Konten dari Pengguna

Dinasti Politik: Tantangan Berat dalam Pilkada (Bagian I)

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
16 Juli 2024 17:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tinta di jari usai ikut Pemilu 2024. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tinta di jari usai ikut Pemilu 2024. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 serentak yang akan diikuti oleh 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh tanah air, dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang. Pendaftaran bakal calon baru akan dimulai pada 24-26 Agustus 2024.
ADVERTISEMENT
Saat ini belum diketahui siapa-siapa saja calon yang secara resmi akan maju. Meski demikian, kabar sejumlah tokoh yang terkait dinasti politik bakal berlaga di Pilkada 2024 santer berdengung.
Sesungguhnya fenomena kandidat kepala daerah dari dinasti politik telah menjadi persoalan krusial dalam demokrasi Indonesia. Pada pilkada-pilkada, sebelumnya jumlah kandidat dari dinasti politik menunjukkan tren peningkatan.
Data dari Nagara Institute menunjukkan peningkatan tajam jumlah calon dari dinasti politik itu justru teradi setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Juni 2015. Karuan saja, hal ini mengindikasikan adanya perubahan signifikan dalam dinamika politik lokal di Indonesia.
Pada periode 2005-2014, hanya terdapat 59 kandidat dari dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah. Namun setelah putusan MK pada Juni 2015 yang membatalkan pasal pembatasan politik dinasti, jumlah kandidat dari dinasti politik meningkat drastis.
ADVERTISEMENT
Pada Pilkada 9 Desember 2015, tercatat ada 86 calon dari dinasti politik, yang kemudian naik menjadi 124 calon pada Pilkada 2020. Dari 124 calon tersebut, 67 adalah laki-laki dan 57 perempuan, dengan 29 orang dari perempuan tersebut merupakan istri dari kepala daerah atau petahana sebelumnya.
Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 berperan penting dalam perubahan ini. Putusan tersebut menyatakan bahwa pembatasan terhadap politik dinasti melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk memilih dan dipilih yang dijamin oleh Konstitusi. Meskipun putusan ini berlandaskan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dampaknya terhadap demokrasi lokal di Indonesia cukup signifikan.
Politik dinasti dapat mempengaruhi dinamika politik lokal dengan berbagai cara. Salah satu dampaknya adalah mengurangi kesempatan bagi calon pemimpin baru yang kompeten untuk berpartisipasi dalam politik. Hal ini dapat menghambat regenerasi politik dan inovasi dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dominasi dinasti politik juga dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, karena kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan menjadi lebih lemah ketika berada dalam tangan segelintir keluarga.
Selain itu peningkatan jumlah perempuan dalam politik dinasti, khususnya istri dari kepala daerah atau petahana sebelumnya, menunjukkan dinamika gender yang unik dalam konteks politik lokal di Indonesia. Harusnya perempuan dalam politik dinasti didorong untuk menjadi pemimpin yang mandiri dan berkompeten –bukan sekadar penerus kekuasaan suami mereka.
Meningkatnya jumlah kandidat kepala daerah dari dinasti politik setelah putusan MK, menunjukkan bahwa meskipun politik dinasti tidak dilarang secara konstitusional, dampaknya terhadap demokrasi lokal perlu diwaspadai.
Politik dinasti dapat menghambat regenerasi politik, meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, serta mencederai prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang komprehensif dan holistik untuk mengatasi masalah ini, termasuk reformasi hukum, pendidikan politik, penguatan lembaga pengawas, dan peningkatan partisipasi publik.
ADVERTISEMENT
Dampak Politik Dinasti
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Politik dinasti dapat mempengaruhi dinamika politik lokal dengan berbagai cara. Ketika kekuasaan politik didominasi oleh segelintir keluarga, akses untuk menjadi pemimpin baru menjadi sangat terbatas bagi individu yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga yang berkuasa.
