENT
Instruksi Presiden harus ditindaklanjuti dengan serius oleh KLHK, Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan. Rencana Aksi Nasional penghapusan merkuri di PESK 2014-2018 dan Rencana Implementasi Nasional sudah dibuat, tetapi tidak terlihat aksi serius untuk merealisasikannya.
Atau mungkin kita harus menunggu sampai 60 tahun lagi?
Pelajaran dari Minamata: biaya-biaya pembersihan lahan dan pelayanan kesehatan tidak murah. Studi Trasande (2016) menunjukkan bahwa semakin lama kita tidak beraksi, biaya sosial, ekonomi, kesehatan, ketahanan nasional akan semakin tinggi.
Pepatah lama masih sahih: mencegah lebih baik daripada mengobati dan memperbaiki.
Penulis: Ir. Yuyun Ismawati, MSc., PhD candidate Medical Research-International Health LMU, Senior Advisor BaliFokus, IPEN lead for ASGM