Dinamika Politik dalam Perubahan Kepentingan

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
Konten dari Pengguna
26 Maret 2024 14:37 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketika terjadi pertemuan antara Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem pada Jumat (22/3/2024), maka ini menimbulkan spekulasi: apakah terjadi pergeseran dinamika politik yang mencerminkan perubahan hubungan antara pihak-pihak yang sebelumnya dianggap sebagai lawan menjadi kawan?
ADVERTISEMENT
Sekurang-kurangnya, dengan adanya pertemuan tersebut, muncul tanda-tanda bahwa politik Indonesia sedang mengalami pergeseran dinamika yang signifikan. Persepsi tentang aliansi dan persaingan politik dapat berubah dengan cepat.
Namun, apakah pertemuan ini hanya merupakan strategi politik semata, atau memang menandakan adanya perubahan substansial dalam hubungan politik antara kedua belah pihak? Hal ini masih menjadi tanda tanya besar bagi publik.
Begitu pula sebelumnya ketika terjadi ketidakhadiran Gibran Rakabuming Raka dalam pidato Prabowo Subianto sebagai tanggapan atas hasil penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap hasil Pilpres 2024. Hal ini telah menimbulkan spekulasi tentang kemungkinan adanya keretakan dalam hubungan antara Presiden Joko Widodo, ayah Gibran, dan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Setidak-tidaknya peristiwa ini menjadi sorotan publik, tambahan pula ada peristiwa ramai dibincangkan publik saat Presiden Joko Widodo tidak menyalami Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto. Pada Rabu (13/3/2024), di Istana Negara, ketika Jokowi tidak menyalami Prabowo setelah kegiatan membayar zakat fitrah, maka pertanyaan pun muncul: apakah ini merupakan pertanda bahwa sekutu telah berubah menjadi lawan.
ADVERTISEMENT

Dipengaruhi oleh Perubahan Kepentingan

Dalam dinamika politik, hubungan antara para pemimpin sering kali dipengaruhi oleh perubahan kepentingan dan strategi yang terus berubah. Konsep "lawan menjadi kawan" dan "kawan menjadi lawan" mencerminkan kenyataan bahwa hubungan politik tidaklah statis, melainkan terus berubah seiring dengan perubahan situasi politik yang ada.
Para pemimpin politik mungkin terlihat sebagai sekutu pada satu waktu, namun bisa menjadi lawan pada kesempatan berikutnya, dan sebaliknya. Maka fenomena ini menegaskan bahwa dalam politik, tidak ada yang namanya kawan atau lawan yang abadi.
Aliansi politik atau koalisi, dapat terbentuk dan bubar sesuai dengan kepentingan yang ada. Partai politik yang sebelumnya bersama-sama dalam sebuah koalisi bisa berubah jika kepentingan politiknya berubah. Begitu pula sebaliknya, partai yang sebelumnya menjadi lawan politik bisa berubah menjadi kawan jika ada kepentingan bersama yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Yang tetap abadi dalam dinamika politik adalah kepentingan politik, hal ini menjadi pendorong utama dalam setiap tindakan dan keputusan politik. Aktor politik akan selalu berusaha untuk melindungi dan memajukan kepentingan mereka–bahkan jika itu berarti harus mengubah aliansi atau bersekutu dengan lawan politik sebelumnya.
Semua ini menunjukkan bahwa dalam politik, kepentingan politiklah yang sesungguhnya menjadi pegangan, bukan sekadar hubungan personal atau ideologis. Maka pemahaman akan dinamika "lawan menjadi kawan" dan "kawan menjadi lawan" dalam politik menjadi sangat penting.
Ini berkaitan bahwa dalam mengelola hubungan politik, perlu memperhitungkan perubahan kepentingan dan kondisi politik yang terus berubah. Dalam politik, loyalitas sejati bukanlah kepada individu atau partai politik tertentu–melainkan kepada kepentingan yang lebih besar, baik itu kepentingan rakyat, negara, maupun masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Ini telah dicatat oleh sejarah politik di mana fenomena "lawan menjadi kawan" dan "kawan menjadi lawan", terjadi—antara lain pada peristiwa dalam Mahabharata, di mana Arjuna dan Kresna awalnya adalah sekutu yang setia, berjuang bersama dalam perang besar di Kurukshetra. Namun, dalam kisah perang tersebut, Arjuna harus menghadapi dilema moral dalam melawan saudara-saudaranya sendiri.
Di sinilah Kresna, sebagai teman dan penasihatnya, berubah menjadi lawan dalam hal moralitas perang. Meskipun keduanya akhirnya berhasil menyelesaikan konflik ini, hal ini menunjukkan bagaimana hubungan antara lawan dan kawan dalam konteks dapat berubah sesuai dengan peristiwa dan kondisi tertentu.
Begitu pula pada peristiwa antara Julius Caesar dan Marcus Brutus dalam politik Romawi kuno. Awalnya mereka adalah sekutu, namun perpecahan ideologis dan ambisi politik memicu Brutus untuk bergabung dengan konspirasi yang mengakibatkan pembunuhan Caesar pada tahun 44 SM.
ADVERTISEMENT
Hubungan yang dulunya bersahabat antara keduanya berubah menjadi konflik yang fatal, mencerminkan dinamika "kawan menjadi lawan" dalam politik klasik.