Selain itu, dominasi dinasti politik dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Ketika kekuasaan terpusat pada segelintir keluarga, kontrol dan pengawasan terhadap tindakan mereka menjadi lebih lemah.
Keluarga yang berkuasa cenderung memiliki jaringan dan pengaruh yang luas, yang dapat digunakan untuk melindungi dan mempertahankan kekuasaan mereka, sering kali dengan cara-cara yang tidak transparan dan tidak akuntabel.
Kondisi ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik-praktik korupsi, di mana kepentingan pribadi dan keluarga sering kali didahulukan daripada kepentingan publik. Maka keterlibatan dinasti politik juga dapat mencederai prinsip-prinsip demokrasi.
ADVERTISEMENT
Padahal dalam sistem demokrasi, setiap warga negara harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik dan pemerintahan. Tapi ketika politik dinasti mendominasi, prinsip kesetaraan ini menjadi terabaikan.
Kekuasaan politik menjadi “warisan” secara turun-temurun, mirip dengan sistem monarki, yang bertentangan dengan semangat demokrasi yang seharusnya memberikan peluang yang sama bagi semua orang–terlepas dari latar belakang keluarga mereka.
Dalam jangka panjang, politik dinasti dapat mengakibatkan stagnasi dalam pembangunan dan pengembangan daerah. Pemimpin yang berasal dari dinasti politik cenderung melanjutkan kebijakan-kebijakan yang sudah ada, acap kali tanpa adanya dorongan untuk melakukan perubahan atau inovasi yang berarti.
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius untuk mengatasi masalah politik dinasti dalam sistem politik lokal di Indonesia. Reformasi hukum yang lebih ketat, peningkatan kesadaran politik masyarakat, dan penguatan lembaga-lembaga pengawas merupakan beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi dominasi dinasti politik.
ADVERTISEMENT
Dengan menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif dan transparan, diharapkan regenerasi politik yang sehat dan inovasi dalam pemerintahan dapat terwujud, sehingga demokrasi dapat berfungsi dengan lebih baik dan kepentingan publik dapat lebih terjaga.
Ilustrasi sudut Jakarta. (Foto by Eka Sariwati// Unsplash)
Alternatif Mengatasi Politik Dinasti
Masalah politik dinasti di Indonesia merupakan tantangan serius yang memerlukan pendekatan holistik untuk diatasi. Soalnya politik dinasti sering kali membatasi partisipasi dan regenerasi politik yang sehat.
Oleh karena itu, serangkaian solusi yang mencakup berbagai aspek pemerintahan dan masyarakat perlu diterapkan. Pendekatan ini harus mencakup reformasi hukum, pendidikan politik, penguatan lembaga pengawas, dan peningkatan partisipasi publik.
Solusi utama yang bisa dipertimbangkan adalah reformasi hukum. Revisi terhadap undang-undang pemilu dan pemerintahan daerah perlu dilakukan untuk memastikan proses pencalonan dan pemilihan yang lebih transparan dan kompetitif.
ADVERTISEMENT
Aturan yang lebih ketat dapat diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan praktik-praktik yang tidak adil dalam proses pemilihan. Reformasi hukum juga harus mencakup langkah-langkah untuk menghilangkan celah yang memungkinkan politik dinasti berkembang, sehingga memberikan kesempatan yang lebih adil bagi calon-calon pemimpin baru yang kompeten.
Juga pendidikan politik menjadi elemen penting dalam mengatasi masalah politik dinasti. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan kompetensi dan integritas calon, bukan hubungan kekerabatan, merupakan langkah krusial.
Bersamaan pula program pendidikan politik dapat dilakukan melalui berbagai media, kampanye, dan kegiatan komunitas yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik. Dengan masyarakat yang lebih terdidik dan sadar politik, diharapkan praktik politik dinasti dapat diminimalisir.
Penguatan lembaga pengawas juga menjadi kunci dalam mengatasi politik dinasti. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus diperkuat baik dari segi kewenangan maupun sumber daya. (Bersambung)
ADVERTISEMENT