Konten dari Pengguna

Berpikir, Maka Kita Ada

Amanda Zahra
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30 Oktober 2024 21:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Seseorang duduk merenung di depan layar handphone https://pixabay.com/photos/man-mobile-phone-cold-vietnamese-5901349/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Seseorang duduk merenung di depan layar handphone https://pixabay.com/photos/man-mobile-phone-cold-vietnamese-5901349/
ADVERTISEMENT
"Cogito, ergo sum" - Aku berpikir, maka aku ada. Kalimat legendaris René Descartes ini semakin relevan di era digital saat ini. Di tengah tsunami informasi dan kecerdasan buatan, apa makna "berpikir" dan "ada" bagi kita?
ADVERTISEMENT
Ironisnya, di tengah akses informasi yang tak terbatas, kemampuan berpikir kritis justru terancam. Banyak orang terjebak dalam apa yang disebut "kelelahan informasi," di mana mereka terus-menerus dibanjiri oleh data tanpa waktu untuk merenung. Dalam keadaan seperti ini, kita sering kali hanya menjadi konsumen pasif informasi, menyerap tanpa mempertanyakan atau menganalisis.
Fenomena doomscrolling di media sosial adalah contoh nyata dari kondisi ini. Kita terjebak dalam siklus tanpa akhir, terus-menerus menggulir feed tanpa sempat mencernanya. Kita kaya akan informasi, tetapi miskin pengetahuan yang mendalam. Ini adalah tantangan besar dalam cara kita berinteraksi dengan dunia digital.
Nicholas Carr dalam bukunya "The Shallows" mengungkapkan bahwa internet telah mengubah cara otak kita memproses informasi. Kemampuan baca mendalam kita menurun drastis, kita lebih sering membaca sekilas daripada mencari makna yang lebih dalam. Dalam dunia yang serba cepat ini, kemampuan untuk merenung dan berpikir kritis menjadi semakin langka.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana seharusnya kita "berpikir" di era digital? Pertama-tama, kita perlu mengembangkan kesadaran penuh saat mengonsumsi informasi apa yang sering disebut sebagai "digital mindfulness." Ini berarti berhenti sejenak untuk bertanya pada diri sendiri tentang pengalaman kita dengan teknologi: Apa yang saya rasakan saat menggunakan media sosial? Apakah informasi ini bermanfaat atau justru menambah kebingungan?
Kita juga perlu melatih diri untuk tidak langsung bereaksi terhadap informasi yang kita terima. Alih-alih terbawa arus emosional, mari kita ambil waktu untuk menganalisis dan mempertimbangkan sebelum memberikan respons. Seperti yang dikatakan Hannah Arendt, kejahatan terbesar sering muncul bukan dari kebencian, tetapi dari ketidakmampuan untuk berpikir.
Selain itu, penting untuk membudayakan dialog sejati. Diskusi yang sehat bukanlah tentang memenangkan argumen, tetapi tentang mencari kebenaran bersama. Dengan berbagi pandangan dan mendengarkan perspektif orang lain, kita dapat memperluas pemahaman kita dan menemukan titik temu di tengah perbedaan.
ADVERTISEMENT
Di era yang penuh tantangan ini, kemampuan berpikir mendalam dan kritis bukan lagi kemewahan tetapi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup dalam masyarakat yang kompleks. Albert Einstein pernah mengatakan bahwa masalah besar tidak dapat diselesaikan dengan level pemikiran yang sama dengan saat masalah itu diciptakan. Kita harus menyadari bahwa tanpa pemikiran mendalam, keberadaan kita hanya akan menjadi gema dalam ruang digital yang bising.
Kita memiliki tanggung jawab untuk melawan arus informasi yang menyesatkan dan untuk mempertahankan keaslian pemikiran kita. Dengan berpikir secara kritis dan mendalam, kita tidak hanya mengukuhkan eksistensi kita, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih bijaksana dan terhubung.
Amanda Zahra Sofiyani Ashsiddiqie Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
ADVERTISEMENT