Transformasi dalam Dealitas Politik

Dalam realitas politik, transformasi dari lawan menjadi kawan sering kali menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya integritas politik dan pengorbanan prinsip.
Aliansi politik yang dibangun semata-mata atas dasar kepentingan, menjadi rentan terhadap konflik internal dan pengkhianatan. Begitu pula, keputusan untuk bersekutu dengan lawan politik dapat menimbulkan pertanyaan tentang kesetiaan dan konsistensi terhadap nilai-nilai politik yang dijunjung tinggi.
Namun, dalam konteks politik, kawan yang telah lama dikenal juga dapat berubah menjadi lawan yang tak terduga. Perubahan ini bisa disebabkan oleh konflik kepentingan, perbedaan ideologis, atau dinamika politik yang kompleks.
Saling konfrontasi di antara pihak-pihak yang sebelumnya bersahabat dapat mengakibatkan pecahnya hubungan personal, terputusnya kerja sama yang konstruktif, dan bahkan konflik dalam skenario terburuk. Terlebih lagi, perubahan ini juga dapat memperumit dinamika politik dan meningkatkan ketegangan di antara berbagai pihak yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Inilah dunia politik yang seringkali merupakan panggung di mana lawan dapat berubah menjadi kawan, dan kawan dapat berubah menjadi lawan dalam sekejap mata–semua demi kepentingan politik dan kekuasaan. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas dan dinamika politik yang tidak pernah statis, di mana aliansi dan konflik dapat terjadi dengan cepat dan tak terduga.

Dimensi Manusiawi yang Terlupakan

Dalam dunia politik yang dipenuhi dengan intrik dan persaingan kekuasaan, konflik tak dapat dihindari. Di balik persaingan tersebut, terdapat dimensi manusiawi yang seringkali terlupakan.
Mengeksplorasi konflik politik dan kekuasaan tidak hanya sebatas menilik peristiwa luar biasa dan dinamika struktural, tetapi juga memahami kompleksitas individu dalam menghadapi tekanan-tekanan tersebut.
Salah satu aspek penting dalam menggali konflik politik adalah memahami berbagai kepentingan yang saling bertentangan. Di mana politik seringkali menjadi panggung pertarungan antara kepentingan individu, kelompok, atau lembaga yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Persaingan untuk mendapatkan kekuasaan dan kontrol atas sumber daya menjadi pemicu utama konflik politik. Namun, di balik kepentingan tersebut, terdapat manusia dengan kebutuhan, ambisi, dan kerentanan emosionalnya.
Kompleksitas manusia dalam menghadapi tekanan-tekanan politik juga tercermin dalam pertarungan moral dan etis. Seringkali, individu terjebak dalam situasi di mana mereka harus memilih antara menjaga integritas moral atau meraih kekuasaan.
Konflik internal antara keinginan untuk berbuat baik dan desakan untuk mencapai tujuan politik, seringkali menghadirkan dilema moral yang sulit dipecahkan.
Dalam dinamika politik yang keras, manusia juga mengalami tekanan emosional yang besar. Persaingan politik yang intens, serangan personal, dan tekanan untuk mempertahankan posisi dapat mengakibatkan stres, kecemasan, bahkan depresi.
Di sisi lain, ketika individu berhasil meraih kekuasaan, tekanan untuk mempertahankan dan menggunakan kekuasaan dengan bijaksana, juga menimbulkan beban emosional yang besar.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu walau dihadapkan pada tekanan-tekanan yang kompleks, manusia juga menunjukkan ketahanan dan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Mereka mungkin menghadapi situasi yang sulit dengan kepala tegak, mencari solusi kreatif, atau bahkan melakukan tindakan heroik untuk membela nilai-nilai yang diyakini.
Pengalaman konflik politik dan kekuasaan juga dapat menjadi pelajaran berharga, hal ini yang memperkuat karakter dan memperluas wawasan individu.
Dalam menyelami kompleksitas manusia dalam konflik politik dan kekuasaan, penting untuk mengakui bahwa di balik dinamika politik yang keras dan intrik kekuasaan –ada individu-individu yang merasakan tekanan, mempertimbangkan nilai-nilai mereka, dan terus mencari jalan untuk bertahan dan beradaptasi.
Maka mengeksplorasi konflik politik dan kekuasaan membuka pintu pada dimensi kemanusiaan yang sering terlupakan di balik panggung politik. Dalam persaingan kekuasaan yang kompleks, manusia menjadi pemeran utama yang terlibat dalam dinamika emosional, moral, dan etis.
Kursi parlemen. (Foto. Hansjörg Keller/ unsplash.com)

Kemanusiaan Melihat Konflik Politik

Di balik struktur politik yang kompleks, kita menemukan individu dengan cerita kehidupan yang unik, emosi yang beragam, dan motivasi pribadi yang kuat. Mereka bukan hanya aktor dalam drama politik, tetapi juga manusia yang memiliki kebutuhan dan kelemahan.
ADVERTISEMENT
Memahami dimensi kemanusiaan ini memungkinkan kita untuk melihat konflik politik dengan lebih empati dan menyeluruh, di mana kemanusiaan bisa tercermin pula dalam konflik moral dan etis di dunia politik. Ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, seperti mempertahankan integritas moral atau mengejar ambisi politik, individu harus menghadapi pertarungan internal yang kompleks.
Di sinilah aspek kemanusiaan menjadi kunci untuk memahami dilema moral yang dihadapi oleh para pemimpin politik. Bersamaan pula dari sini tak kalah pentingnya, aspek emosional memainkan peran signifikan dalam konflik politik.
Persaingan untuk mempertahankan atau meraih kekuasaan seringkali memicu stres, kecemasan, dan tekanan psikologis yang kuat. Manusia sebagai makhluk emosional cenderung terperangkap dalam gejolak perasaan yang kompleks, yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan politik mereka.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah konflik politik yang keras, manusia juga menunjukkan sisi terbaiknya. Mereka menunjukkan ketahanan, keberanian, dan kemampuan untuk bertindak demi kebaikan bersama.
Tindakan heroik, solidaritas, dan kompromi menjadi bukti konkret bagaimana kemanusiaan muncul di tengah-tengah tekanan politik dan kekuasaan. Jadi memahami konflik politik dan kekuasaan bukanlah sekadar memahami struktur dan dinamika politik semata.
Penting untuk menggali dimensi kemanusiaan di balik panggung politik, karena hal itu memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang motivasi, nilai-nilai, dan emosi yang memengaruhi tindakan politik individu. Dengan memperkuat pemahaman terhadap dimensi kemanusiaan, kita dapat lebih bijaksana dalam menafsirkan dan merespons dinamika politik yang terus berubah.