Konten dari Pengguna

Dinasti Politik: Tantangan Berat dalam Pilkada (Bagian II-Habis)

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
16 Juli 2024 18:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Politik dinasti telah menjadi bagian dari pemandangan politik Indonesia sejak era pra-reformasi, meskipun pada awalnya lebih terfokus di pemerintahan pusat. Fenomena ini kemudian meluas ke tingkat daerah setelah reformasi, menimbulkan berbagai perdebatan dan tantangan hukum terkait konstitusionalitasnya.
ADVERTISEMENT
Upaya untuk mengatur politik dinasti dimulai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 7 dalam undang-undang tersebut membatasi praktik politik dinasti dengan menetapkan syarat-syarat khusus bagi calon kepala daerah.
Namun, upaya tersebut terhalang oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa pembatasan terhadap politik dinasti melalui Undang-Undang tersebut tidaklah konstitusional.
MK berargumen bahwa pembatasan tersebut melanggar hak asasi manusia, terutama hak untuk memilih dan dipilih, yang dijamin oleh konstitusi.
Sejak putusan tersebut dikeluarkan, praktik politik dinasti di tingkat daerah mengalami peningkatan yang signifikan. Sekaligus menunjukkan dampak yang masif terhadap dinamika politik lokal di Indonesia.
Tantangan Konstitusional
Politik dinasti tidak hanya mempengaruhi kompetisi politik yang sehat, tetapi juga dapat menghambat regenerasi kepemimpinan dan inovasi dalam pemerintahan daerah.
ADVERTISEMENT
Ketika kekuasaan politik terkonsentrasi di tangan keluarga-keluarga tertentu, kesempatan bagi individu-individu yang tidak memiliki hubungan kekerabatan untuk berpartisipasi dalam politik menjadi terbatas. Hal ini dapat mengurangi pluralitas pandangan dan ide-ide baru dalam pengambilan keputusan publik.
Politik dinasti di Indonesia tidak hanya merupakan tantangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga menunjukkan kompleksitas hubungan antara kekuasaan politik, hukum, dan hak asasi manusia.
Meskipun di satu sisi politik dinasti dapat dianggap sebagai cara untuk mempertahankan stabilitas atau kontinuitas kepemimpinan, perlu dilakukan evaluasi yang cermat terhadap dampak jangka panjangnya terhadap proses demokratisasi dan pembangunan pemerintahan yang inklusif dan berkelanjutan.
Tantangan Tata Kelola Pemerintahan
Ilustrasi hukum. Foto: Proxima Studio/Shutterstock
Dalam kerangka hukum Indonesia, politik dinasti tidak secara eksplisit dilarang. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih, sehingga membatasi seseorang hanya karena hubungan kekerabatan dianggap tidak konstitusional.
ADVERTISEMENT
Namun, penting untuk menyeimbangkan hak individu dengan kepentingan umum, yaitu memastikan bahwa demokrasi tidak terdistorsi oleh kekuatan politik keluarga tertentu.
Praktik politik dinasti di Indonesia sudah menimbulkan beberapa kekhawatiran yang signifikan terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Pertama, kehadiran politik dinasti cenderung menciderai prinsip demokrasi yang seharusnya melibatkan partisipasi yang inklusif dari seluruh warga negara.
Dominasi politik dinasti juga meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Pengawasan terhadap kebijakan publik menjadi lebih sulit ketika pemerintahan daerah dikuasai oleh segelintir keluarga. Hal ini menciptakan lingkungan di mana kepentingan pribadi atau kelompok sering kali didahulukan daripada kepentingan publik secara lebih luas, yang dapat merusak tata kelola pemerintahan yang seharusnya transparan dan akuntabel.
Selain itu, politik dinasti dapat menghambat munculnya pemimpin-pemimpin baru yang kompeten dan inovatif. Ketika posisi kekuasaan lebih banyak diisi oleh individu-individu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga politik yang berkuasa, pemimpin-pemimpin baru yang berpotensi untuk membawa perubahan dan inovasi sering kali tidak mendapatkan kesempatan.
ADVERTISEMENT
Meskipun politik dinasti tidak secara langsung dilarang dalam konstitusi Indonesia, dampaknya terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan sangatlah signifikan.
Untuk memastikan bahwa demokrasi berfungsi secara efektif dan pemerintahan yang baik terwujud, harus adanya upaya yang lebih besar untuk mempertimbangkan batasan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik politik dinasti.
Ilustrasi gedung-gedung Jakarta. (Foto Rival Sitorus// Unsplash)
Pendekatan Multi-Dimensi
Dari itu guna mengatasi tantangan politik dinasti di Indonesia, diperlukan pendekatan multi-dimensi yang mencakup reformasi hukum, pendidikan politik, penguatan lembaga pengawas, dan peningkatan partisipasi publik.
Reformasi hukum merupakan langkah krusial dalam upaya mengurangi dominasi politik dinasti. Merevisi undang-undang pemilu dan pemerintahan daerah untuk menciptakan mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel dalam proses pencalonan dan pemilihan adalah suatu keharusan.
Bersamaan pula aturan yang lebih ketat untuk dapat membuka peluang lebih luas bagi calon dari luar lingkaran dinasti untuk bersaing secara adil. Pembaharuan ini harus mengutamakan kepentingan publik, mengurangi celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dalam politik lokal.
ADVERTISEMENT
Lantas pendidikan politik, hal ini menjadi pondasi penting dalam membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan semata-mata hubungan kekerabatan.
Program pendidikan publik yang intensif dapat mengubah paradigma politik masyarakat, memperkuat nilai-nilai demokrasi, dan meningkatkan partisipasi dalam proses politik secara lebih cerdas dan terinformasi.
Penguatan lembaga pengawas dan penegak hukum merupakan langkah strategis lainnya. Memperkuat lembaga-lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta memastikan independensi dan kapasitas mereka untuk mengawasi proses pemilu.
Terakhir, peningkatan partisipasi publik harus didorong secara aktif. Mengajak masyarakat untuk terlibat lebih dalam dalam pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintah akan menciptakan tekanan sosial yang kuat terhadap transparansi dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Partisipasi yang tinggi juga dapat memperkuat legitimasi demokratis, memastikan bahwa keputusan politik lebih mencerminkan kepentingan masyarakat luas daripada kelompok kecil yang memiliki kekuasaan politik dominan.
Pendekatan multi-dimensi ini memerlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor politik. Diperlukan komitmen yang kokoh terhadap prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa Indonesia dapat mengurangi dampak negatif politik dinasti. Kemudian benar-benar menuju sistem politik yang lebih inklusif, adil, dan responsif terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan.